Indonesia telah berusia 79 tahun hari ini. Banyak peristiwa telah dilalui, ribuan lembar tulisan sejarah telah terukir di memori, meski banyak hal yang masih harus dipelajari. Pada hari kemerdekaan Indonesia ini, ada baiknya kita merefleksi kembali perjalanan Indonesia, guna mengukuhkan jati diri. Tahun demi tahun berlalu, generasi demi generasi bergantian menetap di bumi pertiwi. Barangkali ada yang lupa atau bahkan belum mengetahui, bahwa sesungguhnya apa yang kita capai pada hari ini, tidaklah hanya berasal dari diri sendiri. Di balik kokohnya Indonesia saat ini, ada peran besar sahabat sejati, yang kadang kita luput untuk sadari. Palestina, negeri yang suci, telah membersamai perjalanan kita sejak dulu sekali—meskipun kisahnya seringkali tidak dicantumkan dalam buku-buku sejarah yang diajarkan kepada anak-anak negeri.
Palestina adalah sahabat sejati kita, jejak-jejak sejarah telah membuktikannya. Di balik kesulitan dan keterbatasannya, Palestina tetap mengutamakan kita, negara yang berkilo-kilometer jaraknya dari mereka. Ketika bangsa lain belum berani mengambil sikap, saat Indonesia masih dipandang sebelah mata, Palestina dengan segenap keyakinan memberikan dukungan dan mengakui kemerdekaan Indonesia. Padahal, kondisi Palestina sendiri saat itu alih-alih merdeka, mereka bahkan masih berdarah-darah berjuang melawan penjajahan Zionis yang membuat penduduknya menderita. Lantas apa yang menguatkan mereka untuk mendukung kita, saat negeri mereka sendiri masih jauh dari kata merdeka? Tiada hal lain yang mendasari selain rasa cinta dan persahabatan yang teramat besar, disertai dengan ketulusan hati yang menyatukan Palestina dan Indonesia dalam ikatan saudara.
Peran Palestina dalam Kemerdekaan Indonesia
Sebagai negara yang pernah menjadi korban penjajahan dari beberapa negara, sejarah panjang penjajahan Indonesia tak akan bisa rampung diceritakan dalam sekali duduk. Maka di dalam tulisan ini, timeline pertama yang menjadi pemantik dukungan Palestina untuk kemerdekaan Indonesia adalah ketika Belanda angkat kaki dari Indonesia dan pemerintahan diambil alih oleh Jepang.
Pendudukan Jepang (1942-1945) membawa beberapa dampak bagi Indonesia, termasuk dibentuknya panitia untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Pembentukan panitia kemerdekaan ini merupakan tindak lanjut dari janji Perdana Menteri Jepang saat itu, Kuniaki Koiso. Koiso berjanji kepada rakyat Indonesia akan memberikan kemerdekaan melalui sebuah pernyataan pada 6 September 1944.
Akan tetapi, pada 6 September 1944, Koiso lupa akan janjinya tersebut. Janji Koiso kemudian ditanggapi oleh seorang Mufti Besar Palestina bernama Muhammad Amin Al-Husaini. Pada 6 September 1944, bukan Jepang yang memberikan pernyataan kemerdekaan Indonesia, melainkan Mufti Besar dan Pemimpin Dewan Tertinggi Palestina, Syekh Amin Al Husaini. Beliau, mewakili seluruh rakyat Palestina, menyampaikan ‘ucapan selamat’ kepada Indonesia melalui Radio Berlin. Dalam siaran tersebut, Syekh Amin menegaskan pengakuan Palestina akan Indonesia dan menjanjikan dukungan hingga Indonesia benar-benar memperoleh kemerdekaan.
Ucapan Mufti Besar Palestina tersebut disiarkan selama dua hari berturut-turut, juga disebarkan melalui surat kabar harian Al Ahram. Syekh Amin sendiri saat itu sedang berada di Jerman karena mencari perlindungan dari pasukan kolonial Inggris dan Zionis Israel. Pada masa-masa sulit tersebut, ia tetap mengingat Indonesia sebagaimana ia mengingat tanah airnya sendiri. Hal tersebut juga dilatarbelakangi oleh didikan keluarga Al Husaini yang sangat gigih menentang penjajahan, terutama dari pamannya, Musa Al Husaini.
Musa Al Husaini adalah tokoh yang seringkali melakukan diplomasi dengan kolonial Inggris terkait pembentukan negara Yahudi di wilayah Palestina dan berusaha agar hal tersebut tidak pernah terjadi. Namun, seperti yang bisa kita saksikan saat ini, upaya tersebut gagal. Karena merasa tidak mendapatkan respon yang baik dari kolonial Inggris, Musa Al Husaini mencoba cara lain yaitu melakukan konfrontasi dengan ikut serta dalam beberapa perlawanan dan melawan melalui pidato-pidatonya.
Namun, pada kerusuhan yang terjadi tahun 1933, Musa Al Husaini dipukuli oleh polisi Inggris dan akhirnya menyerah karena mengalami banyak luka yang cukup parah. Setelah kerusuhan tersebut, keponakannya, yaitu Amin Al Husaini terpaksa melarikan diri ke Italia, kemudian ke Jerman. Pada masa Perang Dunia II pecah, Jerman menawarkan Al Husaini bantuan perlindungan dari kolonial Inggris dan Zionis.
Sehari setelah Amin Al Husaini menyampaikan ‘ucapan selamat’ kepada Indonesia, tepatnya pada 7 September 1944, barulah Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso memberikan janji kemerdekaan bagi Indonesia di depan sidang parlemen Jepang Teikoku Ginkai. Segera setelah pengumuman Jepang yang berencana memberikan kemerdekaan pada Indonesia, Al Husaini mengirimkan telegram pada 3 Oktober 1944 ke Kedutaan Besar Jepang di Jerman untuk menegur pemerintah Jepang karena belum juga memberikan kemerdekaan Indonesia seperti yang dijanjikan. Melihat dukungan dari Al Husaini terhadap Indonesia, Kongres Muslim Dunia juga turut menekan pemerintah Jepang untuk segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Tak hanya mendapat dukungan secara verbal, Indonesia juga banyak mendapat bantuan materi dari Palestina. Sebagai Mufti Agung Yerusalem, Syekh Amin Al Husaini pernah memberikan dana bantuan kepada para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Kairo, Damaskus, Beirut, dan Baghdad sebesar dua poundsterling per orang. Atas bantuan diplomasi dari Syekh Amin juga, Mesir membiayai seluruh biaya delegasi Indonesia sebesar US$25.000 untuk membawa kasus Indonesia ke PBB.
Peran yang tidak kalah pentingnya juga dimainkan oleh Muhammad Ali Taher, sahabat Syekh Amin Al Husaini. Muhammad Ali Taher adalah seorang saudagar kaya dari Palestina. Ia telah menerbitkan surat kabar yang dibaca di banyak negara, delapan buku, dan ratusan artikel, serta sangat gigih menentang penjajahan di mana pun itu. Ali Taher juga dikenal sebagai ‘raja media Palestina’ karena merupakan pemilik sejumlah media cetak Palestina seperti Ashoura, Al-Shabab, Al Minhaj, dan Al Alam Al-Masri.
Setelah Palestina mengakui kedaulatan Indonesia pada 1944, 4 tahun kemudian pada tahun 1948, Menurut M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2004 keadaan Republik Indonesia sangat kacau. Menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali, Indonesia yang kala itu dipimpin oleh Soekarno-Hatta terdesak ke wilayah pedalaman Jawa Tengah, kekurangan beras, dan penderitaan semakin meningkat akibat blokade Belanda. Mengetahui kabar tersebut, saudagar kaya Palestina, Ali Taher, menyumbangkan uang untuk Indonesia yang sedang menghadapi agresi Militer II Belanda.
Demi membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia, Ali Taher memindahkan sebagian besar kekayaannya di Palestina ke bank-bank Indonesia untuk membantu mendukung perekonomian Indonesia. Sebuah tindakan yang sangat berani, mengingat Ali Taher sebenarnya bisa saja memilih menggunakan hartanya untuk kepentingan bangsanya sendiri. Tapi lagi-lagi, Palestina memilih untuk membantu perjuangan Indonesia, tanpa meminta balas budi.
Mohammad Zein Hassan, Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, mengisahkan bahwa pada suatu hari Ali Taher membawanya ke Bank Arabia. Di sana, Ali Taher mengeluarkan semua uangnya yang tersimpan di bank tersebut dan memberikannya kepada Zein tanpa meminta tanda bukti penerimaan sama sekali sembari mengatakan: “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia.”
Bisa jadi masih ada peran dari tokoh-tokoh Palestina lain yang turut menjadi bagian dari sejarah kemerdekaan Indonesia, namun kisahnya luput tertulis atau belum terjamah dalam catatan sejarah. Akan tetapi, peran Syekh Amin dan Ali Taher barangkali sudah lebih dari cukup untuk mewakilkan betapa eratnya hubungan antara Indonesia dengan Palestina sejak dulu kala. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila para pendiri bangsa kita juga menunjukkan dukungan yang sama terhadap Palestina. Sebab, Indonesia pun pernah menjadi bangsa yang terjajah, maka sudah sepantasnya Indonesia juga menentang penjajahan, apalagi yang terjadi pada negara sahabat kita, Palestina.
Tokoh Indonesia yang Aktif Mendukung Palestina
Indonesia dan Palestina adalah saudara dekat. Prof. H. Roeslan Abdulgani mengatakan bahwa founding fathers Indonesia telah aktif menyuarakan rasa solidaritasnya terhadap rakyat Palestina. Nama-nama populer seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Haji Agus Salim, dan banyak tokoh lainnya sangat aktif menyuarakan persoalan Palestina, baik secara lisan maupun tulisan. Persamaan nasib, persamaan dasar dan tujuan perjuangan, serta persamaan pandangan hidup telah membuat hubungan persahabatan antara Indonesia dan Palestina terjalin dengan sangat erat. Indonesia yang saat itu masih berada di era pergerakan kemerdekaan, nasibnya tidak jauh berbeda dengan Palestina yang dijajah oleh Zionis. Maka tidak mengherankan jika para pemimpin dari Indonesia juga bersahabat dengan tokoh terkemuka Palestina, bahkan terang-terangan menunjukkan dukungan meski kondisi saat itu sedang sama-sama berjuang. Berikut adalah beberapa tokoh Indonesia yang aktif menyuarakan solidaritas terhadap Palestina:
1.Abdul Kahar Mudzakkir
Abdul Kahar Mudzakkir adalah pemuda Indonesia termuda yang tercatat dalam sejarah ikut berpartisipasi dalam Muktamar Dunia Islam tahun 1931 di Al-Quds (Yerusalem). Usianya masih 24 tahun saat ia turut serta sebagai wakil umat Islam Indonesia (Centraal Committee al Islam Surabaya) di forum internasional di Baitul Maqdis, Al-Quds, Palestina. Forum itu adalah Muktamar ‘Alam Islami yang pertama, sebuah forum persaudaraan yang diadakan pada 1931 oleh utusan dari berbagai negara Islam atau negara berpenduduk muslim yang tengah menapaki ‘masa perjuangan kemerdekaan’, yaitu berjuang melepaskan diri dari penjajah dan meraih kemerdekaan.
Sejak menuntut ilmu di Kairo, Mesir, Abdul Kahar Mudzakkir memang sudah sering menghadiri konferensi Islam tingkat dunia di berbagai negara Timur Tengah. Ia juga aktif mengirimkan tulisan ke beberapa surat kabar Mesir untuk memberikan informasi tentang Indonesia yang masih berjuang melepaskan diri dari penjajahan. Namanya pun menjadi terkenal di kalangan para aktivis Islam di Mesir, yang kemudian mengantarkannya untuk berkorespondensi dengan Mufti Besar Al-Quds, Syekh Amin Al-Husaini.
Pada 1931, Syekh Amin Al-Husaini memintanya untuk menghadiri Muktamar Islam Internasional di Palestina mewakili Asia Tenggara. Kahar menyanggupinya, kemudian berangkat ke Palestina sebagai peserta termuda. Pada Muktamar tersebut, Kahar mendapatkan kehormatan dengan diangkat menjadi sekretaris (katib), mendampingi Syekh Amin Al-Husaini yang menjadi ketua (rais) dalam muktamar tersebut. Dalam kesempatan tersebut, Kahar juga menyampaikan kondisi Indonesia kepada peserta yang hadir, yang menjadi salah satu awal dari terjalinnya persahabatan dan dukungan besar dari Palestina untuk kemerdekaan Indonesia.
2. Haji Agus Salim
Haji Agus Salim merupakan nama yang sering disebut-sebut dalam buku-buku sejarah. Mendapat julukan The Grand Old Man, Haji Agus Salim merupakan diplomat ulung yang memperjuangkan Indonesia di berbagai negara. Ia adalah pemimpin organisasi Islam terkemuka, Sarekat Islam, serta cendekiawan Islam yang kritis dalam menanggapi isu-isu umat. Di balik segudang aktivitas dan prestasinya, Haji Agus Salim juga merupakan seorang tokoh yang sangat gigih menentang segala bentuk penjajahan, termasuk di Palestina.
Dalam beberapa artikel di surat kabar Pedoman Masyarakat edisi 10 Juli 1936 yang dikutip dari buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, beliau menentang pernyataan dari seorang Jenderal yang memimpin Operasi Yerusalem pada 1 tahun 1917. Jenderal tersebut, Edmund Allenby, mengatakan bahwa penaklukan Al-Quds merupakan akhir dari Perang Salib antara umat Islam dan Kristen. Pernyataan tersebut segera dibantah oleh Haji Agus Salim, yang mengatakan bahwa Perang Salib adalah pertarungan antara dua pihak Bangsa Barat sendiri, tidak ada kaitannya dengan agama tertentu.
Masih bersumber dari buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, dalam sebuah artikel dari surat kabar Pandji Islam edisi 9 Januari 1939 yang berjudul “Soal Yahudi di Palestina”, Agus Salim menjelaskan persekutuan yang dilakukan antara Inggris dan Yahudi didasari pada kepentingan politik negara-negara Barat. Inggris yang saat itu mengalami kesulitan dalam Perang Dunia I meminta bantuan kepada Zionis, dengan syarat Inggris harus memberikan tanah Palestina kepada mereka. Sejak saat itulah, kelompok Yahudi berdatangan memenuhi tanah Palestina, mengusir penduduk asli. Oleh karena itu, sekali lagi Haji Agus Salim menekankan, masalah Palestina bukanlah persoalan agama semata.
3. Buya Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal dengan sebutan Buya Hamka, merupakan nama yang tidak asing di kalangan masyarakat Indonesia, bahkan kisahnya pernah diangkat ke layar lebar. Beliau adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, yang juga dikenal sebagai tokoh Masyumi dan ulama Muhammadiyah, juga merupakan sastrawan yang karyanya dikenal di negara-negara Melayu. Sebagai seorang ulama, Buya Hamka turut memberikan perhatian khusus terhadap masalah Palestina, yang dapat dilihat dari penafsiran beliau terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan Baitul Maqdis di dalam Tafsir Al-Azhar.
Salah satunya, ketika dikatakan bahwa orang Yahudi itu cerdas, sehingga dapat mengalahkan pasukan Arab dalam perang Arab-Israel, maka Buya Hamka meluruskan pemahaman tersebut. Beliau merespon dengan menuliskan bahwa yang menjadi persoalan utama umat Islam saat itu adalah lemahnya iman. Mereka rela menukar ideologi Islam dengan ideologi-ideologi lainnya sehingga lepaslah kekuatan sejati mereka, yaitu kekuatan iman. Umat Islam hanya mementingkan ideologi dan negara mereka sendiri, ketimbang mementingkan keberlangsungan dakwah Islam di muka bumi.
Buya Hamka juga menceritakan pertemuannya dengan Syekh Amin Al-Husaini ketika menuliskan tafsir surah Al-Maidah ayat 54. Di dalam tafsirnya, Buya Hamka mengutip pernyataan Mufti Agung Palestina tersebut. “Tentang kerugian dan keuntungan ini, teringat pula penulis Tafsir ini akan perkataan Mufti Palestina yang terkenal, Sayid Haj Amin al-Husainy seketika penulis bersama teman penulis, Saudara Asad Bafagih, pada bulan Oktober 1950. Dengan penuh semangat di antara lain beliau berkata: ‘Kita telah rugi besar karena Palestina direbut Yahudi dan lebih dari satu juta orang Arab kehilangan tanah air. Tetapi Tuhan telah mengganti kerugian kita dengan laba yang lebih besar, dengan bangsa pemeluk Islam yang umumnya berjuta-juta mencapai kemerdekaannya, yaitu Indonesia dan Pakistan.”
4. Mohammad Natsir
Mohammad Natsir adalah tokoh nasional yang dikenal sebagai birokrat, politisi, dan juga seorang pendakwah. Natsir aktif berorganisasi di ranah politik dan pernah menjadi Ketua Partai Masyumi. Ia juga sempat ditunjuk sebagai Menteri Penerangan Indonesia pertama (1946–1949), juga diangkat sebagai Perdana Menteri pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Selain aktif di ranah politik, Natsir juga dikenal sebagai ulama yang gigih memperjuangkan hak-hak bangsa melalui pemikirannya, termasuk mengenai masalah Palestina.
Dalam buku Masalah Palestina yang terbit pada 1970, Natsir menjabarkan pemikiran-pemikirannya tentang Palestina. Naskah pidato Natsir yang dimuat dalam buku tersebut dan disampaikan dalam Kongres Pertama Organisasi Islam Afrika Asia tanggal 6–11 Oktober 1970 di Bandung, menjelaskan awal mula kaum Yahudi menduduki Palestina, peperangan yang terjadi di Palestina, sejarah gerakan Zionis, hingga harapannya untuk Palestina ke depan.
Natsir menegaskan bahwa masalah Palestina pada intinya adalah perampasan hak dan tanah air rakyat Palestina oleh kaum Zionis internasional yang mendirikan negaranya di tengah-tengah wilayah bangsa Arab. Ia juga menekankan bahwa negara-negara besar dan PBB pada umumnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencari penyelesaian yang adil dan terhormat terhadap permasalahan Palestina.
5. Soeharto
Presiden H. M. Soeharto adalah presiden kedua yang memimpin pemerintahan di Republik Indonesia. Kementerian Luar Negeri RI mencatat bahwa pada 1984, Presiden Soeharto menerima kedatangan Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat, di Istana Negara pada 26 Juli 1984.
Dalam buku berjudul Tragedi Palestina karya M. Alhadar, terdapat kutipan pidato pertanggungjawaban Presiden Soeharto pada Sidang MPR tanggal 1 Maret 1983 yang berjudul “Indonesia Mendukung Perjuangan Rakyat Palestina”. Dalam pidato tersebut, Presiden Soeharto menegaskan bahwa Indonesia harus berpijak pada asas kemerdekaan dan keadilan. Berikut isi dari pidato tersebut:
“Terhadap masalah Timur Tengah sikap kita sangat realistis dan berpijak pada asas kemerdekaan dan keadilan. Secara terus menerus dan konsekuen kita mendukung perjuangan bangsa-bangsa Arab untuk memperoleh kembali wilayahnya yang diduduki Israel.
Kita juga mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk memperoleh kemerdekaan di tanah airnya sendiri yang merupakan kunci penyelesaian kemelut Timur Tengah. Kita juga mendukung penuh dipulihkannya kedudukan kota suci Yerusalem, sementara masalah Palestina belum terselesaikan.”
6. Soekarno
Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, juga merupakan salah satu tokoh yang sejak lama menyuarakan keadilan dan kemerdekaan untuk Palestina. Enam puluh tiga tahun yang lalu, markas besar PBB di New York digemakan oleh suara Bung Karno. Pidatonya yang berjudul To Build The World a New ditetapkan sebagai Memory of The World (MoW) oleh UNESCO pada 10–24 Mei 2023 dan menjadi pidato terbaik yang pernah disampaikan di forum PBB.
To Build the World a New atau ‘Membangun Dunia Baru’ merupakan akumulasi pemikiran dan gagasan Soekarno sejak sebelum Indonesia merdeka. Di dalam pidatonya, Presiden Soekarno menyampaikan gagasan-gagasan mengenai situasi perpolitikan dunia saat itu, terutama ketika banyak negara di Asia-Afrika yang ingin melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Soekarno menegaskan, PBB seharusnya tidak hanya menjadi forum perdebatan, tapi juga harus bisa memecahkan berbagai permasalahan yang terjadi di dunia.
To Build the World a New memberikan fondasi bagi perkembangan prinsip-prinsip kemanusiaan di tingkat global yang mendukung kemerdekaan dan menentang segala bentuk penindasan yang ada di semua negara, tanpa terkecuali, termasuk Palestina. Jika kita lihat realita sekarang, kolonialisme yang terjadi di dunia masih dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina, baik berupa penyerangan, pengusiran, maupun yahudinisasi yang tidak kunjung usai.
Dalam pidato lainnya pada 1962, Presiden Soekarno juga menegaskan bahwa selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka sepanjang itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajah Israel. Pidato tersebut menegaskan bahwa Indonesia akan selalu menentang segala bentuk penjajahan di atas muka bumi, sesuai dengan prinsip yang tercantum dalam pembukaan UUD tahun 1845.
Kemerdekaan adalah Hak Segala Bangsa
Puluhan tahun telah berlalu sejak peristiwa-peristiwa yang menjadi bukti kedekatan Indonesia-Palestina menjadi abadi dalam catatan sejarah. Jejak-jejak Palestina hingga hari ini masih tersisa di berbagai tempat di Indonesia. Di Kota Kudus, yang dahulunya bernama Tajung, terdapat sebuah masjid yang diberi nama “Masjidil Aqsa”, persis seperti nama masjid yang menjadi kiblat pertama yang terletak di Al-Quds, Palestina. Masjid ini dibangun oleh Syaikh Ja’far Shadiq, seorang juru dakwah sekaligus panglima perang Kerajaan Demak, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus. Meski hingga saat ini masih menjadi penelitian apakah Sunan Kudus memang telah melakukan perjalanan ke Palestina atau tidak, namun penamaan masjid tersebut pastinya bukanlah tanpa alasan dan pengetahuan, melainkan bukti akan kesetiakawanan dan ikatan erat yang telah lama terjalin antara Indonesia dengan Palestina.
Catatan sejarah telah membuktikan, bahwa sejak puluhan tahun yang lalu, founding fathers bangsa kita banyak yang telah menunjukkan kepeduliannya terhadap Palestina. Tidak mengherankan, sebab sejak lama Palestina pun telah menunjukkan rasa cinta dan persahabatannya terhadap Indonesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Palestina telah mengakui adanya negara Indonesia dan mengerahkan seluruh upaya agar Indonesia mencapai kemerdekaannya. Hari ini, saat Palestina sedang berjuang mendapatkan kemerdekaan, tidakkah kita malu jika kita justru menutup mata, atau bahkan terang-terangan menolak untuk membantu Palestina, negara yang telah menjadi sahabat kita sejak lama?
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
Hassan, Zein. (1980). Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri. Jakarta: P.T. Pertja.
https://adararelief.com/menegaskan-kembali-sikap-soekarno-terhadap-palestina/
https://adararelief.com/melihat-penjajahan-palestina-dari-perspektif-haji-agus-salim/
https://adararelief.com/buya-hamka-berbicara-tentang-baitul-maqdis/
https://adararelief.com/buya-hamka-berbicara-tentang-baitul-maqdis-bagian-ii/
https://adararelief.com/buya-hamka-berbicara-tentang-baitul-maqdis-bagian-iii/
https://adararelief.com/mohammad-natsir-dan-pandangannya-tentang-masalah-palestina/
https://adararelief.com/pidato-presiden-ri-ke-2-soeharto-tentang-dukungan-untuk-palestina/
https://lajupeduli.org/ikatan-istimewa-indonesia-dan-palestina/
https://tirto.id/alasan-palestina-mendukung-kemerdekaan-indonesia-dan-sejarahnya-gSgc
https://www.dakwatuna.com/2009/02/13/1950/sejarah-indonesia-dekat-dengan-palestina/#axzz8ispx6mKN
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini