Dukungan Indonesia untuk kemerdekaan Palestina telah ditegaskan sejak awal oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Atas dukungan tersebut, Presiden Soekarno mewakili segenap rakyat Indonesia, dengan tegas menentang penjajahan Israel terhadap rakyat Palestina. Maka, selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diberikan, maka selama itulah Indonesia akan berdiri menentang penjajahan Israel. Sebaliknya, Palestina juga merupakan salah satu negara Timur Tengah yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan mendukung penuh perjuangan bangsa Indonesia untuk terlepas dari jeratan kolonialisme.
Semangat dan dukungan kepada rakyat Palestina itu dilanjutkan oleh presiden kedua RI, Presiden H. M. Soeharto. Kementerian Luar Negeri RI mencatat kunjungan Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat di Istana Merdeka, Juli 1984. Kunjungan tersebut langsung diterima oleh Presiden Soeharto, keduanya membicarakan hubungan kedua negara di Istana Negara pada 26 Juli 1984.
Dalam buku berjudul Tragedi Palestina karya M. Alhadar, terdapat kutipan pidato pertanggungjawaban Presiden Soeharto pada Sidang MPR tanggal 1 Maret 1983 yang berjudul “Indonesia Mendukung Perjuangan Rakyat Palestina”. Dalam pidato tersebut, Presiden Soeharto menegaskan bahwa Indonesia harus berpijak pada asas kemerdekaan dan keadilan.
“Terhadap masalah Timur Tengah sikap kita sangat realistis dan berpijak pada asas kemerdekaan dan keadilan. Secara terus menerus dan konsekuen kita mendukung perjuangan bangsa-bangsa Arab untuk memperoleh kembali wilayahnya yang diduduki Israel.
Kita juga mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk memperoleh kemerdekaan di tanah airnya sendiri yang merupakan kunci penyelesaian kemelut Timur Tengah. Kita juga mendukung penuh dipulihkannya kedudukan kota suci Yerusalem, sementara masalah Palestina belum terselesaikan.”[1]
Presiden Soeharto juga berpidato tentang Palestina pada Sidang Konferensi Tingkat Tinggi VI Organisasi Konferensi Islam di Dakar, Senegal, pada Desember 1991.
“Bismilillahirrahmanirrahim;
Yang Mulia Saudara Ketua;
Yang Mulia para Ketua Delegasi;
Para Yang Mulia dan hadirin yang saya hormati;
Assalamu’alaikum wr. Wb.;
Terlebih dahulu, perkenankan saya atas nama Delegasi Indonesia, dan atas nama saya sendiri, menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pemerintah dan rakyat Senegal yang telah berhasil menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi ke-6 Organisasi Konferensi Islam. Saya juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas sambutan hangat dan keramahtamahan yang diberikan kepada kami sejak kedatangan kami di Dakar, ibukota Senegal yang indah ini. Pada kesempatan ini pula saya ingin menyampaikan kegembiraan saya memperoleh kesempatan untuk hadir pada konferensi yang penting ini serta dapat bertatap muka dan secara pribadi berkenalan dengan para Yang Mulia. Kita semua datang ke konferensi ini karena dorongan tekad yang sama, ialah melanjutkan perjuangan bagi terwujudnya cita-cita umat Islam.
Keputusan untuk mengadakan konferensi yang bersejarah ini di Dakar, merupakan bukti keteguhan Senegal dalam memberi sumbangan kepada tercapainya cita-cita luhur umat Islam.
Peranan penting yang dimainkan Senegal di berbagai forum internasional – seperti di PBB, terutama sebagai Ketua Komite Pelaksanaan Hak Asasi Rakyat Palestina sejak dibentuknya badan tersebut di tahun 1976 dan selaku Ketua Komite Ad-Hoc untuk Kamboja selama satu dasawarsa yang lalu – telah mendapat pujian dan pengakuan di seluruh dunia.
Pada hari pembukaan, kita telah mendapat kesempatan yang berharga mendengarkan pidato peresmian Yang Mulia Presiden Senegal yang demikian luas dan mendalam, Kita semua menghargai pandangan-pandangan arif dan bijak Yang Mulia mengenai masalah-masalah kritis yang sedang kita hadapi, yang saya percaya akan merupakan masukan yang berharga bagi kita semua dalam membahas masalah-masalah yang kita hadapi bersama. Yakinilah, Yang Mulia Ketua, bahwa Indonesia akan sepenuhnya mendukung kepemimpinan Yang Mulia dalam mengetuai sidang ini.
Saya juga ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Yang Mulia Sheikh Jaber Al-Ahmad Al-Jaber Al-Sabah, Emir Kuwait atas kepemimpinannya yang bijaksana dan berwibawa dalam menangani kegiatan organisasi kita dalam suatu masa yang penuh gejolak, cobaan dan malapetaka pribadi itu. Penghargaan patut pula kita sampaikan kepada Sekretaris Jenderal, Dr. Hamid Al-Gabid, atas pelaksanaan tugasnya yang sangat baik meskipun sering harus menghadapi keadaan yang sangat sulit.”[2]
“Hadirin yang saya muliakan;
Sementara kita merasa berbesar hati melihat perkembangan positif dan terbukanya lembaran baru yang lebih baik dalam sejarah Islam, kita dihadapkan pada konflik-konflik yang telah berlangsung lama, yaitu penolakan hak-hak dan aspirasi-aspirasi sah rakyat-rakyat dan pelanggaran prinsip-prinsip hukum internasional.
Keadaan paling memprihatinkan justru yang terjadi di Timur Tengah. Di tengah-tengah terjadinya transformasi positif dalam percaturan politik internasional dan penyelesaian damai berbagai konflik regional, kawasan Timur Tengah secara keseluruhan masih tetap merupakan ajang sengketa, kegoyahan dan ketidaksamaan.
Oleh karena itu, kita perlu segera memusatkan perhatian pada inti sengketa dan permusuhan di Timur Tengah, yakni perjuangan sah rakyat Palestina di bawah kepemimpinan PLO sebagai satu-satunya wakil sah untuk memperoleh kembali hak-hak menentukan nasib sendiri dan membentuk suatu negara. Kegetiran keadaan di wilayah-wilayah pendudukan Israel menuntut seluruh umat Islam untuk mengakhiri penindasan Israel terhadap bangsa Arab.
Peristiwa-peristiwa tahun lalu telah menunjukkan betapa Israel berkeras mempertahankan politik ekspansi dan agresinya tanpa mengindahkan kecaman dunia. Tindakan Israel yang membiarkan imigran Yahudi bermukim di wilayah yang didudukinya merupakan langkah sombong yang dapat berakibat sangat buruk. Israel malahan menempuh sikap lebih keras, yang memperkuat kecurigaan terhadap niatnya untuk terus menduduki wilayah-wilayah Arab. Semuanya tadi mengakibatkan prospek penyelesaian damai konflik Timur Tengah dan masalah Palestina tetap gelap.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia menyambut baik berlangsungnya Konferensi Madrid yang diprakarsai bersama oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang mendapat tanggapan konstruktif dari negara-negara Arab yang langsung berkepentingan.
Sementara itu setiap upaya yang kita tempuh melalui perundingan, masalah yang menjadi kunci sengketa tetap perlu mendapat perhatian yang utama, yaitu: kesediaan Israel mengambil bagian dalam suatu proses damai yang akan memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Palestina. Perdamaian tidak akan datang selama Israel mempertahankan politik permukiman imigran Yahudi, aneksasi wilayah, penindasan dan pelanggaran hak-hak asasi bangsa lain. Perdamaian hanya dapat ditegakkan dengan memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Palestina dan penarikan tanpa syarat pasukan pendudukan Israel dari seluruh wilayah Arab yang diduduki, termasuk Al-Quds Al-Sharif, dataran tinggi Golan, dan Lebanon Selatan.
Kita mungkin telah mencapai suatu titik-balik yang penting dalam proses konferensi damai Madrid. Tanpa mempertimbangkan kecongkakan Israel dalam penentuan corak dan susunan delegasi Palestina, sudah jelas bahwa konferensi damai Madrid merupakan peristiwa penting bersejarah. Setelah berkorban dan berjuang bertahun-tahun, rakyat Palestina diakui dan diterima sebagai suatu bangsa yang telah mencanangkan landasan kokoh bagi pelaksanaan kedaulatan mereka atas negara Palestina yang merdeka.
Bagi Israel, kiranya kebenaran hakiki sudah tiba sesuai pernyataannya yang sering diungkapkan untuk berunding dengan negara-negara Arab tetangganya. Mudah-mudahan, pemimpin-pemimpin Israel akhirnya menyadari kecenderungan sejarah yang tak dapat dibendung lagi. Mereka harus membulatkan kemauan politiknya untuk mengesampingkan semua hambatan guna mencapai perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah.”[3]
Dikutip dari laman kemlu.go.id., Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina setelah dideklarasikannya negara Palestina di Aljazair, 15 November 1988. Sebagai wujud dukungan lebih lanjut dari Indonesia kepada Palestina, pada tanggal 19 Oktober 1989 di Jakarta telah ditandatangani “Komunike Bersama Pembukaan Hubungan Diplomatik” antara Menlu RI, Ali Alatas, dan Menlu Palestina, Farouq Kaddoumi, yang sekaligus menandai pembukaan Kedutaan Besar Negara Palestina di Jakarta.
Duta Besar pertama Palestina untuk Indonesia menyerahkan Surat-surat Kepercayaannya kepada Presiden Soeharto pada 23 April 1990. Sebaliknya, Pemerintah RI menetapkan bahwa Duta Besar RI di Tunisia juga diakreditasikan bagi negara Palestina. Sejak 1 Juni 2004, akreditasi Palestina berada di bawah rangkapan KBRI Yordania.
Dengan demikian, dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina, telah dimulai sejak era Presiden Soekarno, dan dukungan tersebut terus berlanjut melewati berbagai periode pemerintahan, hingga kini di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Fatmah Ayudhia Amani, S. Ag.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan Diploma in Islamic Early Childhood Education, International Islamic College Malaysia dan S1 Tafsir dan Ulumul Qur’an, STIU Dirosat Islamiyah Al Hikmah, Jakarta.
Referensi
Alhadar, M. tt. Tragedi Palestina. Jakarta: Yulia Karya
Hadi, Achmad dan M. Riza Sihbudi. 1992. Palestina: Solidaritas Islam dan Tata Politik Dunia Baru. Jakarta: Pustaka Hidayah.
https://www.kemlu.go.id/amman/id/pages/indonesia-palestine/2415/etc-menu
Sumber bacaan didapat di Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamadun
- M. Alhadar, Tragedi Palestina, (Jakarta: Yulia Karya, tt.) Hlm.5. ↑
- Achmad Hadi dan Riza Sihbudi, M, Palestina: Solidaritas Islam dan Tata Politik Dunia Baru (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1992). Hlm. 11–12. ↑
- Ibid. Hlm. 14–16. ↑