Lukman Harun Lukman Harun merupakan seorang putra Minangkabau, anak ke lima di antara tujuh bersaudara dari pasangan Zaid dan Kamsiah. Ayahnya fasih berbahasa Arab dan punya pengetahuan agama yang cukup luas. Lukman Harun lahir di Limbanang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, pada 6 Mei 1934 (wafat 8 April 1999).
Beliau adalah salah satu tokoh yang paling berpengaruh di dalam organisasi Muhammadiyah; kakak angkatan Amien Rais, Din Syamsuddin, juga Syafii Maarif, sekaligus pengibar panji-panji organisasi bentukan KH Ahmad Dahlan itu di dunia internasional. Din Syamsuddin bahkan menjulukinya sebagai Menteri Luar Negeri-nya Muhammadiyah. Lukman Harun aktif di berbagai lini pergerakan sejak mahasiswa, juga berperan dalam dunia politik.
Hubungan Indonesia dan Palestina terjalin akrab, meski pada masa paling sulit, yakni ketika Indonesia tengah menghadapi Agresi Militer Belanda II. Ketika itu, Ali Taher, konglomerat Palestina asal Nablus, Tepi Barat, pernah menghibahkan seluruh kekayaannya di Bank Arabia untuk perjuangan rakyat Indonesia. Dengan demikian, Palestina bukan hanya mendukung kemerdekaan Indonesia melalui pidato Grand Mufti Sayyid Amin al-Husaini, melainkan juga berkontribusi terhadap dukungan dana untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Lukman Harun tercatat pernah memegang posisi penting di sejumlah organisasi Islam berlingkup global, termasuk Komite Solidaritas Islam, Komite Setia Kawan Rakyat Indonesia-Afghanistan, Komite Pembebasan Palestina dan Masjidil Aqsha, hingga menjabat Sekretaris Jenderal Asian Conference on Religion and Peace (ACRP). Tidak heran jika namanya tercatat sebagai sosok yang memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Pada diskusi pekan persahabatan Indonesia-Palestina yang diselenggarakan oleh BKK-KUA Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta, 13–18 Januari 1992, beliau menyampaikan tentang partisipasi dan solidaritas rakyat Indonesia dalam membantu perjuangan Palestina melalui pendekatan sejarah. Berikut adalah pidatonya:
“Palestina hampir telah 1000 tahun menjadi kawasan yang diperebutkan dan menjadi pusat konflik yang melibatkan seluruh dunia. Hal ini antara lain disebabkan karena di Palestina, khususnya di Yerusalem, terdapat tanah suci tiga agama, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi.
Palestina berada di bawah kekuasaan orang Islam sejak tahun 638 M. Pada tanggal 25 November 1095, Paus Urban II memerintahkan dilakukannya perang suci untuk membebaskan Yerusalem dari tangan orang Islam. Inilah permulaan Perang Salib yang berlangsung selama 150 tahun. Akhirnya, di bawah pimpinan Salahuddin Al Ayyubi, umat Islam dapat memenangkan perang tersebut dan Palestina kembali di bawah kekuasaan orang Arab atau orang Islam. Walaupun secara formal Perang Salib telah berakhir, tetapi “Perang Salib”dalam bentuk baru terus berlangsung dan tetap mempunyai pengaruh di dunia internasional sampai sekarang.
Sejak tahun 1516 sampai Perang Dunia I, Palestina dan seluruh kawasan Timur Tengah berada di bawah kekuasaan Turki atau Kekaisaran Utsmaniyah (Ottoman Empire).
Bulan Agustus 1987 dilangsungkan Kongres Zionis Internasional di Basle (Basel) yang mengeluarkan sebuah deklarasi yang isinya: ‘Tujuan Zionis ialah untuk mewujudkan sebuah negara Yahudi di Palestina.’
Setelah berakhir Perang Dunia I, Turki yang memihak Jerman juga menderita kekalahan dan terusir dari Timur Tengah. Beberapa bagian Timur Tengah jatuh ke tangan Inggris dan beberapa bagian jatuh ke tangan Prancis. Palestina jatuh ke tangan Inggris. Atas keputusan Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1923 Palestina menjadi daerah mandat Inggris.
Pada waktu berlangsungnya Perang Dunia I, tahun 1916 Inggris dan Prancis telah mengadakan persetujuan untuk membagi-bagi dunia Arab. Persetujuan itu terkenal dengan nama Sykes-Picot Agreement. Tahun 1917 Inggris mengeluarkan suatu keputusan yang terkenal dengan nama Balfour Declaration yang menjanjikan sebuah negara bagi orang Yahudi di Palestina.
Selama Inggris memegang kekuasaan di Palestina, Inggris telah mengizinkan orang Yahudi dari berbagai penjuru dunia pindah secara besar-besaran ke Palestina. Pada tahun 1919 orang Yahudi di Palestina hanya berjumlah kurang lebih 58.000 orang, pada tahun 1936 orang Yahudi telah berjumlah 348.000 orang. Orang-orang Yahudi segera pula membeli tanah di Palestina dari orang-orang Arab. Selama pemerintahan Ottoman Empire orang Yahudi tidak dibolehkan membeli tanah di Palestina.
Tanggal 14 Mei 1948 Israel memproklamasikan kemerdekaannya pada pukul 18.01. Sepuluh menit kemudian, yaitu pukul 18.11, Amerika Serikat mengakui Israel yang kemudian disusul oleh Inggris, Prancis, dan Uni Soviet.
Telah terjadi sebanyak tiga kali perang besar antara negara-negara Arab dengan Israel, yaitu pada tahun 1948, tahun 1967, dan tahun 1973. Dalam setiap perang tersebut Israel selalu dibantu oleh Amerika Serikat dan berbagai negara Barat lainnya. Di samping itu telah terjadi pula perang pada waktu Mesir menasionalisasi Terusan Suez pada tahun 1956, maka Inggris, Prancis, dan Israel menyerbu Mesir. Pada tahun 1982 Israel menyerbu Lebanon dalam usaha menghancurkan basis PLO dan akhirnya Israel menduduki Lebanon Selatan.
Setiap perang antara negara-negara Arab dan Israel, negara-negara Arab selalu menderita kekalahan. Dalam perang tahun 1967 seluruh daerah Palestina, yaitu West Bank, termasuk Yerusalem Timur dan Gaza, diduduki Israel. Bahkan juga Sinai (daerah Mesir) dan Dataran Tinggi Golan (daerah Syria) jatuh pula ke tangan Israel.
Dalam usaha menyelesaikan masalah Palestina, PBB, baik Majelis Umum maupun Dewan Keamanan, telah mengeluarkan resolusi sebanyak 361 buah. Dewan Keamanan telah mengeluarkan sebanyak 78 buah, yang diveto Amerika Serikat sebanyak 38 buah, yang ditolak sebanyak 29 buah, yang disetujui hanya 3 buah. Boleh dikatakan setiap resolusi yang akan menguntungkan Palestina selalu diveto ataupun ditolak oleh Amerika Serikat.
Prestroika dan glasnost yang mulai dilaksanakan di Uni Soviet tahun 1987 telah merugikan Palestina. Negara-negara Eropa Timur, termasuk Uni Soviet yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel sejak terjadinya perang Arab-Israel tahun 1967, telah memulihkan kembali hubungan diplomatik dengan Israel. Juga telah diadakan perundingan antara Israel dengan RRC untuk segera memulihkan hubungan diplomatik antara kedua negara tersebut yang terputus sejak tahun 1967.
Sebelum prestroika dan galsnost, Uni Soviet tidak mengizinkan orang Yahudi bermigrasi ke Israel karena akan dimukimkan di daerah Palestina yang diduduki Israel. Setelah prestroika dan glasnost, Uni Soviet mengizinkan orang Yahudi bermigrasi ke Israel. Hal ini dilakukan oleh Uni Soviet atas desakan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Israel merencanakan sekitar 1000 orang sehari imigran dari Uni Soviet yang pindah ke Israel dan akan dimukimkan di daerah Palestina yang didudukinya.
Dalam masalah imigran Yahudi dari Uni Soviet ini telah terjadi kerja sama yang baik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Uni Soviet mengirimkan ke Israel orang-orang terdidik, sedangkan Amerika Serikat memberikan bantuan keuangan untuk memukimkan mereka di daerah Palestina.
Israel mempunyai kebijaksanaan kependudukan di daerah Palestina yang didudukinya, yaitu berusaha mengurangi orang-orang Palestina dengan menggusur mereka dari kampung halaman mereka dan kemudian memukimkan imigran Yahudi di daerah-daerah tersebut. Sampai sekarang telah dibangun kira-kira 480 buah daerah permukiman Yahudi yang dibangun di daerah Palestina.
Pada waktu ini, daerah Palestina yang diduduki Israel berpenduduk kurang lebih 3,5 juta jiwa, di antaranya terdapat 2,8 juta orang Palestina dan 700.000 orang Yahudi. Kalau imigran Yahudi dari bekas Uni Soviet dan negara-negara lainnya terus berdatangan ke Israel sesuai dengan rencana Israel dan mereka dimukimkan di daerah Palestina, maka dalam waktu lima tahun yang akan datang, jumlah orang Yahudi di Palestina akan lebih banyak dari orang Palestina sendiri. Menurut perhitungan Israel, pada waktu itu masalah Palestina akan selesai dengan sendirinya. Karena itu pulalah masalah imigran Yahudi dan pemukiman mereka di Palestina merupakan persoalan yang sangat serius bagi orang Palestina. Dan karena itu pulalah Zionis Israel selalu berusaha untuk menunda-nunda penyelesaian masalah Palestina tersebut.”[1]
Kemudian Lukman Harun melanjutkan pidatonya dengan menyampaikan solusi untuk perjuangan kemerdekaan Palestina, beliau mengatakan, “Untuk dapat mewujudkan cita-cita rakyat Palestina yang merdeka dan berdaulat, maka cara yang paling baik dilakukan rakyat Palestina ialah dengan meningkatkan intifada dan diplomasi, keduanya harus saling membantu satu sama lain. Di samping itu adalah menjadi kewajiban moral bagi umat Islam dan bagi negara-negara Islam serta negara-negara yang cinta damai untuk terus meningkatkan bantuan konkret guna membantu perjuangan rakyat Palestina tersebut.”[2]
“Pemerintah dan rakyat Indonesia sejak semula telah mendukung sepenuhnya perjuangan rakyat Palestina. Sikap pemerintah dan rakyat Indonesia tetap konsisten. Indonesia termasuk negara yang cepat mengakui kemerdekaan Palestina yang diproklamasikan pada tanggal 15 November 1988. Indonesia memberikan pengakuan tanggal 18 November 1988 yang segera pula dibuka Kedutaan Besar Palestina di Jakarta merupakan bantuan dari Pemerintah Indonesia. Sikap tegas dan konsisten Indonesia dalam membantu dan membela perjuangan rakyat Palestina dibuktikan lagi pada waktu PBB, atas desakan Amerika Serikat, akan mencabut keputusan PBB yang menyatakan Zionisme sama dengan rasisme. Pada waktu akan diambil keputusan dalam Majelis Umum PBB, Indonesia dengan tegas menolak untuk mencabut keputusan PBB tersebut. Walaupun akhirnya Amerika Serikat dan kawan-kawan berhasil juga mencabut keputusan Majelis Umum PBB tersebut.
Adapun sebab-sebabnya Indonesia dengan tegas dan konsisten membantu perjuangan rakyat Palestina antara lain ialah:
- Dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama disebutkan: ‘Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.’ Sesuai dengan amanat konstitusi tersebut, maka pemerintah dan rakyat Indonesia akan terus membantu perjuangan rakyat Palestina sampai mereka mempunyai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Selama Israel masih menjajah Palestina, selama itu pula Indonesia tidak akan mengakui Israel.
- Negara-negara Arab, termasuk para pemimpin Palestina seperti almarhum Mufti Palestina Amin Al-Husaini, sangat membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Malah Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 10 Juni 1947 yang kemudian disusul oleh negara-negara Arab lainnya.
- Buat umat Islam Indonesia, membantu perjuangan rakyat Palestina berarti juga membantu membebaskan Masjid Al-Aqsha dari pendudukan Zionis Israel. Masjid Al-Aqsha yang terletak di Baitul Maqdis atau Yerusalem adalah tanah suci ketiga setelah Makkah dan Madinah, di samping itu Masjid Al-Aqsha adalah Kiblat pertama umat Islam.
Sejak Palestina masih berada di bawah mandat Inggris, umat Islam Indonesia telah membantu perjuangan rakyat Palestina. Pada tahun 1931 dilangsungkan Muktamar Alam Islami yang pertama di Yerusalem yang membicarakan masalah Palestina yang dilakukan atas prakarsa Mufti Palestina, Amin Al-Husaini. Orang Indonesia yang menghadiri konperensi tersebut ialah almarhum Prof. Kahar Muzakkir, pendiri UII. Menurut beberapa catatan, Pak Kahar Muzakkir pada waktu beliau belajar di Kairo terkenal sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan juga sangat gigih membantu perjuangan rakyat Palestina. Karena itulah Pak Kahar sangat terkenal di Timur Tengah.”[3]
Lukman Harun juga pernah bertemu langsung dengan Mufti Palestina, Syaikh Amin Al-Husaini, beliau menceritakan pengalamannya, “Saya bertemu dengan almarhum Mufti Amin Al-Husaini pada tahun 1969 di Beirut, pada waktu saya diundang makan malam di rumah beliau. Mufti Amin Al-Husaini mengikuti betul perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, karena itulah beliau merasa dekat dengan orang-orang Indonesia.”[4]
Lukman Harun juga pernah bertemu langsung dengan pemimpin Palestina Yaseer Arafat, beliau mengungkapkan pengalamannya tersebut, “Dalam tahun 1969 itu pulalah buat pertama kali saya bertemu dengan pemimpin Palestina Yaseer Arafat di Amman, Yordania. Dalam pertemuan itu Yaseer Arafat sangat mengharapkan bantuan dari pemerintah dan rakyat Indonesia untuk membebaskan tanah air mereka dari penjajahan Zionis Israel. Pada waktu itu Yaseer Arafat juga mengharapkan dapat dibuka kantor Al-Fatah di Jakarta. Saya diberi kesempatan oleh Yaseer Arafat untuk mengunjungi kamp-kamp pertahanan Al-Fatah di Yordania sampai di perbatasan Israel. Menurut keterangan Yaseer Arafat, saya adalah orang Indonesia yang bertemu dengan beliau, karena itulah saya diberi kesempatan mengunjungi tempat-tempat pertahanan Al-Fatah. Pertemuan dengan Yaseer Arafat, kunjungan ke tempat-tempat pertahanan Al-Fatah, serta kunjungan ke kamp-kamp pengungsi Palestina telah memberi kesan yang mendalam bagi saya mengenai perjuangan yang adil dan sah rakyat Palestina. Sejak itu pulalah saya banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh inti PLO.”
Kemudian Lukman Harun melanjutkan dengan kontribusi Indonesia kepada Palestina, beliau mengatakan, “Pada waktu terjadi perang antara negara-negara Arab dengan Israel tahun 1973, di Jakarta segera dibentuk Panitia Pembantu Perjuangan Pembebasan Palestina dan Masjid Al-Aqsha dengan ketua almarhum Sutjipto Judidardjo (mantan Panglima Polri) dan saya adalah wakil ketuanya. Panitia tersebut didukung oleh berbagai organisasi Islam.
Dengan bekerja sama dengan Rumah Sakit Islam Jakarta dan Palang Merah Indonesia, Panitia segera mengadakan pengumpulan darah bertempat di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta. Terkumpul kurang lebih 45 liter yang akan dikirimkan ke medan perang Timur Tengah. Pengiriman darah itu merupakan lambang menyatunya darah umat Islam Indonesia dengan pejuang-pejuang Arab dalam membebaskan Palestina. Dalam sejarah Indonesia baru, buat pertama kali kita mengirim darah ke luar negeri, sampai-sampai kita tidak tahu prosedurnya. Para pejabat pemerintah juga tidak tahu prosedur pengiriman darah tersebut. Akhirnya disepakati untuk mengirimkan darah itu sebagai barang dagangan.
Kemudian timbul pula masalah, yaitu bagaimana cara pengiriman darah tersebut sehingga cepat sampai di tempat tujuan dan dapat pula dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Harus pula dicari pesawat udara yang tidak pro-Israel. Akhirnya diputuskanlah untuk mengirimkan darah dengan Garuda ke Singapura dan dari Singapura dengan pesawat Cekoslowakia (CSA) ke Beirut. Dengan bantuan Departemen Luar Negeri, alhamdulillah darah itu diterima dalam keadaan baik oleh KBRI Beirut dan Bulan Sabit (Palang Merah) Lebanon, dan kemudian segera dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pejuang Arab yang luka-luka di medan perang.
Panitia juga segera mengumpulkan dana untuk disumbangkan kepada PLO dan negara-negara Arab. Di samping itu dikumpulkan pula obat-obatan, alat-alat kedokteran, teh, kopi, dan lain sebagainya. Dari dana yang terkumpul, oleh panitia diputuskan untuk membeli dua buah ambulan yang akan disumbangkan untuk PLO dan untuk Syria. Pembelian ambulan dilakukan oleh KBRI Damaskus di Eropa. Tidak lama kemudian saya diundang ke PLO. Kesempatan itu saya pergunakan untuk menyerahkan ambulan tersebut kepada PLO dan pemerintah Syria yang kedua-duanya dilakukan di Damaskus. Penyerahan resmi dilakukan oleh Duta Besar Indonesia di Damaskus, yaitu Bapak Ubani dan Bapak Arifin Usman. Sebelum diserahkan, di kedua sisi mobil tersebut ditulis dengan huruf-huruf besar: ‘Sumbangan Umat Islam Indonesia dalam Perjuangan Pembebasan Palestina.’ Dengan demikian diharapkan masyarakat Arab mengetahui mengenai sumbangan umat Islam Indonesia tersebut. Sedangkan sisa uangnya diserahkan kepada anak-anak yatim Palestina melalui Rabithah Alam Islami.
Sedang sumbangan obat-obatan, alat-alat kedokteran, teh, kopi dan sebagainya diserahkan kepada Mesir melalui Kedutaan Besar Mesir di Jakarta. Menurut hemat saya, itulah buat pertama kalinya umat Islam Indonesia memberikan bantuan yang konkret dalam perjuangan pembebasan Palestina.
Pada waktu terjadinya Perang Oktober 1973 tersebut para pemuda Islam mengadakan demonstrasi besar di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang mengutuk keterlibatan Amerika Serikat dalam perang tersebut dengan memberikan bantuan kepada Israel. Demonstrasi yang serupa terjadi pula di Medan dan tempat-tempat lainnya di Indonesia.”[5]
Lukman Harun juga menyebutkan kontribusi organisasi Muhammadiyah untuk rakyat Palestina, “Selama saya duduk di PP Muhammadiyah, hampir setiap tahun kami mengirimkan bantuan kepada para pengungsi Palestina melalui kantor PBB yang mengurus pengungsi Palestina atau UNRWA yang berpusat di Wina. Bantuan tersebut memang tidak besar, kadang-kadang hanya 500 dolar ataupun 1000 dolar. Hal itu merupakan bukti bahwa rakyat Indonesia tetap memberikan bantuan kepada rakyat Palestina yang sedang menderita akibat pendudukan Israel.”[6]
Dengan demikian, Indonesia telah memberikan bantuan serta dukungannya kepada rakyat Palestina, tidak peduli dari latar belakang manapun dan dalam bidang apapun. Sehingga rakyat Indonesia sudah seharusnya tetap bersatu dan terus meneruskan perjuangan para pendahulu untuk membantu Palestina hingga meraih kemerdekaannya dari belenggu penjajah Zionis Israel.
Fatmah Ayudhia Amani, S. Ag.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan Diploma in Islamic Early Childhood Education, International Islamic College Malaysia dan S1 Tafsir dan Ulumul Qur’an, STIU Dirosat Islamiyah Al Hikmah, Jakarta.
Referensi:
Achmad Hadi dan Riza Sihbudi, M. 1992. Palestina: Solidaritas Islam dan Tata Politik Dunia Baru. Jakarta: Pustaka Hidayah.
https://tirto.id/kisah-lukman-harun-melawan-amien-rais-cmki
- Achmad Hadi dan Riza Sihbudi, M. Palestina: Solidaritas Islam dan Tata Politik Dunia Baru (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1992) Hlm. 117–119. ↑
- Ibid. Hlm. 122. ↑
- Ibid. Hlm. 122–123. ↑
- Ibid. Hlm. 123. ↑
- Ibid. Hlm. 124–125. ↑
- Achmad Hadi dan Riza Sihbudi, M. 1992. Palestina: Solidaritas Islam dan Tata Politik Dunia Baru. Jakarta : Pustaka Hidayah. Hal. 125. ↑