Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, konstelasi antar kekuatan dunia seakan tidak pernah berakhir. Pasca-Perang Dunia Kedua, muncul dua kekuatan besar, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dua negara adidaya ini sama-sama ingin menyebarkan pahamnya yaitu kapitalis-liberalis yang dianut oleh Amerika Serikat dan sosialis-komunis yang dianut oleh Uni Soviet. Menyadari hal ini, beberapa negara di Asia-Afrika yang notabene merupakan bekas negara-negara terjajah, mengkhawatirkan dampak dari persaingan kedua paham tersebut.
Sebagian dari negara-negara di Asia dan Afrika adalah negara yang baru saja merdeka, seperti Indonesia, Filipina, Myanmar, Pakistan, India, Sri Lanka, dan Tiongkok. Namun, ada beberapa negara di Asia dan Afrika yang memang belum merdeka dan masih harus berjuang melawan penjajahan atas tanah air mereka. Salah satunya ialah Palestina. Dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Sementara pada 23 Agustus 1953, Ali Sastroamidjojo mengusulkan pentingnya kerja sama antara negara-negara Asia dan Afrika dalam menciptakan perdamaian dunia. Dalam hal ini masalah Palestina juga dibicarakan pada Konferensi Asia Afrika serta dalam Konferensi Kolombo dan Konferensi Bogor yang diadakan sebelumnya.
Didahului dengan pertemuan di Kolombo pada tahun 1954 para perwakilan dari negara di Asia-Afrika menghasilkan gagasan untuk diadakannya Konferensi Bangsa-bangsa Asia Afrika. Selain menghasilkan gagasan untuk diadakannya KAA, pada konferensi ini, terdapat dua negara, yakni Indonesia dan Pakistan, yang mengangkat isu Palestina karena masalah tersebut memiliki keterkaitan dengan kolonialisme yang menjadi perhatian negara-negara Asia-Afrika yang berkumpul di Kolombo saat itu. Kedua negara tersebut menunjukkan sikap yang tegas terhadap agresi yang dilakukan oleh Israel di wilayah Palestina.
Hal lain yang diperoleh dari konferensi Kolombo yaitu terbentuknya satu rasa simpati terhadap penderitaan rakyat Palestina yang kemudian diikuti dengan upaya mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk turut serta dalam penyelesaian konflik dan mengirim kembali para pengungsi Palestina.
Pertemuan kemudian berlanjut di Bogor pada Desember 1954. Dalam pertemuan ini para delegasi memutuskan bahwa pertemuan akan diadakan di Indonesia pada bulan April 1955. Pertemuan tersebut, yang kini dikenal sebagai Konferensi Asia Afrika (KAA), disponsori oleh lima negara: Burma (Myanmar), India, Indonesia, Pakistan, dan Ceylon (Sri Lanka). Pertemuan ini melibatkan 24 negara lainnya dari Asia dan Afrika yang berlangsung selama sepekan (18–24 April 1955).
Setelah membentuk sekretariat bersama di Bogor, pemerintah Indonesia membentuk panitia interdepartemental di Bandung. Dibentuk pula panitia lokal pada 3 Januari 1955 yang diketuai oleh Sanusi Hardjadinata, Gubernur Jawa Barat. Panitia lokal bertugas mempersiapkan dan melayani hal-hal yang berkaitan dengan akomodasi, logistik, transportasi, kesehatan, komunikasi, keamanan, hiburan, protokol, penerangan, dan lain-lain. Pada 16 April 1955, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo bersama Menteri Luar Negeri Indonesia, Sunario Sastrowardoyo, menyambut kedatangan para delegasi, antara lain PM Republik Rakyat Tiongkok, Chou En Lai, PM Mesir Gamal Abdul Nasser, PM India Pandit Jawaharlal Nehru, PM Birma, U Nu, dan PM Sri Lanka, Sir John Kotelawala.
Sementara itu, meski Palestina tidak memiliki perwakilan resmi, wakil Palestina tetap hadir sebagai peninjau. Ia adalah Grand Mufti Al-Quds Sayyid Amin al-Husaini, yang sosoknya sudah dikenal oleh kebanyakan tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Status sebagai peninjau ini diberikan kepada negara-negara yang belum merdeka, termasuk Maroko dan Tunisia.

Pada Senin, 18 April 1955 sekitar pukul 08.30 Waktu Indonesia Barat para delegasi dari berbagai negara berjalan meninggalkan Hotel Homann dan Hotel Priangan secara berkelompok menuju Gedung Merdeka untuk menghadiri pembukaan Konferensi Asia Afrika. Perjalanan para delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Priangan ini kemudian dikenal dengan nama langkah bersejarah “Historical Walk”. Presiden Soekarno selanjutnya membuka penyelenggaraan KAA di Gedung Merdeka, Bandung. Dalam pembukaan sidang KAA, Presiden Soekarno berpidato dan mengajak para delegasi untuk membangun Asia dan Afrika baru yang bebas, damai, merdeka, dan tidak terikat pada blok mana pun.
Presiden Soekarno juga menyoroti prinsip-prinsip yang menjadi dasar solidaritas negara-negara Asia-Afrika. Ia mengingatkan bahwa Asia-Afrika bersatu dalam penolakan terhadap kolonialisme, rasisme, dan tekad untuk membangun perdamaian dunia. Soekarno juga menegaskan bahwa solidaritas Asia-Afrika terwujud karena adanya “garis kehidupan imperialisme,” yang membentang dari Selat Gibraltar, Laut Mediterania, Terusan Suez, hingga Samudra Hindia.

Pidatonya tersebut yang berjudul “Let a New Asia Africa be Born” Soekarno mengimbau segenap negara di Asia-Afrika jangan terpedaya oleh lantunan kalimat “kolonialisme sudah mati.” Dalam realitanya, kolonialisme hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu nyatanya masih hadir di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Isu Palestina sebagai perjuangan anti-kolonialisme juga memiliki kesamaan dengan perjuangan kemerdekaan Aljazair, Maroko, dan Tunisia. Pada saat itu, negara-negara Arab secara tegas mengutuk zionisme internasional. Mereka mengungkapkan keluhan terkait ketidakpatuhan Israel terhadap resolusi PBB mengenai masalah Palestina. Negara-negara Arab juga menyatakan bahwa zionisme adalah bentuk imperialisme yang kejam.
Pada 19 April 1955, para delegasi KAA kembali bersidang dengan agenda melanjutkan pembacaan pidato para ketua delegasi. Delegasi Yordania mengingatkan para peserta konferensi untuk menjaga perdamaian dunia, khususnya Palestina, delegasi Pakistan berbicara tentang peningkatan hubungan ekonomi, politik, dan budaya, delegasi Filipina berbicara tentang kebebasan berpolitik, delegasi Syiria berbicara tentang meningkatkan perdamaian dan ketegangan dunia akibat Perang Dingin, dan Delegasi Republik Rakyat Tiongkok tentang keinginannya untuk melaksanakan prinsip-prinsip Peaceful Co-Existence dalam hubungan internasional.
Selanjutnya dalam sidang pleno terbentuklah Komite Politik yang diketuai oleh PM Ali Sastroamidjojo, Komite Ekonomi diketuai oleh Prof. Ir. Rosseno, Komite Kebudayaan diketuai oleh Mohammad Yamin. Isu Palestina termasuk ke dalam pembahasan Komite Politik.

Setelah menyelesaikan sidang komisi selama satu minggu, diadakan Sidang Umum KAA yang terakhir pada 24 April 1955, yang ditutup dengan pembacaan rumusan pernyataan dari tiap-tiap komite oleh Roeslan Abdulgani selaku Sekretaris Jenderal Konferensi Asia Afrika. Rumusan tersebut dituangkan dalam satu komunike akhir yaitu cara-cara bagaimana negara-negara Asia Afrika dapat bekerja sama lebih erat di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Hasil Konferensi Asia Afrika yang paling monumental adalah Declaration on the Promotion of World Peace and Cooperation atau yang dikenal dengan sebutan Dasasila Bandung.
Dalam Dasasila Bandung terdapat poin dukungan terhadap isu Palestina. Bahwasanya penjajahan Israel atas Palestina merupakan salah satu ancaman dari ketegangan dunia dan mendesak agar para pengungsi Arab segera dikembalikan ke tanah mereka di Palestina. Dalam hal ini KAA menyatakan dukungannya atas hak bangsa-bangsa Arab di Palestina dan menyerukan dilaksanakannya segala resolusi PBB tentang Palestina dan dicapainya penyelesaian secara damai untuk persoalan Palestina.
Hingga sekarang, setiap tanggal 18 April tiap tahunnya Indonesia selalu memperingati KAA dengan melakukan Historical Walk oleh para pejabat negara. Semangat Bandung yang dituangkan dalam KAA 1955 dalam menjaga solidaritas perjuangan Palestina juga tetap terjaga hingga kini. Lima tahun lalu, tepatnya pada 13 Oktober 2018, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama dengan Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Al-Maliki, serta Walikota Bandung Oded M. Danial meresmikan Palestine Walk: Road to Freedom, yaitu taman sepanjang 100 meter di Jalan Alun Timur Bandung
Pada peresmian acara ini Retno Marsudi berpesan, “Palestine Walk menggambarkan dukungan dan komitmen masyarakat Indonesia. khususnya Kota Bandung terhadap perjuangan rakyat Palestina dan sebagai pengingat agar semangat perjuangan tersebut tetap beresonansi di hati kita. Dukungan bangsa Indonesia tidak akan pernah luntur hingga rakyat Palestina memperoleh kemerdekaannya. Palestina selalu ada dalam napas diplomasi Indonesia”.
Rangkaian acara Solidarity Week for Palestine (dari Indonesia untuk Palestina) kemudian diadakan di Jakarta pada hari berikutnya (14/10/2018) berupa walk for peace and humanity bersamaan dengan car free day di Wisma Mandiri Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Menteri Maliki juga memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia, Salemba. Pembuatan Palestine Walk di Bandung memiliki keterkaitan peran Indonesia dalam kemerdekaan Palestina di Konferensi Asia Afrika (KAA).
Yunda Kania Alfiani
Penulis merupakan Relawan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan.
Referensi
Abdulgani, Roeslan. (1987). Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta : Merdeka Saran
Usaha.
Kusmayadi, Yadi. (2018). Pengaruh Konferensi Asia Afrika (KAA) Tahun 1955 Terhadap Kemerdekaan Negara-Negara di Benua Afrika”. Jurnal Agastya, 8(1): 19.
Poesponegoro, Marwati Djoened. Nugroho Notosusanto, dkk. (2008). Sejarah Nasional Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C. (2005). Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Penerbit Serambi.
65 Tahun Konferensi Asia Afrika: Semangat Solidaritas Asia Afrika
Sejarah Konferensi Asia-Afrika yang Lahirkan Solidaritas Global
Penutupan KAA di Bandung.
Sejarah Konferensi Asia Afrika
Sukarno dan Palestina
Sikap KAA pada Konflik Israel – Palestina
Asia Afrika Day
Opening address given by Sukarno (Bandung, 18 April 1955)
Palestine Walk di Bandung
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini