The Grand Old Man, begitulah julukan yang disandang oleh Kyai Haji Agus Salim. Diplomat ulung yang memperjuangkan Indonesia di berbagai negara, pemimpin organisasi Islam terkemuka, Sarekat Islam, bersama guru bangsa, Tjokroaminoto. Agus Salim juga seorang cendekiawan Islam yang kritis dalam menanggapi isu-isu umat. Tidak akan ada habisnya kata-kata yang dilontarkan untuk menyebut berbagai prestasi yang dimilikinya.
Beliau lahir di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat 8 Oktober 1884 dengan nama Mashudul Haq yang berarti Pembela Kebenaran. Nama Agus Salim diberikan oleh pengasuhnya. Agus berasal dari “Gus” yang berarti anak baik, dan Salim berasal dari nama ayahnya, Sutan Mohamad Salim yang merupakan seorang Kepala Jaksa di Pengadilan Tinggi Riau. Agus Salim mendapat pendidikan Belanda melalui Eurospeesch Lagere School (ELS), sekolah setingkat SD dan sekolah lanjutan di Hoogere Burger School (HBS).
Agus Salim merupakan seorang cendekiawan muslim yang cerdas dan kritis. Ia banyak menguasai berbagai bahasa asing dan kiprah politiknya juga beragam. Ia pernah ditunjuk menjadi konsuler Belanda untuk jamaah haji di Arab Saudi dan ia juga merupakan seorang Menteri Luar Negeri Indonesia pada periode 1947–1949 sekaligus merangkap sebagai ketua misi diplomatik Republik Indonesia untuk negara-negara Islam di Timur Tengah. Dalam kepemimpinannya, Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dari Mesir. itulah pengakuan de jure pertama dari dunia internasional terhadap proklamasi Indonesia. Setelah itu, sejumlah negara Arab pun berturut-turut menyatakan dukungannya: Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, dan Yaman.
Demikian besar kesungguhan Agus Salim dalam memperjuangkan pengakuan kedaulatan Indonesia di mata dunia, sebesar itu pula penolakan Agus Salim terhadap penjajahan, termasuk penjajahan atas Palestina.
Penjajahan Palestina bukan disebabkan oleh agama
(Sumber: https://www.middleeasteye.net. )
Sebagai seorang cendekiawan muslim yang menyoroti masalah tentang Islam dan Timur Tengah, tulisan Agus Salim mengenai permasalahan Palestina ditemukan dalam beberapa artikel di surat kabar Pedoman Masyarakat edisi 10 Juli 1936 yang dikutip dari buku Seratus Tahun Haji Agus Salim. Dalam artikel ini Agus Salim menyoroti perkataan Edmund Allenby, yang merupakan seorang Jenderal yang memimpin Operasi Jerusalem I pada tahun 1917. Allenby yang tergabung dalam Egyptian Expeditionary Force (EEF) berhasil menjalankan misinya dalam merebut Al-Quds (Yerusalem) dari Turki Utsmani pada saat itu.
“Perang Salib telah usai”, begitu kata Allenby ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Yerusalem pada 11 Desember 1917.
Anggapan Allenby bahwa kemenangannya dalam menaklukan Al-Quds merupakan akhir dari Perang Salib, yaitu pertentangan antara Islam dan Kristen, menurut Agus Salim adalah salah total. Dalam artikel 10 Juli 1936 yang berjudul “Yahudi dan Arab di Palestina, Pertarungan Kebangsaan” Agus Salim menuliskan kegeramannya atas pernyataan Allenby.
“Padahal perkataan (Allenby) itu salah dan bohong semata-mata. Perang Dunia 1904–1918 sekali-kali tidak patut diumpamakan ‘Perang Salib’. Perang besar itu pertama-tama dan terutama sekali pertarungan antara dua pihak bangsa Barat sendiri; bangsa yang belum (mempunyai jajahan-red) dan bangsa yang sudah mempunyai jajahan,” tukas Agus Salim.
Sebagai tambahan, Agus Salim juga menekankan bahwa ketika Turki menyerukan jihad kepada negara-negara Arab untuk turut berperang melawan pihak Sekutu, mereka menolak ajakan tersebut. Hal tersebut karena Turki Utsmani berperang di bawah pihak Poros yaitu Jerman dan Austria. Malahan banyak negara-negara Arab memanfaatkan momen tersebut untuk keluar dari cengkraman Turki dengan mengirimkan tentaranya ke perbatasan negara mereka untuk menolak ajakan Turki.
Di pihak Sekutu pun, banyak juga tentara-tentara muslim yang berasal dari Senegal, Sudan, dan India yang turut berperang di sisi mereka. Jadi sekali lagi perang ini bukan semata-mata perang antara Islam dan Kristen. Berlandaskan dari pendapat tersebut sudah sepatutnya Allenby dan Dunia Barat meminta maaf akan perbuatannya tersebut. Namun, Agus Salim kecewa karena hingga kematian Allenby, Jenderal tersebut tidak menarik kata-katanya dan dunia Barat pun bungkam akan hal ini.
Hal lain selain penaklukan Al-Quds oleh pasukan Inggris yang juga melukai bangsa Palestina adalah karena keputusan pemerintah Inggris untuk menciptakan “Negara untuk bangsa Yahudi”, tanpa perundingan dan pemberitahuan apapun terhadap bangsa Arab Palestina yang telah lama mendiami negeri tersebut.
Kemenangan pada Perang Dunia melahirkan sebuah produk “Demokrasi” dan “Kemerdekaan” bagi negara-negara kecil, begitu kata pihak sekutu, termasuk Amerika yang bergabung di dalamnya. Setelah Perang Dunia berakhir terlihat pembangunan dan tercipta negara-negara baru di sebelah timur Jerman dan Austria.
Namun, hal tersebut tidak dirasakan oleh bangsa Palestina sebab Inggris masih berkuasa di Palestina. Kemudian, dengan ditaklukkannya Al-Quds oleh Inggris, Palestina sebagai tanah suci orang Islam kini beralih fungsi menjadi kediaman bagi orang-orang Yahudi yang terusir dari negeri-negeri Kristen (Barat).
Lantas perkara inilah yang selanjutnya memicu pertengkaran yang hebat di antara kedua bangsa tersebut, antara Arab dan Yahudi Luar Negeri. Agus Salim memakai kata “Luar Negeri” karena Yahudi yang datang ke Palestina itu adalah Yahudi yang datang oleh sebab kepentingan Inggris dan Barat. Pendatangan baru ini kemudian diberikan kedudukan superior, jauh melampaui penduduk asli Palestina. Akibatnya, Bangsa Arab di Palestina tidak dapat mengakses dan menentukan hak serta hukum pemerintahan atas negerinya sendiri, sementara hal ini tidak berlaku bagi bangsa Yahudi pendatang tersebut. Mereka mendapatkan hak-hak istimewa yang diberikan oleh Inggris.
Sekali lagi, Agus Salim menekankan bahwa apa yang terjadi di Palestina bukan disebabkan oleh Agama. Ia berpendapat bahwa sejarah membuktikan agama Islam tidak pernah bermusuhan dengan agama apa pun yang berada di dalam negerinya. Justru malah bangsa Yahudi yang selalu diusir dan terbuang oleh agama atau pun otoritas lain di suatu negara.
Dimulai sejak zaman kerajaan Persia sampai kepada ketika kekaisaran Kristen menguasai Al-Quds, hingga pada masa negara-negara Eropa berkuasa, orang-orang Yahudi selalu terusir. Barulah semenjak Islam berkuasa di Asia kecil, seperti Suriah dan Palestina, segala macam agama, termasuk Yahudi di dalamnya, dapat tinggal dan merasa aman untuk beribadah dan menmbangun kehidupan di negara tersebut.
Adapun orang Yahudi asli yang mendiami Palestina, keamanan mereka tidak pernah terganggu di bawah kekuasaan Islam, sejak zaman penaklukan oleh Salahuddin al-Ayyubi pada 1187 sampai ketika Turki Utsmani kalah pada 1918. Semenjak itu, bahkan ketika muncul problematika (tanah bagi bangsa Yahudi di Palestina) yang dibawa oleh Inggris, tidak ada permusuhan yang timbul antara orang Islam dan Yahudi asli yang sejak awal hidup berdampingan di Palestina.
Pemicu ketegangan Arab dan Yahudi: masalah politik negeri-negeri Barat
(Sumber: https://www.bl.uk/world-war-one)
Masih bersumber dari buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, dalam sebuah artikel dari surat kabar Pandji Islam edisi 9 Januari 1939 yang berjudul “Soal Yahudi di Palestina”, Agus Salim menjelaskan persekutuan yang dilakukan antara Inggris dan Yahudi didasari pada kepentingan politik negara-negara Barat.
“Hanyalah dalam soal Yahudi dan Palestina itu, di samping soal agama belaka, tercampur pelbagai masalah dengan pengaruh politik kebangsaan dan politik pertarungan dan persaingan imperialisme yang baik kita ketahui daripada kita lalaikan jika kita hendak menentukan sikap.”
Dalam artikel tersebut Agus Salim memaparkan kondisi terkait dengan Perang Dunia I, ketika pihak Sekutu yaitu Inggris dan Perancis mengalami kesulitan dalam perang dan mencari bantuan dari orang Arab. Thomas Edward Lawrence, seorang staf intelijen Inggris, diberi tugas untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang Arab, meskipun negeri-negeri Arab pada saat itu dikuasai oleh Turki Utsmani.
Orang Arab bersedia membantu karena mereka diberi janji kemerdekaan jika Sekutu menang perang. Namun, bantuan dari orang Arab ini tidak cukup, sehingga Inggris mencari bantuan dari Chaim Weizmann, seorang tokoh Zionis Yahudi, yang menawarkan rahasia alat perang kepada Inggris dengan syarat bahwa bangsa Yahudi diberi tanah di Palestina untuk dijadikan tempat tinggal nasional mereka. Kesepakatan ini berakhir dengan Deklarasi Balfour dan dukungan Amerika Serikat kepada Sekutu.
Kemenangan pihak Sekutu menandai akhir Perang Dunia I. Kemudian, pada saat itu pihak Sekutu mengadakan pertemuan untuk membentuk Perjanjian Versailles dan Liga Bangsa-bangsa (LBB). Namun, mereka tidak mengikutsertakan negara-negara Arab dalam pertemuannya. Lawrence telah mengingkari janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada negara-negara Arab, dan di sisi lain Perjanjian Balfour tetap dilaksanakan.
“Perjanjian Lawrence tidak dipakai. Perjanjian Balfour mesti berlaku. Yahudi mendapat ‘Tanah Kediaman Nasional’ di Palestina”, terang Agus Salim dalam artikel tersebut.
Sokongan dana besar-besaran dari pihak Zionis untuk membangun tanah bagi bangsa Yahudi di Palestina, menciptakan perubahan besar di Palestina. Pembangunan dan pusat perniagaan berdiri menopang kehidupan para pendatang. Selaras dengan pembangunan ini, gelombang orang-orang Yahudi dari berbagai negeri pun semakin banyak masuk ke tanah Palestina.
Masalah terus timbul setelah para Yahudi Luar Negeri–begitu sebutan Agus Salim bagi para Yahudi-Yahudi sekutu Inggris–datang dan mendiami tanah Palestina. Permasalahannya ialah para Yahudi tersebut bersikap serakah dan tidak mau hidup berdampingan dengan bangsa Arab di Palestina. Mereka menganggap Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan kepada mereka.
Maka dari itu Agus Salim menekankan bahwa masalah Yahudi di Palestina bukan merupakan konflik agama; bukan merupakan pertentangan antara agama Islam dan Yahudi maupun Kristen itu sendiri. Reaksi yang diberikan oleh bangsa Palestina dalam mempertahankan hak bangsanya dan keyakinan Islam tentang Baitul Maqdis merupakan sebuah respon atas permainan politik kotor bangsa-bangsa Barat yang hanya memedulikan kepentingannya di bumi Palestina.
“Dalam pada itu, bangsa Arab di Palestina mempertahankan hak bangsanya dan keyakinan Islam tentang Palestina dan Bait al-Maqdis,” begitu anggapannya.
Di akhir artikel “Soal Yahudi di Palestina”, Agus Salim turut memberi perhatiannya terhadap nasib bangsa Yahudi. Menurutnya, adanya Perjanjian Versailles dan Perjanjian Balfour tidak hanya merugikan bangsa Arab, tetapi juga merugikan bangsa Yahudi itu sendiri. Dalam pengamatannya terkait dengan gerakan anti-Yahudi yang berkembang di Jerman tahun 1930-an, hal tersebut bersumber dari campur tangan Amerika Serikat dan misi “rahasia” Weizmann yang membuat Jerman kalah pada Perang Dunia I.
Dalam melihat nasib Yahudi yang terus terbuang dari negara-negara Barat, Agus Salim menyarankan negara-negara adikuasa untuk memperhatikan hak kaum-kaum kecil, termasuk Yahudi di dalamnya. Ia mengatakan bahwa bumi ini luas, jumlah Yahudi yang pada saat itu berjumlah 2–3 juta orang, sekiranya dapat ditampung dan diberi perlindungan di negara seperti Australia, Kanada, Amerika Selatan, atau Afrika.
“Sedunia orang mengatur-menyusun organisasi untuk menolong Yahudi, yang kena bencana dan aniaya dengan tidak salahnya. Memang begitu kehendak kemanusiaan,” tulis Salim.
Ia juga berpesan kepada umat Islam agar memberi perhatian terhadap kekacauan yang terjadi antara Yahudi dan Palestina ini dengan mengatakan, “Tetapi sebaliknya harus pula sedikitnya umat Islam menyusun organisasi menyokong hak bangsa Arab dan hak umat Islam di Palestina dan Bait-al-Maqdis, dan menolong kaum yang sengsara di negeri itu”.
Yunda Kania Alfiani
Penulis merupakan Relawan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan.
Referensi:
Agus Salim, Haji. (1994). Seratus tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Sinar Harapan.
Mukayat. (1981). Haji Agus Salim Karya dan Pengabdiannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Referensi didapat dari Pusat Dokumentasi Islam Indonesia-Tamaddun
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini