Zaman boleh saja berkembang, tetapi Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka tidak pernah usang, karena selalu sejalan dengan kondisi kehidupan manusia. Dengan demikian, solusi-solusi yang dikemukakan masih sangat relevan. Tafsir Al Azhar juga sangat membantu umat Islam dalam memahami prahara antara Israel dan Palestina, juga permasalahan umat pada umumnya. Seperti yang telah diulas sebelumnya dalam Buya Hamka berbicara tentang Baitul Maqdis bagian I, ketika berembus opini yang sangat fenomenal tentang kecerdasan orang Yahudi, maka Buya Hamka menulis dalam tafsirnya menyatakan bahwa satu-satunya cara mengalahkan orang Yahudi adalah mengembalikan orientasi umat Islam kepada Al Qur’an. Tulisan bagian II ini, akan melanjutkan pembahasan ayat-ayat penafsiran Buya Hamka terkait Baitul Maqdis, dari silang sengkarut situasi Palestina yang terutama disebabkan oleh Inggris, juga Masjid Al-Aqsa sebagai masjid suci bersejarah bagi umat Islam.
Keempat, Buya Hamka menyebutkan tentang Deklarasi Balfour di dalam Tafsir Al Azhar juzu’ 6. Dalam surah Al-Maidah ayat 64. Allah berfirman,
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ ۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا ۘ بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ ۚ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا ۚ وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ۚ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ ۚ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا ۚ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.
Buya Hamka menerangkan bahwa menurut ahli-ahli tafsir, ayat tersebut menjelaskan serangkaian permusuhan dan kebencian terus-menerus di antara orang Yahudi dan Nasrani yang tidak akan pernah damai selama-lamanya. Yahudi juga takut dengan persatuan Islam, maka Yahudi mengusir warga Palestina dari tanah air mereka melalui Deklarasi Balfour.
Deklarasi Balfour merupakan tonggak awal dari lahirnya negara Zionis Israel. Inti dari deklarasi ini adalah mengumumkan dukungan bagi pembentukan sebuah rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina. Pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour mengirimkan sepucuk surat kepada Lord Walter Rothschild, seorang taipan Yahudi di Eropa sekaligus pemimpin komunitas Yahudi-Inggris. Surat tersebut kemudian diteruskan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia. Teks deklarasi tersebut diterbitkan di media sepekan kemudian.
Deklarasi ini terdiri dari 119 kata, disusun oleh 25 pakar Yahudi Zionis dari berbagai negara. Bahkan pemimpin Gerakan Zionis, Theodor Herzl pernah meminta bantuan Sultan Abdülhamid II untuk mendapatkan wilayah Palestina, tetapi Sang Sultan menolak keras. Namun, Zionis mendapatkan momentum ketika kaum Muda Turki menggulingkan Sultan Abdülhamid II pada 1909. Sultan diasingkan ke Thessaloniki dan dipenjarakan di rumah seorang bankir Yahudi bernama Allatini. Sementara itu, Turki Muda mengizinkan orang Yahudi untuk menetap di Palestina. Mereka mengaku, orang Yahudi membantunya dalam merebut kekuasaan sehingga orang Yahudi pantas mendapat imbalan. Berjalannya waktu, kelompok tersebut membuat kesepakatan dengan Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour pada tahun 1917. Melalui Deklarasi Balfour, Inggris menetapkan dukungannya atas pembentukan sebuah negara Yahudi di tanah Palestina.
Ketika tentara Utsmani di bawah komando Mustafa Kemal dikalahkan di Suriah, Palestina diduduki Inggris pada 1918. Prinsip umum yang berlaku ketika itu adalah pasukan pendudukan tidak diperbolehkan mengambil tindakan terhadap kepemilikan pribadi: hanya tanah milik negara yang berpindah tangan. Oleh karena itu, tanah milik Sultan Abdülhamid dan direbut oleh Turki Muda diambil alih oleh Inggris. Setelah pendudukan Inggris, permukiman Yahudi di Palestina meningkat dan orang Yahudi juga bisa membeli tanah. Orang-orang Arab terpaksa menjual tanah mereka karena secara ekonomi berada di bawah tekanan.
Buya Hamka menyebutkan peristiwa tersebut dalam tafsirnya, “Tetapi kerajaan-kerajaan Eropa dan Amerika yang mengakui beragama Kristen itu, yang membenci Yahudi dalam segala lapangan hidup, akhirnya mendapat akal busuk yang lain, buat memukul orang Arab Islam dengan Yahudi; yatu memukul musuh dengan musuh, karena takut akan bahaya kebangkitannya kembali. Yaitu mereka jajah Palestina, mereka rampas dari tangan Turki. Lalu diserahkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Bolfour (seorang Yahudi), kepada kaum Zionis, gerakan Yahudi terbesar di zaman ini, supaya mereka membuat negara di sana. Sehabis Perang Dunia Kedua disuruhlah orang Yahudi membentuk Negara Israel di Palestina. Mereka yang merasa bahwa Yahudi itu sangat mengganggu mereka di Eropa, di Amerika dan Rusia, lalu mencampakkan penyakit itu dari bahu mereka ke atas pundak orang Arab. Padahal orang Arab tiadalah pernah membenci Yahudi, sampai sehebat Yahudi dengan Kristen. Maka selama ketidak-adilan manusia ini masih terdapat, baik Yahudi dengan Kristen, atau menjadi segi tiga dengan kaum Muslimin yang pasti akan bangkit kembali, selama itu pula ‘sampai hari kiamat’ rasa kebencian dan permusuhan akan meliputi dunia ini.”[8]
Kelima, Buya Hamka menyebutkan Tembok Buraq (yang disebut sebagai Tembok Ratapan oleh Yahudi), dianggap suci oleh orang Yahudi. Alasan orang Yahudi menginginkan kompleks Masjid Al-Aqsa adalah karena keberadaan Tembok Buraq di sana, mereka meyakini bahwa doa-doa yang ditulis di kertas dan diselipkan ke tembok tersebut akan terkabul. Mengenai hal itu, Buya Hamka menafsirkan ayat 64 surah Al-Maidah.
كُلَّمَآ أَوْقَدُوا۟ نَارًا لِّلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا ٱللَّهُ ۚ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا ۚ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
“Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.”
Ayat tersebut dijelaskan oleh Buya Hamka bahwa rasa dendam yang dimiliki orang Yahudi mengakibatkan mereka menjadi penghasut perang, pembuat fitnah, dan pengadu domba sehingga terjadi peperangan, sekaligus sebagai peringatan kepada dunia bahwa orang Yahudi membuat kerusakan di muka bumi ini.
“Meskipun di zaman pemerintahan Umar bin Khattab, seluruh Yahudi telah dikeluarkan dari Tanah Arab, dan penguasa-penguasa yang lain telah pula mengusir mereka dan telah berpencar dimana-mana di muka bumi ini, adalah satu hal yang menjadi bibit dari segala dendam mereka, yaitu kepercayaan yang telah berurat berakar di dalam jiwa mereka turun temurun, menjadi bagian dari agama mereka, meskipun bukan dari Wahyu sejati, bahwa tanah air merekalah Palestina. Meskipun negeri itu telah mereka tinggalkan sejak 2000 tahun, dan penduduk baru, orang Arab telah bertanah air disana sejak 14 abad, tidaklah mereka peduli akan itu. Di Baitul Maqdis ada satu bagian dindingnya yang mereka namai ‘Dinding Ratap’. Disana selalu mereka meratap mengenangkan Kerajaan Daud yang telah hilang 3000 tahun yang lalu. Mereka ingatkan itu dengan meratap dan bertekad mesti kembali ke sana. Lantaran tekad yang demikian, niscaya tidak lain daripada kerusakanlah yang mereka timbulkan di bumi ini. Kerusakan pertama ialah karena dimanapun mereka tinggal, mereka merasa asing di dalam negeri itu.”[9]
Keenam, Buya Hamka menafsirkan surah Al Isra’ yaitu surat pertama di dalam juz 15 tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Buya Hamka mengatakan dalam muqaddimah juz 15 Tafsir Al Azhar bahwa, “Juzu’ 15 mengandung dua surat, yaitu pertama Surat Al Isra’, yang berarti Isra’ atau perjalanan Nabi kita Muhammad Saw. dari Masjidil Haram ke Masjid Al Aqsha. Dinamai dengan demikian, karena dibangsakan kepada ayat pertama dari surat ini yang memberikan pujian dan tasbih kepada Allah, yang memperjalankan hamba-Nya di malam hari yang bersejarah itu. Akan diuraikan pendapat-pendapat ulama tafsir tentang Isra’ dan Mi’raj. Surat ini pun dinamai juga Surat Bani Israil dibangsakan kepada ayatnya yang kedua, yang menyebut bahwa Musa diutus kepada Bani Israil, dan dibayangkan selanjutnya kerusakan-kerusakan yang akan diperbuat oleh Bani Israil itu dan kecelakaan yang akan menimpa mereka karena memungkiri janji yang telah diikat dengan Allah.”[10]
Dalam pendahuluan juz 15 Buya Hamka menerangkan letak Masjid Al-Aqsa yang berada di negara Palestina, “Surat yang ke-17 ini bernama surah Al Isra’, yang artinya berjalan malam. Diambil yang demikian itu menjadi namanya, ialah karena ayatnya, yang pertama menerangkan Maha Sucinya Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam dan Maha Kuasanya, karena telah memperjalankan hamba-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw. di malam hari dari Masjidil Haram yang berada di Makkah itu, menuju Masjid Al Aqsha. Sedang jarak di antara kedua mesjid itu, atau jarak di antara Tanah Hejaz dengan Tanah Palestina adalah jauh. Al Aqsha artinya ialah jauh!
Di samping bernama Al Isra’, surat ini pun diberi nama juga Bani Israil. Sekali baca dapat kita merasakan bahwa bacaan Al Isra’ dengan Bani Israil adalah berdekatan. Sebab itu orang membacanya pun kadang-kadang hampir bersamaan saja. Dan diberi nama Surat Bani Israil karena dari ayat 2 sampai 8 ada diterangkan tentang suka-duka yang ditempuh oleh Bani Israil sejak mereka di bawah pimpinan dan bimbingan Nabi Musa membebaskan diri dari penindasan Fir’aun di Mesir, sampai naik bintangnya dan sampai pula mereka jatuh, sampai dua kali, karena ajaran Nabi Musa itu tidak mereka pegang lagi. Sesudah menerangkan sepintas lalu, tetapi secara mendalam tentang sebab-sebab kejatuhan Bani Israil itu, untuk menjadi pengajaran, baik bagi keturunan Bani Israil yang hidup di Madinah ketika ayat diturunkan, atau bagi Umat Muhammad buat segala zaman untuk dijadikan kaca perbandingan, maka berturutlah datang ayat-ayat memberikan tuntunan tentang akidah, pegangan kepercayaan dan budi pekerti yang harus ditegakkan, supaya hidup manusia selamat, baik dalam hubungannya dengan Allah atau dalam hubungannya sesama manusia.”[11]
Allah berfirman dalam Surat Al Isra’ ayat 1,
سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Buya Hamka menafsirkan, “Ayat ini menegaskan bahwa Tuhan Allah memang telah mengisra’kan, memperjalankan di waktu malam, akan hambaNya Muhammad Saw. dari Masjidil Haram, yakni Makkah Al Mukarramah, ke Masjid Al Aqsha, di Palestina. Al Aqsha, artinya yang jauh. Perjalanan biasa dengan kaki atau unta dari Makkah ke Palestina itu ialah 40 hari. Di dalam ayat ini sudah bertemu susunan kata yang menunjukkan kesungguhan hal ini terjadi. Pertama dimulai dengan mengemukakan kemahasucian Allah; bahwasanya apa yang diperbuatnya Maha Tinggi dari kekuatan alam. Maha Suci Dia; yang membelah laut untuk Musa, menghamilkan Maryam dan melahirkan Isa tidak karena persetubuhan dengan laki-laki. Sekarang Maha Suci Dia, yang memperjalankan Muhammad ke Masjid yang jauh di malam hari. Kata penegas yang ketiga di ayat ini ialah menyebut Muhammad Saw. hambaNya. HambaNya yang boleh diperbuatNya menurut apa yang dikehendakiNya.”[12]
Jika biasanya wahyu untuk Nabi Muhammad Saw. disampaikan melalui perantara Malaikat Jibril, maka kali ini dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj, Allah langsung memberikan perintahnya. Buya Hamka mempertegas kembali bahwa Nabi Muhammad Saw. sendiri secara fisik yang mengalami peristiwa agung tersebut, “Apabila direnung bunyi ayat ini lebih dalam, dengan penuh iman akan kekuasaan Tuhan, tidak akan ragu lagi bahwa yang dimaksud dengan hamba-Nya itu ialah diri Muhammad Saw., Muhammad yang hidup, yang terdiri atas tubuh dan nyawa. Bukan mimpi dan bukan khayal. Apatah lagi kemudian beliau sendiri menjelaskan pula dengan buah tuturnya (Hadis) apa yang beliau alami itu.”[13]
Dengan demikian, Buya Hamka menyimpulkan dalam tafsirnya bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan salah satu di antara mukjizat yang diberikan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. serta wujud penghormatan kepada Rasul-Nya. Maka, untuk mempercayai kejadian tersebut benar-benar terjadi tidak ada cara lain selain meyakininya dengan cara memperkuat akidah tauhid yaitu beriman kepada Allah Swt. Buya Hamka menafsirkan, “Demikian pulalah dalam ayat 1 Surat Al Isra’ ini. Satu hal yang ganjil telah kejadian, seorang telah Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Tetapi kejadian itu bukanlah karena orang yang bersangkutan yang mengerjakannya sendiri. سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا ‘Maha Suci Dia, Yang telah memperjalankan malam hari hamba-Nya dan seterusnya.’ Dengan memperhatikan, baik ayat 1 Surat Al Isra’ ini, atau ayat 2 Surat 21 Al Anbiya’ ini, dapatlah seorang umat Muhammad yang sadar akan akidah Tauhidnya memandangi segala mukjizat yang diberikan Tuhan kepada Rasul-rasul-Nya.”[14]
Fatmah Ayudhia Amani, S. Ag.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan Diploma in Islamic Early Childhood Education, International Islamic College Malaysia dan S1 Tafsir dan Ulumul Qur’an, STIU Dirosat Islamiyah Al Hikmah, Jakarta.
Referensi:
HAMKA, Prof. Dr. Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah. 1990. Tafsir Al-Azhar Juzu’ 6 Jilid 3. Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd.
HAMKA, Prof. Dr. Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah. 1990. Tafsir Al-Azhar Juzu’ 15 Jilid 6. Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd.
Ekrem Bugra Ekinci, “The Palestine Issue that Cost Sutan Abdülhamid II the Ottoman Throne”, 10 Maret 2017
Elis Gjvori, “How Theodor Herzl Failed to Convince the Ottomans to Sell Palestine”,
- HAMKA, Prof. Dr. Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah. 1990. Tafsir Al-Azhar Juzu’ 6 Jilid 3. Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd. Hal. 1794. ↑
- Ibid. Hlm. 1795. ↑
- HAMKA, Prof. Dr. Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah. 1990. Tafsir Al-Azhar Juzu’ 15 Jilid 6. Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd. Hlm. 3994. ↑
- Ibid. Hlm. 3996. ↑
- Ibid. Hlm. 3999. ↑
- Ibid. Hlm. 3999. ↑
- Ibid. Hlm. 4011. ↑