Setiap tanggal 8 Maret, seluruh dunia memperingati Hari Perempuan Internasional sebagai peringatan untuk memenuhi hak-hak perempuan di seluruh dunia. Pada tahun 2025 ini, tema resmi PBB untuk Hari Perempuan Internasional adalah: “For ALL women and girls: Rights. Equality. Empowerment.” Tema ini dibuat dengan harapan agar seluruh perempuan di dunia mendapatkan hak-hak mereka, diperlakukan setara tanpa memandang etnis, ras, maupun agama, serta berdaya tanpa bergantung pada pihak manapun.
Hari Perempuan Internasional lahir di tengah kondisi memprihatinkan para perempuan pada tahun 1908, dengan latar belakang kondisi kerja dan eksploitasi perempuan yang mengerikan. Pada tahun itu, sekitar 15.000 perempuan turun ke jalan di New York untuk memprotes jam kerja yang lebih pendek, pembayaran yang lebih baik, dan hak suara bagi perempuan. Tahun berikutnya, Partai Sosialis Amerika mengumumkan Hari Perempuan Nasional untuk menghormati para pengunjuk rasa, dan pada 1910 hari tersebut menjadi peringatan global.
Hari Perempuan Internasional pertama diadakan pada tahun 1911. Ketika itu, lebih dari satu juta orang menjadi peserta demonstrasi di Eropa untuk mendukung hak-hak perempuan. Kemudian sekitar tahun 1975, PBB menetapkan Hari Perempuan Internasional jatuh setiap tanggal 8 Maret, dan hingga hari ini masih diperingati.
Jika bertahun-tahun yang lalu para perempuan di Eropa mengalami eksploitasi karena bekerja dengan durasi yang lama namun tidak mendapatkan upah yang setara, hari ini para perempuan juga masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama di Palestina. Genosida yang berlangsung selama satu setengah tahun di Gaza telah membuat para perempuan hidup dalam keterbatasan dan kesulitan. Maka, pada Hari Perempuan Internasional tahun ini, dunia diingatkan untuk tidak memalingkan wajah dari penderitaan para perempuan Palestina yang menjadi korban genosida Israel di Jalur Gaza.
Menstruasi, Siklus yang Menghantui Perempuan Gaza Setiap Bulan

Putri Samira al-Saadi yang berusia 15 tahun baru saja mendapatkan menstruasi pertamanya. Ia kebingungan karena kebutuhan akan kebersihan sama sekali tidak tersedia. Tak lama setelah genosida dimulai, mereka terpaksa mengungsi di sekolah yang dikelola PBB di sebelah barat Khan Younis, yang kondisinya penuh sesak.
“Putriku membutuhkan pembalut dan air untuk mandi, tetapi kebutuhan dasar ini tidak tersedia,” kata Samira ketika menceritakan kesulitan yang dialami putrinya. “Dia tidak mengerti mengapa dia harus mengalami semua ini,” kata Samira. “Saya mencoba membantunya, tetapi apa yang dia butuhkan tidak ada di dekatnya.”
Menurut Nevin Adnan, seorang psikolog dan pekerja sosial yang tinggal di Kota Gaza, perempuan biasanya mengalami gejala psikologis dan fisik pada hari-hari sebelum dan selama menstruasi, seperti perubahan suasana hati dan nyeri perut bagian bawah serta punggung. Gejala-gejala ini dapat memburuk selama masa-masa stres akibat genosida yang sedang berlangsung, menurut Adnan. “Perempuan bisa jadi mengalami insomnia, kegugupan terus-menerus, dan ketegangan ekstrem,” terang Adnan.
Menstruasi, siklus yang normalnya dialami oleh perempuan setiap bulan, telah menjadi ketakutan yang menghantui para perempuan di Gaza sejak genosida dimulai. Blokade ketat yang diberlakukan oleh Israel telah membuat kebutuhan kebersihan perempuan seperti pembalut dan sabun tidak tersedia. Selain itu, krisis air dan kondisi pengungsian yang penuh sesak juga semakin memperburuk penderitaan mereka.
Kondisi sulit yang dialami oleh perempuan Gaza tersebut membuat mereka terpaksa mengonsumsi pil penunda menstruasi. Banyak perempuan lebih memilih mengonsumsi tablet norethisterone – yang umumnya diresepkan untuk kondisi seperti pendarahan menstruasi parah, endometriosis, dan nyeri haid
Menurut Dr. Walid Abu Hatab, konsultan medis kebidanan dan ginekologi di Nasser Medical Complex di kota selatan Khan Younis, tablet tersebut menjaga kadar hormon progesteron tetap tinggi untuk menghentikan rahim meluruhkan lapisannya, sehingga menunda menstruasi. Namun, para profesional medis memperingatkan efek samping yang dapat ditimbulkan, seperti pendarahan vagina tidak teratur, mual, perubahan siklus menstruasi, pusing dan perubahan suasana hati.
Meski banyak perempuan telah mengetahui efek sampingnya, mereka mengatakan bahwa tidak ada pilihan lain untuk menghadapi siklus bulanan tersebut di tengah sulitnya kondisi pengungsian. Ruba Seif, seorang ibu dari 4 anak yang tinggal di pengungsian mengatakan, “Saya mengetahui efek negatifnya, tetapi pil ini tidak lebih berbahaya daripada rudal, kematian, dan kehancuran di sekitar kami.”
Tidak Ada Tempat yang Aman untuk Melahirkan di Gaza

Penghancuran yang meluas dan disengaja oleh Israel terhadap rumah sakit, klinik, dan apotek selama genosida di Gaza telah menyebabkan layanan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui nyaris runtuhnya total. Ibu hamil dan menyusui kini menghadapi tantangan yang mengancam jiwa karena tidak adanya perawatan sebelum maupun setelah melahirkan yang mereka butuhkan. Krisis ini semakin diperburuk oleh kekurangan pasokan medis, peralatan, listrik, dan kebutuhan pokok seperti vitamin nutrisi dan produk kebersihan, yang membuat para perempuan berada dalam kondisi yang berbahaya.
Penghancuran sistematis infrastruktur perawatan kesehatan Gaza oleh Israel, termasuk pengepungan dan serangan terhadap rumah sakit, telah membuat persalinan menjadi cobaan yang mengerikan. Genosida telah memaksa perempuan Gaza untuk melahirkan dalam kondisi yang tak terbayangkan dan mengancam jiwa tanpa akses ke perawatan atau dukungan medis yang memadai.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Al Mezan pada Januari 2025, layanan bersalin untuk sekitar 50.000 perempuan hamil di Gaza sangat kekurangan karena tidak tersedianya bahan bakar generator. Situasi ini menyebabkan para perempuan terpaksa melahirkan dalam kondisi yang sangat menyedihkan dan tidak sehat, sehingga menyebabkan peningkatan risiko infeksi selama persalinan. Banyak perempuan hamil telah menjalani operasi caesar tanpa anestesi, menjadikan pengalaman melahirkan mereka sangat menyakitkan dan traumatis.
Selain itu, banyak juga perempuan yang terpaksa melahirkan di tenda-tenda darurat di dalam kamp-kamp pengungsi internal yang penuh sesak. Kamp-kamp ini kekurangan peralatan medis penting, sanitasi, produk kebersihan, dan privasi, yang secara signifikan membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi baru lahir. Air minum yang terkontaminasi, penumpukan limbah, dan limbah yang membanjiri jalan di tempat penampungan, menciptakan kondisi yang sangat tidak sehat. Mewabahnya serangga dan hama di kamp juga semakin meningkatkan risiko kesehatan bagi perempuan yang baru saja melahirkan.
Dr. Taghreed Al-Emawi, seorang dokter kandungan dan ginekolog di Rumah Sakit Kamal Adwan, mengatakan: “Mengingat Rumah Sakit Al-Awda dan Kamal Adwan dikepung, Rumah Sakit Indonesia di Gaza utara tidak beroperasi, dan pergerakan di Kamp Pengungsi Jabaliya sangat berbahaya, saya memberikan perawatan medis kepada perempuan hamil di sebuah sekolah tempat saya berlindung setelah rumah saya hancur. Saya merawat mereka tanpa obat-obatan yang tepat atau perlengkapan medis penting, sebab saya harus bergantung pada beberapa peralatan dasar yang berhasil saya bawa.”
“Karena listrik padam, saya dan rekan-rekan saya harus menggunakan senter ponsel untuk penerangan. Ketiadaan antibiotik pascapersalinan, menyebabkan saya harus menggunakan jahitan yang ditujukan untuk luka luar untuk menutup sayatan bedah. Situasi yang kami hadapi jauh dari memadai, dan para perempuan mengalami kedinginan dan ketidaknyamanan, yang semakin diperburuk oleh kurangnya privasi karena kehadiran orang-orang terlantar lainnya di pusat penampungan. Banyak perempuan hamil harus berjalan ke pusat medis untuk melahirkan, karena pergerakan ambulans dilarang setelah pukul 07.00 malam. Beberapa perempuan bahkan terluka dalam perjalanan mereka.” tambahnya.
Pengungsian paksa juga telah mengubah beban fasilitas kesehatan di Gaza secara drastis. Rumah Sakit Al-Awda di Jabaliya, misalnya, telah mengalami penurunan penanganan kelahiran yang drastis, dari 400 menjadi hanya 80 kelahiran per bulan setelah pengungsian massal penduduk dari utara Gaza. Sebaliknya, Rumah Sakit Al-Awda di Nuseirat, Gaza tengah, harus menangani lonjakan kelahiran lima kali lipat, yang membebani kapasitasnya untuk menyediakan perawatan yang memadai, berdasarkan laporan Al Mezan.
Selain beban emosional dan fisik dari pengungsian paksa yang berkepanjangan, sekitar 155.000 perempuan hamil dan menyusui menghadapi tantangan signifikan dalam mengakses perawatan sebelum dan setelah melahirkan. Kurangnya layanan ambulans, akses terbatas ke rumah sakit, dan kurangnya transportasi yang terjangkau membuat hampir tidak mungkin bagi banyak perempuan untuk menerima perawatan yang memadai.
Maram Jamal Al-Balawi, seorang ibu berusia 26 tahun, yang melahirkan selama serangan pasukan Israel di Rumah Sakit Kamal Adwan, mengatakan kepada Al Mezan: “Saya harus merangkak ke kamar mandi karena tentara melarang berdiri di dekat jendela. Pada malam hari, saya mulai merasakan sakit dan melahirkan. Ibu saya menelepon dokter untuk menangani. Keterbatasan segalanya membuat dokter terpaksa menggunakan senter ponsel sebagai alat penerangan ketika memotong tali pusar dan mengikatnya dengan kain kasa. Ia mengatakan bahwa saya perlu dijahit, tetapi ia tidak memiliki jahitan yang diperlukan, jadi ia menggunakan jahitan luar, yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Saya berbaring di atas tikar, menggigil, dan memakan sisa-sisa makanan yang ditinggalkan orang lain. Selama itu, saya tidak bisa menyusui bayi saya, jadi saya menggunakan larutan glukosa rumah sakit untuk menyiapkan susu formula.”
Genosida Gaza: Neraka Bagi Seluruh Perempuan Palestina
Genosida Israel di Jalur Gaza yang berlangsung setidaknya selama satu setengah tahun telah meninggalkan dampak yang signifikan terhadap kehidupan para perempuan. Lebih banyak perempuan dan anak-anak yang dibunuh di Gaza oleh militer Israel selama setahun terakhir dibandingkan periode yang sama pada konflik di negara lainnya selama dua dekade terakhir, menurut analisis Oxfam pada akhir 2024. Seluruh perempuan, tanpa terkecuali, merasakan imbas genosida dalam hidup mereka, mulai dari anak-anak, remaja, perempuan hamil, juga ibu menyusui dan lansia. Genosida telah mengubah hidup seluruh perempuan, memutus mereka dari hak-hak dasar untuk hidup dengan aman dan mendapatkan hak-hak mereka, terutama terhadap kebersihan dan kesehatan yang penting.
Pada Hari Perempuan Internasional ini, dunia kembali diingatkan dengan kondisi memilukan perempuan Palestina yang sangat jauh dari kata layak. Para perempuan di Gaza masih belum mendapatkan hak-hak mereka karena dirampas oleh penjajah Israel. Kondisi perempuan Gaza yang dipaparkan oleh laporan Al Mezan adalah hal-hal permukaan yang dialami secara umum oleh perempuan di Gaza, belum termasuk kondisi yang lebih parah namun belum terdokumentasi. Oleh karena itu, pada Hari Perempuan Internasional tahun ini, dunia dituntut untuk tidak diam dan mengambil tindakan konkret untuk melindungi perempuan-perempuan yang tertindas di seluruh dunia, terutama di Gaza dan seluruh wilayah Palestina.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI dan saat ini sedang menempuh pendidikan magister di program studi linguistik, FIB UI.
Sumber:
https://iwda.org.au/take-action/international-womens-day/#:~:text=International%20Women%27s%20Day%20
https://www.unicef.org/sop/stories/challenges-being-woman-today-gaza
https://www.reuters.com/world/middle-east/no-womens-day-gaza-say-mothers-hungry-children-2024-03-08/
https://www.alhaq.org/advocacy/22778.html
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini