Tanya: Jika suami berqurban,apakah istri masih perlu berqurban?
Jawaban : Dalil yang menjadi pensyariatan Qurban adalah surat Al Kautsar ayat 2 dimana Allah SWT berfirman =
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Artinya:
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.
Yang dimaksud dg ” وانحر (berkurbanlah)” menurut imam Ibnu Katsir dan imam Ibnul’arabi adalah berkurban setelah sholat Ied (lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir dan tafsir Ahkamulqur’an)
Para ulama sepakat bahwa yang diwajibkan untuk melakukan Qurban adalah :
1. Muslim
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Mampu dr segi harta (org kaya)
Ukuran org tsb mampu dalam segi harta adalah jika memiliki 200 dirham atau 20 dinar emas. (lihat kitab Almufashshol fiahkamil mar’ah jilid 2 hal 447)
Rasulullah SAW bersabda :
“Man wajada si’atan falam yudhohhi falaa yaqribanna mushollana”
Artinya :
Barang siapa mempunyai keluasan rizki dan tdk berkurban maka jgnlah mendekati tempat sholat kami.
(HR Imam Ahmad & Ibnu Majah)
Maksud dari hadits tsb adalah diianjurkan dg sangat kepada mereka yang mempunyai keluasan rizki untuk berqurban.
Jika suami telah berqurban dan istri ikut berqurban juga karena mampu, apakah karena mendapat warisan atau arisan atau bonus kerja atau keuntungan bisnis maka dianjurkan dengan sangat istri juga berqurban bersama suaminya.
Tanya: saya pernah membaca hadis:..
Ya Alloh ini qurban dariku dan dari umatku yang belum berqurban (HR abu dawud n tirmidzi) .
Apakah dalil di atas bisa dipakai untuk membolehkan orang berqurban dengan cara patungan beberapa orang sehingga terkumpul misalnya 3 juta rupiah untuk membeli seekor kambing?
Jawaban :
Dalam kitab Syarah Shohih Muslim Imam An-Nawawy menjelaskan
هَذَا الحَدِيث دَلالَة لِجَوَازِ الِاشْتِرَاك فِي الْهَدْي , وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الشَّاة لا يَجُوز الاشْتِرَاك فِيهَا . وَأَنَّ الْبَدَنَة تُجْزِئ عَنْ سَبْعَة , وَالْبَقَرَة عَنْ سَبْعَة , وَتَقُوم كُلّ وَاحِدَة مَقَام سَبْع شِيَاه
Artinya: “Hadits ini menunjukkan bahwa diperbolehkannya melakukak Isytirak (berserikat) dlm qurban. Dan ulama telah sepakat bahwa berserikat dalam qurban kambing hukumnya dilarang. Yang dibolehkan berserikat dlm sapi atau kerbau atau onta untuk 7 org”.
Dalam kitab Al-Mufashsshol fi Ahkamil Mar’ah jilid 2 hal 454 ada pembahasan al-Isytirak (berserikat) dalam qurban, maksudnya isytirak dalam pahala dan bukan dalam kepemilikan, jadi kalau berqurban satu kambing dari seorang anggota keluarga dengan harapan semoga pahalanya mengenai seluruh anggota keluarganya, itu diperbolehkan walaupun sangat banyak yang berserikat dalam pahala tersebut. Karena karunia Allah begitu luas. Sebagaimana dalam do’a penyembelihan disebutkan bahwa Nabi ketika menyembelih kurban berdo’a:
“Bismillah, Allahumma taqobbal min Muhammad wa aali Muhammad, wa min emmati Muhammad”
Artinya: dengan menyebut nama Allah, Ya Allah terimalah kurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat Muhammad.
Hukum patungan yang sering terjadi di Indonesia adalah para pelajar ditentukan untuk berinfak qurban misalmya Rp150.000 per orang. Lalu dikumpulkan dan dibelikan kambing disembelih atas nama siswa/i sekolah tsb. Jika prakteknya seperti ini maka tidak akan jatuh kepada qurban tapi jatuh kepada sedekah, Harusnya kambing tsb disembelih untuk seseorang saja dan diniatkan pahalanya buat semua siswa/i sekolah tsb. Wallahua’lam
Tanya: apakah yang harus dilakukan jika seorang wanita yg sedang melaksanakan ibadah haji belum ber-thawaf ifadah tapi sudah haid, bagaimana?
Jawab:
Thawaf Ifadhoh adalah bagian dari rukun haji yg harus dilakukan dlm kondisi suci dr hadats kecil atau hadats besar.
Dalam sebuah hadits dari Aisyah Ra berkata : “Aku datang ke Mekkah dlm kondisi haid padahal aku belum thawaf di ka’bah dan belum juga sai antara Shofa dan Marwah, maka aku mengadukan hal tsb kepada Nabi saw.
Beliau pun bersabda :
” if’ali kama yaf’alul hajja ghairo an laa tathufii bil baiti hatta tathohhuri”
Artinya :
“Lakukan seperti apa yang dilakukan org yang berhaji kecuali thawaf dika’bah sampai dia suci”
(HR Imam Bukhori)
Jika seorang wanita haid sebelum melaksanakan Thawaf Ifadhoh maka yang harus dilakukan adalah dia menetap di Mekkah sampai suci dengan ditemani oleh suami atau mahromnya yang lain. Setelah suci barulah dia mengerjakan Thawaf Ifadhoh.
Tapi jika tidak ada suami atau mahrom yang dapat menemaninya atau karena dia bersama rombongan yang tdk mungkin menunggu nya sampai dia suci maka ulama berbeda pendapat :
Pertama : Hanafiyah dan satu riwayat dr Imam Ahmad dibolehkan wanita tsb thawaf dlm kondisi haid bersamaan dengan wajib menyembelih onta, karena menurut mazhab ini suci dari haid bukan merupakan syarat sahnya thawaf tapi hanya sebagai kewajiban dalam haji. Dan jika melanggar kewajiban haji maka wajib untuk menyembelih onta.
Kedua : Syafi’iyah tidak membolehkan thawaf dlm kondisi haid tapi yang harus dilakukan adalah ikuti rombongan hajinya tsb dan tetap ada kewajiban untuk kembali ke Makkah untuk mengerjakan Thawaf Ifadhoh walaupun membutuhkan waktu yang lama (untuk kembali ke Makkahnya).
Sedangkan Imam Ibnu Taymiah berpendapat : Dibolehkan wanita yang haid untuk Thawaf Ifadhoh dengan didahului mandi terlebih dahulu lalu menggunakan pembalut agar darah tidak berceceran (tembus) dan tidak diwajibkan untuk membayar dam karena dia melakukan hal tsb (thawaf dlm kondisi haid) bukan krn keinginannya tapi karena kondisi darurat jika dia tdk thawaf dan harus kembali ke Makkah maka itu akan memberi kesulitan yang besar buat dirinya. Sehingga diambillah hal yang lebih mudah dan tidak menyusahkan nya.
(lihat kitab Almufashsshol fii ahkamil mar’ah jilid 2 hal 196-200)
Wallahu a’lam bish showab.
Tanya: Assalamualaikum, apakah boleh seorang akhwat jama’ah Shalat Ied d rumah bersama keluarganya atau harus pakai khutbah?
Jawab :
Wa’alaykumussalam wr wb
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 324) dan Muslim (no. 890) dari Ummu Athiyah Radhiallahu ‘anha beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, baik ‘awatiq (wanita yang baru baligh), wanita haid, maupun gadis yang dipingit. Adapun wanita haid, mereka memisahkan diri dari tempat pelaksanaan shalat dan mereka menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’ Beliau menanggapi, ‘Hendaklah saudarinya (maksudnya: sesama muslimah, pent.) meminjamkan jilbab kepadanya
– Al-‘awatiq: bentuk jamak dari ‘atiq; maknanya: wanita yang baru baligh atau hampir baligh, atau yang telah layak untuk menikah.
– Dzawatul hudzur: para gadis dalam pingitan.
Al-Hafizh berkomentar, “Pada hadits tersebut terdapat anjuran bagi wanita untuk keluar menyaksikan dua hari raya, baik mereka itu wanita muda atau bukan, wanita yang berpenampilan menarik atau tidak”.
Asy-Syaukani menguraikan bahwa hadits tersebut dan juga berbagai hadits lain yang semakna dengannya menunjukkan disyariatkannya bagi wanita untuk keluar menuju lapangan shalat pada dua hari raya, tanpa ada perbedaan antara gadis, janda, wanita yang masih muda, wanita yang sudah tua, wanita yang sedang haid, dan yang lainnya. Itu berlaku selama mereka tidak menarik perhatian, tidak pula menjadi fitnah (godaan bagi kaum lelaki, pent.), tidak pula sedang terhalang oleh suatu uzur.
Syekh Ibnu Utsaimin ditanya: “Manakah yang lebih utama bagi wanita: keluar mengikuti shalat id atau tetap berdiam diri di rumahnya?”
Syekh Utsaimin menjawab: “Yang lebih utama baginya adalah keluar rumah menuju lapangan pelaksanaan shalat id, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita untuk mendirikan shalat id, sampai-sampai para wanita yang baru baligh dan gadis pingitan. Artinya, para wanita yang tidak biasanya keluar rumah pun, beliau perintahkan untuk keluar, kecuali wanita haid. Beliau perintahkan wanita haid keluar rumah, namun memisahkan diri dari tempat pelaksanaan shalat id.
Dengan demikian, wanita haid boleh berangkat bersama para wanita lainnya untuk menghadiri pelaksanaan shalat id, namun mereka tidak masuk ke tempat pelaksanaan shalat id. Karena tempat pelaksanaan shalat id seperti masjid dan wanita haid tidak boleh berdiam di dalam masjid. Mereka boleh sebatas lewat atau melakukan suatu keperluan di dalamnya. Namun, bukan untuk berdiam diri di dalamnnya.
Berdasarkan keterangan ini, kami katakan bahwa para wanita juga diperintahkan untuk keluar menuju shalat id. Mereka mengerjakan shalat sebagaimana para lelaki. Mereka juga mendapatkan kebaikan, seperti ceramah, dzikir dan doa.” (Majmu’ Fatawa, 16:210)
روى البخاري (324) ومسلم (890) عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها قَالَتْ : أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ . قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ : لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 324) dan Muslim (no. 890) dari Ummu Athiyahradhiallahu ‘anha; beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan kami untuk keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, baik‘awatiq(wanita yang baru baligh), wanita haid, maupun gadis yang dipingit. Adapun wanita haid, mereka memisahkan diri dari tempat pelaksanaan shalat dan mereka menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’ Beliau menanggapi, ‘Hendaklah saudarinya (maksudnya: sesama muslimah, pent.) meminjamkan kepadanya.
Dengan dalil-dalil di atas demikianlah kita bisa menyimpulkan bahwa sedangkan wanita yang sedang haidpun tetap disunnahkan untuk menghadiri shalat Ied di lapangan, walau tidak ikut shalat, untuk turut mendengarkan khutbah dan meninggikan syi’ar Islam. Tidak ada dalil yang menganjurkan shalat berjamaah di rumah hanya dengan keluarganya saja .
Wallahu a’lam bish showab[9/28/2015, 10:14 PM] Mba Rahma