Al-Quds (Yerusalem), sebelum “Al-Quds Barat” atau “Al-Quds Timur”
Sebelum Nakba (The Catastrophe/ Malapetaka) tahun 1948, Al-Quds (Yerusalem) tidak terbagi menjadi Timur dan Barat. Sebaliknya, Al-Quds terdiri dari Kota Tua yang dikelilingi tembok dan gerbang kota, serta Kota Baru, yang pada abad ke-19 tumbuh secara organik dari Kota Tua, terutama di bagian barat dan utara. Sebelum Nakba, lingkungan ini merupakan rumah bagi orang-orang Yahudi, Kristen multietnis, Muslim, serta sejumlah besar orang asing.
Ketika itu, warga Arab-Palestina di Al-Quds tidak terkonsentrasi di sisi timurnya seperti saat ini. Warga Palestina, dengan latar belakang agama dan etnis yang berbeda, membangun dan mengembangkan Kota Baru yang sedang berkembang dan menikmati kehidupan kota kosmopolitan. Namun, pada Nakba 1948, warga Palestina dipaksa, atau memilih, untuk melarikan diri dari sebagian besar wilayah Al-Quds (Yerusalem) yang kemudian berada di bawah kendali Israel dan dikenal sebagai “Al-Quds Barat”.
Mereka juga diusir dari puluhan desa yang berdekatan, dengan membawa keyakinan bahwa keterusiran mereka hanya bersifat sementara hingga kekerasan mereda. Namun, Israel dengan cepat membuat mekanisme hukum untuk memastikan bahwa mereka tidak dapat kembali. Israel mengklaim properti dan aset warga Palestina, serta mengambil alih segalanya.
“Pemindahan total” warga Palestina dari Al-Quds (Yerusalem) Barat telah tercapai; Al-Quds Barat diubah dari pusat kota yang beragam dan kosmopolitan menjadi pusat kota yang eksklusif untuk orang Yahudi. Puluhan ribu warga Palestina beserta keturunan mereka yang berasal dari sana, hingga saat ini tidak dapat menuntut kembali properti atau aset keluarga mereka yang disita, meskipun mereka tinggal hanya sepelemparan batu dari wilayah yang sekarang disebut sebagai Al-Quds (Yerusalem) Timur atau Kota Tua Al-Quds.
Pada peristiwa Nakba, Israel–sebuah negara delusi yang didirikan di atas tanah Palestina– mengambil alih sekitar 78% wilayah Palestina yang bersejarah. Wilayah yang masih tersisa dari Palestina setelah Nakba, jatuh “perwaliannya” ke tangan Mesir dan Yordania.
Namun demikian, perampasan atau klaim Israel terhadap tanah Palestina tidak berhenti sampai di situ. Pada 5 Juni 1967 atau sembilan belas tahun setelah Nakba, Israel melancarkan serangan udara pendahuluan terhadap lapangan udara militer Mesir, menghancurkan hampir seluruh angkatan udaranya, dan pada hari-hari berikutnya mengalahkan pasukan Yordania dan Suriah, dalam proses menduduki Semenanjung Sinai, Jalur Gaza, Tepi Barat, Al-Quds (Yerusalem) Timur, dan Dataran Tinggi Golan. Peristiwa ini disebut oleh bangsa Arab dan Palestina sebagai Naksa (Setback/ Kemunduran).

Bagi Palestina secara khusus, Naksa mengakibatkan hilangnya kendali atas sisa 22% wilayah Palestina. Israel kemudian memberlakukan pendudukan militer di Tepi Barat dan Gaza, serta melakukan aneksasi ilegal terhadap Kota Tua atau Al-Quds bagian timur, dalam suatu tindakan yang tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional. Pada gilirannya, pencaplokan terhadap Al-Quds bagian timur ini turut berdampak secara langsung terhadap status quo Masjid Al-Aqsa.
Setelah merebut Kota Tua Al-Quds, pasukan Israel merobohkan seluruh kawasan Permukiman Maroko yang berusia 770 tahun, demi memperluas akses ke Tembok al-Buraq (yang oleh orang Yahudi disebut sebagai Tembok Barat). Sekitar 100 keluarga Palestina yang tinggal di kawasan tersebut diperintahkan untuk mengungsi dari rumah mereka. Israel kemudian menghancurkan area itu sepenuhnya dan membangun “Plaza (Alun-Alun) Tembok Barat”, area yang memberikan akses langsung kepada pemukim Israel ke Tembok al-Buraq sekaligus sebagai jalur untuk melakukan penyerbuan ke Masjid Al-Aqsa.
Pelanggaran Israel terhadap Masjid Al-Aqsa di Al-Quds terus berlanjut sejak kota itu diduduki. Serangan paling serius terhadap masjid terjadi pada bulan Agustus 1969, ketika Denis Michael Rohan, seorang Yahudi-Australia, membakar bangunan tersebut, yang menyebabkan kerusakan sebagian.
Intifada 1987: permulaan perlawanan rakyat Palestina
Setelah 22% “wilayah terakhir” Palestina jatuh ke dalam kontrol Israel pada 1967, masyarakat Palestina di Tepi Barat, Al-Quds, dan Jalur Gaza hidup di bawah penindasan yang tak tertahankan. Penghinaan dan kekerasan adalah makanan yang mereka terima setiap hari, bahkan hal kecil seperti mengenakan warna bendera Palestina, sudah cukup untuk membuat mereka dipukuli dan dipenjara. Perampasan tanah merajalela, begitu pula hukuman kolektif yang diberlakukan untuk menyusutkan ekonomi Palestina.
Warga Palestina dijadikan tenaga kerja murah dan dieksploitasi di Israel. Penindasan dan eksploitasi yang terkonsentrasi ini menciptakan bom waktu dan akhirnya meledak pada 9 Desember 1987, ketika sebuah truk milik Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menabrak sebuah kendaraan Palestina di Kamp Pengungsi Jabalia di Jalur Gaza, hingga menewaskan 4 pekerja Palestina.
Insiden tersebut memicu protes besar-besaran, pembangkangan sipil, boikot, dan bentuk perlawanan lain terhadap Israel yang kemudian dikenal sebagai Intifada (Uprising/ Perlawanan). Warga Palestina membakar produk-produk Israel, menolak membayar pajak, dan mengorganisasi diri mereka ke dalam komite-komite rakyat untuk bertindak sebagai alternatif bagi pemerintah sipil, menyediakan layanan, dan mempromosikan kemandirian Palestina.
Intifada menghasilkan organisasi lokal di desa-desa, kota kecil, kota besar, dan kamp pengungsi, dengan dipimpin oleh jaringan rahasia Kepemimpinan Nasional Terpadu. Sementara itu, jaringan akar rumput yang fleksibel dan rahasia, yang terbentuk selama intifada, terbukti mustahil untuk ditumpas oleh otoritas pendudukan militer.

Sebulan setelah peningkatan ketegangan yang tiada henti, pada Januari 1988, Menteri Pertahanan Israel Yitzhak Rabin mengerahkan puluhan ribu tentara di seluruh Tepi Barat, Al-Quds, dan Jalur Gaza, serta memerintahkan militer Israel untuk menggunakan taktik “Tangan Besi”, berupa perintah untuk mematahkan lengan dan kaki para pengunjuk rasa Palestina. Namun, situasi ini dengan cepat tersiar di televisi dan menimbulkan reaksi keras dari media.
Menurut Pusat Informasi Israel untuk Hak Asasi Manusia di Wilayah Pendudukan, BTselem, dalam intifada Pertama ini pasukan Israel membunuh lebih dari 1.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 130.000 orang. Puluhan ribu lainnya dipenjara dan banyak yang disiksa secara rutin. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengecam penggunaan kekuatan mematikan oleh Israel dan pemerintah Amerika Serikat mengecam Israel atas “tindakan keamanan yang keras dan penggunaan amunisi aktif yang berlebihan.”
Proses perdamaian dimulai di Madrid pada tahun 1991 setelah tekanan dari pemerintah AS terhadap Perdana Menteri Israel Yitzhak Shamir. Aktivis akar rumput dan perempuan mengambil peran kepemimpinan penting dalam delegasi Palestina. Namun, negosiasi jalur belakang yang dilakukan secara bersamaan di Oslo menggantikan upaya di Madrid, sehingga aktivis akar rumput dan perempuan tidak dilibatkan dalam proses tersebut.
Pada tahun 1993, Yasser Arafat, Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dan Yitzhak Rabin, Perdana Menteri Israel kala itu (menggantikan Yitzhak Shamir), menyetujui proses perdamaian lima tahun – yang dirangkum dalam Perjanjian Oslo. Perjanjian tersebut, yang dikenal sebagai Oslo I, ditandatangani pada 13 September 1993 dan untuk pertama kalinya, masing-masing pihak mengakui keberadaan satu sama lain. Kedua belah pihak juga berjanji untuk mengakhiri ketegangan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Kesepakatan kedua, yang dikenal sebagai Oslo II, ditandatangani pada September 1995 dan membahas secara lebih rinci tentang struktur badan-badan yang seharusnya dibentuk oleh proses perdamaian. Namun, perjanjian ini semakin lama semakin terlihat seperti pepesan kosong. Israel melanjutkan pendudukannya atas tanah Palestina dan menolak untuk menarik diri secara militer dari sebagian besar wilayah Tepi Barat. Israel juga terus melakukan penyerbuan ke wilayah yang berada di bawah administrasi penuh Otoritas Palestina (PA). Dengan demikian, wajar jika rakyat Palestina memandang Perjanjian Oslo sebagai tata ulang kerangka kerja pendudukan, bukan sebagai langkah menuju kerangka kenegaraan atau pembebasan Palestina.
Intifada Kedua: Intifada Al-Aqsa
Meningkatnya aktivitas permukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza sejak diberlakukannya Perjanjian Oslo, turut meningkatkan ketegangan antara Israel-Palestina. Pada 28 September 2000, Sumbu ketegangan ini benar-benar terbakar dan menjadi kobaran api besar ketika Ariel Sharon menyerbu Masjid Al-Aqsa. Peristiwa itu kemudian meledakkan Intifada kedua, yang juga dikenal sebagai Intifada Al-Aqsa.

Ariel Sharon, yang dikenal sebagai penjagal Sabra dan Shatilla oleh warga Palestina, menyerbu Masjid Al-Aqsa dengan dukungan PM Israel Ehud Barak, yang mengirimkan sekitar 600 pasukan bersenjata untuk melakukan pengawalan ketat dan memobilisasi lebih dari 1000 tentara dan polisi di Kota Al-Quds dan sekitarnya. Sharon memasuki kompleks itu bersama delegasi Partai Likud, sebuah partai sayap kanan. Koresponden BBC, Hilary Andersson, mengatakan bahwa kunjungan itu jelas dimaksudkan untuk menggarisbawahi klaim Yahudi atas Kota Al-Quds dan tempat-tempat sucinya.
Keesokan harinya, ratusan pemuda Palestina berunjuk rasa di berbagai bagian Kota Al-Quds. Serupa dengan Intifada pertama, warga Palestina memobilisasi protes besar-besaran, melakukan aksi pembangkangan sipil, boikot, dan bentuk perlawanan lainnya. Namun, Israel menanggapinya secara brutal. Tujuh orang yang ditembak mati oleh polisi Israel, menandai dimulainya Intifada al-Aqsa dan protes pun menyebar dengan cepat ke semua bagian Tepi Barat dan Gaza.
Di antara para pengunjuk rasa terdapat seorang anak laki-laki Palestina berusia 14 tahun yang melemparkan batu ke arah tentara Israel di dekat pos terdepan Yahudi di Gaza. Seorang fotografer dari The Associated Press menangkap gambar anak laki-laki itu dalam posen yang ikonik–lengan kanannya ditekuk ke belakang untuk melemparkan batu ke arah tank Israel yang tepat berada di depannya.

Pada 30 September 2000 atau hari kedua Intifada Al-Aqsa, tindakan brutal Israel terekam dan disiarkan di televisi secara luas. Ketika itu, seorang juru kamera Palestina dari Gaza, Talal Abu Rahma, merekam video seorang ayah dan putranya yang berusia 12 tahun yang ditembaki di Jalan Salahuddin, selatan Kota Gaza. Anak laki-laki itu, Muhammad al-Durrah, terluka parah dan meninggal tak lama kemudian. Video tersebut ditayangkan oleh France 2, saluran berita tempat Abu Rahma bekerja, yang kemudian tersebar dan menjadi salah satu gambar terkuat dari Intifada Al-Aqsa.
Menurut B’Tselem, Intifada Al-Aqsa yang berlangsung dari tahun 2000 hingga 2005 mengakibatkan terbunuhnya 6.371 warga Palestina di tangan tentara Israel, 1.317 di antaranya adalah anak-anak. Jumlah korban luka mencapai 46.068 orang dan terjadi peningkatan jumlah tawanan, dari 7.800 tawanan pada awal 2005, menjadi 9.200 tawanan pada akhir tahun yang sama.
Intifada Al-Aqsa yang memakan waktu panjang ini menunjukkan pembelaan Palestina terhadap Status Quo Masjid Al-Aqsa sekaligus mengguncang dua pilar Israel, yaitu keamanan dan kemakmuran ekonomi. Dalam jajak pendapat pada 29 November 2002 Jerusalem Post menunjukkan bahwa 69% pemukim hidup dalam ketakutan. Selain itu, sebuah laporan yang diterbitkan oleh National Insurance Institute of Israel menyatakan bahwa jumlah warga Israel yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 22% pada akhir tahun 2004, setara dengan 1.534.000 pemukim.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya Ariel Sharon ke Kompleks Masjid Al-Aqsa turut berdampak terhadap Status Quo Masjid Al-Aqsa. Di antara dampak tersebut adalah:
1. Pembatasan akses dan kebebasan bergerak. Hingga saat ini, pasukan pendudukan Israel ditempatkan di dalam Kompleks Masjid Al-Aqsa dan sepenuhnya mengendalikan pintu masuk bagi Muslim dan non-Muslim. Kalangan non-Muslim, termasuk kelompok ekstremis Temple Mount dan pemukim sayap kanan, masuk melalui Gerbang al-Mughrabi.
Pasukan pendudukan mengizinkan akses eksklusif bagi orang Yahudi untuk melanggar Status Quo Al-Aqsa, dengan memberi hak atas kebebasan beribadah, kebebasan akses, dan kebebasan berekspresi. Di lain pihak, Otoritas pendudukan Israel secara sistematis membatasi akses warga Palestina ke kompleks tersebut, dan bahkan melarang Muslim Palestina memasuki Al-Aqsa.
2. Pembatasan hak untuk beribadah. Kompleks Al-Aqsa adalah situs suci khusus Muslim, tetapi non-Muslim diizinkan untuk berkunjung pada waktu yang ditentukan, di bawah pengawasan Waqf. Namun, Aktivis sayap kanan Israel, termasuk pejabat senior pemerintah Israel, sering kali berupaya untuk mengadakan ritual ibadah Yahudi di Al-Aqsa dan secara eksplisit menyerukan perubahan Status Quo.

Pada 10 Maret 2005, Organisasi Israel Revava–yang terkait dengan kelompok sayap kanan Kach–mengumumkan rencana untuk membawa 10.000 orang Yahudi untuk beribadah di Al-Aqsa. David Ha’ivri, ketua Revava, mengatakan bahwa kekuasaan umat Muslim atas Al-Aqsa telah berakhir, dan bahwa orang-orang Yahudi akan menjalankan hak-hak keagamaan mereka di Temple Mount (sebutan Israel untuk Al-Aqsa).
Pada tahun yang sama, Syekh Omar Mahmoud, Kepala Pengadilan Banding Syariah di Jalur Gaza, menyatakan bahwa setelah Intifada Al-Aqsa dimulai pada 2000, tidak seorang pun dari Gaza atau Tepi Barat dapat melakukan perjalanan untuk beribadah di Al-Aqsa. Sementara itu, warga Palestina yang tinggal di Al-Quds menghadapi pembatasan berdasarkan usia mereka. Ironisnya, orang asing dari seluruh dunia dapat mengunjungi situs tersebut, tetapi warga Palestina tidak diizinkan untuk berkunjung. Ini jelas merupakan penindasan dan pelanggaran kebebasan beragama dan hak untuk beribadah.
3. Penggalian dan Pemeliharaan. Berdasarkan pengaturan Status Quo, penggalian dan pemeliharaan merupakan bagian integral dari pengelolaan situs suci yang hanya dapat dilakukan oleh Departemen Wakaf Islam (Waqf). Meskipun demikian, Israel telah melakukan banyak penggalian ilegal dan tidak sah untuk membuat terowongan di bawah masjid sejak 1968. UNESCO telah berulang kali meminta Israel untuk menghentikan penggalian, dengan menekankan ilegalitas tindakan tersebut.
Pada tahun 2000, otoritas purbakala Israel menggalakkan observasi di Al-Aqsa, meliputi patroli harian dan pemotretan. Pada saat bersamaan, polisi Israel melarang traktor dan truk yang beroperasi di bawah pengawasan Waqf, sehingga menghambat Waqf dalam melakukan pekerjaan restorasi penting pada struktur bangunan kuno di Al-Aqsa.
Misalnya pada 2023, hujan yang mengguyur Al-Aqsa memperlihatkan retakan serius pada dinding, langit-langit, dan lantai bangunan Al-Aqsa; air hujan merembes ke Masjid Marwani dan membasahi karpet, batu paving di Via Dolorosa dekat Gerbang Al-Ghanamwa mengalami kerusakan, dan batu-batu di sisi Barat Qubbah as-Sakhrah mulai jatuh. Namun, restorasi hanya dapat dilakukan dengan seizin Israel.

Jangankan perkara restorasi, hal sederhana seperti memotong dahan-dahan pohon yang sudah kering dan rapuh pun tidak dapat dilakukan begitu saja oleh Waqf. Fathi al-Wawi (Abu Anas), kepala pertamanan di Masjid al-Aqsa, mengungkapkan rasa frustrasinya karena pembatasan aneh yang diberlakukan oleh otoritas Israel di Al-Aqsa. “Memangkas pohon dan membuang cabang-cabang kering adalah pekerjaan penting untuk menumbuhkan cabang-cabang baru dan menjaga pohon agar tetap hidup. Namun, ini tidak mudah dilakukan di Kompleks Masjid al-Aqsa, karena memerlukan koordinasi dan pengaturan khusus antara administrasi Waqf dan polisi Israel, yang selalu mencari cara untuk menghalangi pekerjaan kami di departemen pertamanan dan bahkan menolak untuk mengizinkan kami menanam pohon baru.”
Impunitas dan kelestarian perlawanan
Iklim impunitas yang dinikmati Israel memungkinkannya untuk terus melanggar Status Quo tanpa henti. Hal ini selanjutnya memungkinkan Israel untuk mempertahankan pendudukannya yang berlarut-larut di Tepi Barat dan Al-Quds (Yerusalem) bagian timur, termasuk di Masjid Al-Aqsa, yang oleh banyak orang dianggap sebagai kejahatan apartheid.
Bagi Palestina, Masjid Al-Aqsa bukan hanya situs suci keagamaan, melainkan juga simbol nasional dan tempat perhentian terakhir mereka, tempat berpulang, serta tempat ditanamnya segala cinta, harga diri, dan kerinduan. Dengan demikian, pelanggaran demi pelanggaran Israel terhadap Status Quo Al-Aqsa akan terus memanggil para pembebas untuk menjaga Status Quo Al-Aqsa, sekalipun harus dibayar oleh begitu banyak nyawa.
Intifada adalah bukti kesungguhan rakyat Palestina dalam menantang kendali Israel atas tanah mereka, atas Al-Aqsa, atas situs-situs suci lainnya. Intifada juga telah membuktikan bahwa warga Palestina merupakan tuan atas takdir mereka. Semua perjanjian tidak akan memiliki arti selama politik apartheid terus berlaku dan pelanggaran terhadap Al-Aqsa tidak berhenti–sehingga kelahiran intifada lainnya hanya masalah waktu. (LMS)
Referensi:
Al-Khalidi, Rashid. 2020. The Hundred Years War on Palestine. London: Profile Books Ltd.
Saleh, Mohsen. M. 2022. Isu Palestina. Depok: CQCS.
https://www.aa.com.tr/en/politics/1967-2015-israel-s-ongoing-legacy-of-assaults-on-al-aqsa-/506728
https://abcnews.go.com/International/palestinians-throw-stones-reporters-notebook/story?id=55200067
https://www.aljazeera.com/news/2023/9/13/what-were-oslo-accords-israel-palestinians
https://www.aljazeera.com/features/2020/9/30/behind-the-lens-remembering-muhammad-al-durrah
https://www.btselem.org/press_releases/20100927
http://news.bbc.co.uk/onthisday/hi/dates/stories/september/28/newsid_3687000/3687762.stm
https://decolonizepalestine.com/intro/two-intifadas-and-two-states/
https://imeu.org/article/the-nakba-65-years-of-dispossession-and-apartheid
https://www.jerusalemstory.com/en/article/west-side-story-part-1-jerusalem-east-and-west
https://www.jerusalemstory.com/en/article/remembering-1967-naksa
https://www.jerusalemstory.com/en/blog/why-are-trees-surrounding-al-aqsa-mosque-dying
https://www.middleeasteye.net/discover/israel-palestine-aqsa-attack-six-times-attacked-worshippers
https://mondoweiss.net/2023/06/56-years-of-occupation-explaining-the-palestinian-naksa/
https://www.palquest.org/en/highlight/171/madrid-and-oslo-agreement-1991-1993
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini