Apa Itu Perjanjian Oslo?
Perjanjian Oslo pertama, yang dikenal sebagai Oslo I, merupakan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 September 1993. Perjanjian Oslo pertama mempertemukan Yitzhak Rabin, Perdana Menteri Israel kala itu, dengan Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Mereka bertemu di halaman Gedung Putih di Washington untuk menandatangani kesepakatan yang diyakini dapat menjadi cikal bakal perdamaian di kawasan tersebut. Perjanjian Oslo I berisi kesepakatan bahwa pihak Israel dan Palestina masing-masing harus mengakui kedaulatan satu sama lain untuk pertama kalinya. Kedua belah pihak juga diharuskan berjanji untuk segera mengakhiri perseteruan yang telah berlangsung selama puluhan tahun lamanya.
Tak cukup dengan sekali perjanjian, pada September 1995 Perjanjian Oslo II ditandatangani. Perjanjian kedua ini menjelaskan dengan lebih rinci mengenai struktur badan-badan yang seharusnya dibentuk dalam proses perdamaian. Secara garis besar, Oslo adalah perjanjian yang “memaksa” Palestina untuk mengakui eksistensi Israel dan hidup secara berdampingan “dengan damai”. Perjanjian ini adalah pembenaran untuk pembersihan etnis yang Israel lakukan terhadap desa-desa Palestina saat Nakba tahun 1948, yang kemudian dibungkus dengan ilusi “perdamaian” dan “hidup berdampingan”.
Apa Saja Isi Perjanjian Oslo?
Perjanjian Oslo dibuat dengan klaim untuk mewujudkan penentuan nasib sendiri bangsa Palestina, dalam bentuk negara Palestina yang merdeka di samping “negara” Israel. Atas dasar itu, Israel, yang dibentuk di tanah Palestina yang bersejarah yang mereka rampas melalui peristiwa Nakba 1948, diharuskan menerima klaim Palestina atas kedaulatan nasional. Namun, klaim tersebut hanya akan terbatas pada sebagian kecil wilayah Palestina yang bersejarah, sedangkan sisanya diserahkan untuk kedaulatan Israel.
Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, ada beberapa aturan yang mau tidak mau harus dipatuhi oleh kedua belah pihak. Pertama, Israel harus melakukan penarikan bertahap terhadap militernya dari wilayah Palestina yang direbut saat perang 6 hari pada tahun 1967. Kedua, Israel harus melakukan pengalihan wewenang kepada pemerintahan Palestina, kecuali untuk masalah status akhir Al-Quds (Yerusalem) timur dan permukiman ilegal Israel, yang akan dinegosiasikan di kemudian hari. Ketiga, wilayah-wilayah Palestina akan dibagi menjadi area A, B, dan C yang menunjukkan seberapa besar kendali Otoritas Palestina di masing-masing wilayah. Perjanjian final dikatakan akan dicapai dalam waktu lima tahun, akan tetapi hingga saat ini masih belum juga terjadi.
Apa yang Dimaksud Area A, B, dan C?
Setelah Israel dan PLO menandatangani Perjanjian Oslo, Tepi Barat dibagi menjadi tiga wilayah kendali,yaitu Area A, B, dan C. Perjanjian tersebut mengarah pada pembentukan pemerintah sementara Palestina yang disebut Otoritas Palestina (PA), yang diberi kekuasaan terbatas untuk memerintah di Area A dan B. Namun, hasil dari Kesepakatan Oslo justru membuat Israel memegang kendali penuh atas ekonomi Palestina, termasuk masalah sipil dan keamanan di lebih dari 60 persen wilayah Tepi Barat, yang ditetapkan sebagai Area C. Meskipun pembagian wilayah tersebut diklaim Israel untuk memberikan kendali kepada pemerintah sementara Palestina atas masalah administratif dan keamanan internal di beberapa wilayah Tepi Barat, nyatanya Israel tetap mempertahankan kendali militer atas seluruh wilayah tersebut.
Area A mencakup 18 persen wilayah Tepi Barat. PA mengendalikan sebagian besar urusan di wilayah ini, termasuk keamanan internal. Di Area B, yang mencakup sekitar 21 persen wilayah Tepi Barat, PA mengendalikan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Di kedua wilayah tersebut, Israel memiliki kendali penuh atas keamanan eksternal, yang berarti bahwa militer Israel memiliki hak untuk memasuki wilayah ini kapan saja, biasanya untuk menyerbu rumah atau menahan individu dengan dalih keamanan.
Sekitar 2,8 juta warga Palestina tinggal berdesakan di Area A dan B yang kota-kota besarnya terdiri dari Hebron, Ramallah, Bethlehem, dan Nablus. Sementara itu, Area C yang merupakan bagian terbesar Tepi Barat, mencakup sekitar 60 persen wilayah Palestina. Wilayah ini juga merupakan lokasi dibangunnya sebagian besar dari 200 permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat, yang dijadikan tempat tinggal oleh lebih dari 400.000 pemukim.
Di Area A dan B, warga Palestina hidup dalam kesulitan, seperti sulitnya akses pendidikan dan air, ditambah dengan pengusiran dan serangan yang setiap hari dilakukan oleh Israel. Sementara itu, pemukim kolonial Israel yang tinggal di Area C hidup nyaman dengan infrastruktur canggih dan akses jalanan yang rapi. Meskipun kendali sebagian wilayah ini seharusnya diserahkan kepada PA pada tahun 1999, sesuai dengan Perjanjian Oslo, penyerahan tersebut tidak pernah terwujud, sehingga masalah keamanan, perencanaan, dan pembangunan masih berada di tangan Israel.
Apakah Ada Pihak yang Menentang Perjanjian Oslo?
Orang-orang Israel yang berhaluan sayap kanan adalah pihak yang sangat keras menentang Perjanjian Oslo. Mereka sama sekali tidak ingin memberikan pengakuan dalam bentuk apa pun kepada Palestina, dan tidak menginginkan adanya perjanjian apa pun dengan PLO, yang mereka anggap sebagai “organisasi teroris”. Para pemukim kolonial juga khawatir bahwa perjanjian tersebut akan menyebabkan mereka diusir dari permukiman ilegal di wilayah Palestina yang dijajah oleh Israel.
Elemen sayap kanan sangat keras menentang Perjanjian Oslo, ashing Yitzhak Rabin yang menandatangani perjanjian tersebut akhirnya dibunuh pada 1995. Di antara orang-orang yang mengancam Rabin sebelum ia benar-benar dibunuh adalah Itamar Ben-Gvir, yang sekarang menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional Israel.
Sementara itu, kelompok-kelompok Palestina, termasuk Hamas dan Jihad Islam, juga telah memperingatkan bahwa solusi dua negara hanya akan mengabaikan hak para pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah bersejarah yang dirampas dari mereka pada Nakba 1948 ketika Israel mengklaim mendirikan “negara” di wilayah yang mereka rebut tersebut. Kritikus sastra dan aktivis Palestina terkemuka, Edward Said, termasuk di antara kritikus yang paling vokal dalam perlawanan. Ia bahkan menyebut Perjanjian Oslo sebagai “instrumen penyerahan Palestina” dan “Versailles Palestina”.
Mengapa Perjanjian Oslo Mengalami Kegagalan?
Kesepakatan Oslo mengalami kemajuan yang lambat, karena Israel sama sekali tidak mematuhi kesepakatan dalam perjanjian. Israel masih terus melanjutkan penjajahan atas tanah Palestina dan menolak untuk menarik diri secara militer dari sebagian besar wilayah Tepi Barat, bahkan terus melakukan penyerbuan ke tanah yang secara resmi berada di bawah administrasi penuh Otoritas Palestina. Setelah kematian Rabin, sejumlah pemimpin Israel yang menentang kesepakatan itu pun mulai berkuasa, di antaranya adalah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu serta Ariel Sharon.
Benar saja, perjanjian yang rapuh ini sama sekali tidak bertahan lama. Pada 2000–2005, Intifadah Kedua pecah dan membuat banyak korban jiwa berjatuhan, terutama dari pihak Palestina. Tragedi tersebut menjadi titik balik yang penting sehingga membuat kedua belah pihak menolak untuk menyetujui kelanjutan perjanjian tersebut. Beberapa dekade berikutnya, segala perundingan yang mengarah pada perjanjian tersebut juga berakhir dengan kegagalan.
Bagaimana Perjanjian Oslo Dipandang Saat Ini?
Banyak warga Palestina percaya bahwa Israel telah menggunakan Perjanjian Oslo untuk membenarkan perluasan permukiman ilegal mereka di Tepi Barat. Faktanya, ketika Perjanjian Oslo perlahan-lahan runtuh, Israel justru melipatgandakan pembangunan permukimannya. Antara tahun 1993 dan 2000, populasi Israel di Tepi Barat mencapai laju pertumbuhan tercepat yang pernah ada, menurut Dror Etkes, seorang juru kampanye perdamaian Israel.
Menurut gerakan sayap kiri Israel Peace Now, Israel pada tahun lalu telah mencetak rekor persetujuan pembangunan permukiman, dengan sedikitnya 12.855 unit rumah telah disetujui sejak Januari hingga September 2023. Kemudian pada paruh pertama tahun 2024, Komisi Penjajahan dan Perlawanan Tembok yang dikelola negara (the state-run Colonization and Wall Resistance Commission) melaporkan bahwa Israel telah menghancurkan 318 bangunan Palestina di Tepi Barat saja. Sedangkan menurut data dari OCHA, sejak Januari hingga awal September 2024 Israel telah menghancurkan 1.149 bangunan, membuat lebih dari 2.829 orang terpaksa mengungsi.
Tiga puluh satu tahun telah berlalu sejak ditandatanganinya Perjanjian Oslo, tetapi negara Palestina yang merdeka sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda akan terwujud dalam jangka pendek, atau bahkan menengah, karena negosiasi status akhir antara para pemimpin Palestina dan Israel terus-menerus berujung kegagalan. Tepi Barat kini telah terfragmentasi, Jalur Gaza yang diblokade telah terisolasi menjadi “penjara terbuka” yang setiap harinya menyaksikan genosida mematikan, dan Israel sama sekali tidak memiliki rencana untuk mengakhiri penjajahannya atas Al-Quds (Yerusalem) timur dan Masjid Al-Aqsa. Saat ini, sebagaimana disimpulkan Al Jazeera, banyak orang, baik Israel maupun Palestina, atau bahkan di luar keduanya, percaya bahwa solusi dua negara sudah tidak ada harapan lagi.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini