Sepanjang 2024, kompleks Masjid Al-Aqsa di Al-Quds (Yerusalem) telah menjadi objek pelanggaran Israel, seperti serbuan yang dilakukan oleh pemukim kolonial dan Menteri Keamanan Zionis, Itamar Ben-Gvir. Di sisi yang lain, polisi Israel semakin membatasi akses warga Palestina ke Masjid Al-Aqsa.
Sejak menjabat sebagai menteri keamanan pada Desember 2022, Ben-Gvir telah “mengunjungi” kompleks Masjid Al-Aqsa setidaknya sebanyak enam kali, dan selama itu pula narasi seruan untuk menghancurkan Al-Aqsa terus digaungkan. Pada 26 Agustus 2024, ia kembali menyerukan pernyataan provokatif dengan menyebut ingin membangun sinagoge di kompleks Al-Aqsa,
“Jika saya boleh melakukan apa pun yang saya inginkan, saya akan memasang bendera Israel di situs (Al-Aqsa) tersebut,” kata Ben-Gvir dalam wawancaranya dengan Radio Angkatan Darat Israel pada 26 Agustus 2024, sebagaimana dikutip Al Jazeera. Ia juga menekankan hak kaum Yahudi untuk beribadah di dalam masjid suci umat Islam itu. Pernyataan-pernyataannya tersebut dengan cepat diterjemahkan ke dalam tindakan dan perilaku sehari-hari oleh para pemukim kolonial.
Pusat Informasi Wadi Hilweh memantau “serangan harian” ke Al-Aqsa yang dilakukan oleh pemukim di bawah pengawasan dan penjagaan pasukan pendudukan melalui Gerbang Al-Mughrabi, yang kuncinya telah dikendalikan oleh Israel sejak pendudukan Al-Quds pada 1967. Penyerbuan terjadi dalam dua periode, yakni pagi dan sore, serta dilakukan setiap hari kecuali pada Jumat, Sabtu, serta pada hari raya umat Islam. Departemen Wakaf Islam di Al-Quds mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024, lebih dari 53.600 pemukim ekstremis telah menyerbu Masjid Al-Aqsa.
Penyerbuan pemukim kolonial terhadap Al-Aqsa terutama dilakukan dengan memanfaatkan hari raya Yahudi dan awal bulan Ibrani. Selama hari-hari tersebut, para pemukim menyelenggarakan pawai, beribadah, mengibarkan bendera Israel, meniup terompet (shofar), mencoba mempersembahkan kurban hewan, serta mempersembahkan “kurban” tanaman.

(Juru bicara Itamar Ben-Gvir/Handout via Reuters)
Seruan provokatif Ben-Gvir serta peningkatan serbuan pemukim telah memantik kecaman dari dunia Arab-Islam yang menilai hal itu sebagai pelanggaran hukum internasional, provokasi yang memicu ekstremisme, serta upaya untuk mengubah status quo historis dan hukum di Al-Quds serta di tempat-tempat sucinya.
Kecaman tidak hanya datang dari dunia Arab-Islam, tetapi juga dari oposisi pemerintahan PM Zionis Benjamin Netanyahu. Pimpinan oposisi Israel, Yair Lapid, menilai Netanyahu telah kehilangan kontrol atas orang-orang di pemerintahannya. Sementara itu, Yoav Galant, mantan menteri perang yang dipecat oleh Netanyahu menulis di X bahwa “menentang status quo merupakan tindakan yang berbahaya, tidak perlu, dan tidak bertanggung jawab. Tindakan Ben-Gvir membahayakan keamanan nasional Israel.”
Apa yang terjadi secara khusus terhadap Al-Aqsa dan Kota Al-Quds selama setahun terakhir ini merupakan pelanggaran terhadap garis merah, baik terhadap agama Islam maupun terhadap status quo Masjid Al-Aqsa–yang seharusnya menyadarkan umat untuk memikul tanggung jawabnya terhadap salah satu masjid suci umat Islam ini.
Status quo Masjid Al-Aqsa, apa maksudnya?
Perjanjian Status Quo berakar dari dekrit Kekhalifahan Utsmani pada abad ke-19. Dekrit ini awalnya dikeluarkan untuk menengahi perselisihan antara beberapa sekte Kristen atas kendali situs-situs Kristen di Al-Quds (Yerusalem). Dalam dekrit yang dikeluarkan pada tahun 1852, Sultan Abdulmejid I memerintahkan Ahmed Pasha, Gubernur Al-Quds, untuk mengatur akses bagi orang-orang Latin, Armenia, Yunani, Suryani, dan Koptik ke beberapa situs suci Kristen di Bayt Lahm (Betlehem) dan Al-Quds (Yerusalem).
Dekrit tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Status Quo, diakui dalam Perjanjian Berlin tahun 1878, yang ditandatangani oleh kekuatan-kekuatan Eropa dan Imperium Utsmani. Pasal 62 Perjanjian Berlin memperluas Status Quo ke semua tempat suci di Al-Quds, termasuk tempat-tempat suci Yahudi dan Muslim. Keputusan ini menegaskan hak orang Yahudi untuk berdoa di Tembok al-Buraq, yang berbatasan dengan kompleks Masjid Al-Aqsa, dan menegakkan kembali larangan bagi non-Muslim untuk memasuki Al-Aqsa. Perjanjian Berlin menjadi elemen penting dan diterima untuk menjaga keseimbangan di Al-Quds.

Namun, status quo ini berubah secara gradual sejak Inggris mengusir pemerintahan Utsmani dari Al-Quds pada Desember 1917. Pada tahun itu pula Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang bertujuan untuk menjadikan Palestina sebagai “rumah” atau tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi yang pada gilirannya mendorong gelombang imigran Yahudi Eropa dalam jumlah besar untuk menetap di Palestina. Akibatnya, Al-Quds (Yerusalem) menjadi pusat ketegangan antara orang Arab-Palestina sebagai penduduk asli dan Zionis yang berada di Palestina sebagai imigran.
Pada tahun 1929, Zionis menggelar demonstrasi yang terorganisasi di Tembok al-Buraq (Tembok Barat). Mereka mengibarkan bendera Zionis, menyanyikan lagu kebangsaan Zionis, dan mengklaim al-Buraq sebagai milik Yahudi, meskipun dalam perjanjian Status Quo situs tersebut diakui sebagai milik umat Islam.
Demonstrasi tersebut memicu perlawanan dari warga Palestina selama sepekan dan mengakibatkan kematian lebih dari 200 orang, baik Yahudi maupun Muslim. Atas peristiwa itu, pasukan Mandat Inggris melakukan penyelidikan dan menyimpulkan bahwa Tembok al-Buraq adalah bagian dari kompleks Masjid al-Aqsa, sehingga menegaskan kembali statusnya sebagai wakaf Muslim.
Ketika Israel menduduki Al-Quds bagian timur pada bulan Juni 1967, Israel mengakui perjanjian Status Quo mengenai Masjid Al-Aqsa untuk menghindari peningkatan ketegangan dengan negara-negara regional. Akan tetapi, pada kenyataannya, Israel memulai langkah untuk menguasai semua yang ada di sekitar Al-Aqsa, dimulai dari menghancurkan Kompleks Maroko (Mughrabi Quarter) di Kota Tua Al-Quds, yang terletak tepat di bawah kompleks Masjid al-Aqsa, dan membangun alun-alun di seberang Tembok Al-Buraq.
Israel kemudian menyita kunci Gerbang Mughrabi–gerbang dengan akses terdekat menuju Masjid Al-Aqsa. Dengan kata lain, Israel telah melakukan pelanggaran atas perjanjian status quo dengan menguasai Tembok al-Buraq, sebagaimana yang pernah mereka upayakan pada 1929.
Pandangan Israel terhadap status quo Masjid Al-Aqsa
Menurut Nir Hasson, jurnalis Haaretz yang meliput di Al-Quds, Israel memandang perjanjian status quo secara berbeda, meskipun hukum internasional tidak mengakui keabsahan upaya apa pun oleh kekuatan pendudukan untuk mencaplok wilayah yang telah didudukinya, termasuk di Al-Quds (Yerusalem) bagian timur. Bagi Israel, status quo mengacu pada perjanjian 1967 yang dirumuskan oleh Moshe Dayan, mantan menteri pertahanan Israel.
Setelah Israel menduduki Al-Quds bagian timur, Dayan mengusulkan pengaturan baru yang mengubah sebagian dari Dekrit Utsmani. Menurut status quo Israel 1967, pemerintah Israel mengizinkan Wakaf untuk mempertahankan kontrol sehari-hari di kawasan Masjid Al-Aqsa, dan hanya umat Islam yang diizinkan untuk salat di sana. Polisi Israel berhak mengontrol akses masuk ke situs tersebut dan bertanggung jawab atas keamanan. Selain itu, non-Muslim diizinkan mengunjungi situs tersebut sebagai turis.
Akan tetapi, apa yang terjadi setelahnya hingga saat ini menunjukkan bahwa aturan yang dibuat Israel terhadap Masjid Al-Aqsa adalah basa-basi belaka. Zionis religius, yang saat ini diwakili dalam pemerintahan Israel oleh menteri sayap kanan Itamar Ben-Gvir, secara konsisten melakukan penyerbuan ke Masjid Al-Aqsa, di bawah perlindungan polisi Israel, untuk beribadah di situs umat Islam. Hasson juga menyatakan bahwa kelompok Zionis religius ini memberikan tekanan kepada pemerintah Israel untuk mengubah status quo Al-Aqsa, sehingga sejak 2017 polisi Israel memberikan lebih banyak lagi kebebasan bagi orang Yahudi untuk beribadah di kompleks Masjid Al-Aqsa.
Mengenai hal tersebut, Khaled Zabarqa, pakar hukum Palestina mengenai Al-Aqsa dan Al-Quds, mengatakan bahwa polisi Israel “telah mengubah fungsinya dari badan profesional yang menjaga keamanan dan aturan hukum, menjadi badan yang memberikan perlindungan bagi orang-orang yang melanggar hukum”.
Wasfi Kailani, anggota Dewan Wakaf Islam dan Direktur Eksekutif Dana Hashimiyah untuk Restorasi Masjid Al-Aqsa dan Kubba As-Sakhra, menggambarkan Masjid Al-Aqsa sebagai situs suci khusus Muslim; klaim tersebut didasarkan pada bukti agama, politik, dan hukum yang kuat dan tidak terbantahkan. Menurut Dr. Kailani kepada Jerusalem Story, setiap perubahan terhadap status, karakter, atau fungsi historis Masjid Al-Aqsa, akan ditolak oleh 1,9 miliar Muslim di seluruh dunia.
Kaleidoskop serangan terhadap Al-Aqsa sepanjang tahun 2024
Sejak Israel secara paksa merebut kendali atas Tembok al-Buraq (Tembok Barat) dan menghancurkan Kompleks al-Mughrabi pada 1967, pemerintah Israel terus melakukan serangan bersenjata terhadap tempat suci ini untuk merusak perjanjian status quo yang diakui secara internasional.
Berulang kali, dari tahun ke tahun, dunia telah menyaksikan serangan terhadap Masjid Al-Aqsa oleh polisi, pejabat, dan pemukim Israel. Serangan ini termasuk penyusupan atau penyerbuan pemukim kolonial dengan maksud untuk beribadah; larangan atau pembatasan ketat terhadap jamaah Muslim dengan menyemprotkan gas air mata; melakukan penangkapan dan pemukulan terhadap jamaah Muslim; serta menghancurkan bangunan dan peninggalan bersejarah.
Tahun 2024 merupakan tahun yang sulit bagi Masjid Al-Aqsa. Israel melanjutkan berbagai upayanya untuk memaksakan kontrol atas Masjid Al-Aqsa dan melakukan yahudisasi. Adapun “serangan harian” ke Al-Aqsa, yang setiap hari dipantau oleh Pusat Informasi Wadi Hilweh, dilakukan secara berkelompok di bawah pengawasan dan penjagaan pasukan pendudukan, dengan memasuki Al-Aqsa melalui Gerbang Al-Mughrabi yang kuncinya dirampas oleh Israel pada 1967.
Kelompok-kelompok penyusup ini kemudian berbaris menuju pelataran Masjid Al-Qibli ke wilayah timur Al-Aqsa, dari sana mereka melanjutkan perjalanan menuju bagian utara Masjid Al-Aqsa, melewati Gerbang Singa (Baab al-Asbat), Gerbang Hutta, dan Gerbang Raja Faisal, kemudian ke barat menuju Gerbang Al-Qattaneen, lalu keluar dari Gerbang Al-Silsilah. Sepanjang 2024, tercatat lebih dari 53.600 pemukim ekstremis yang melakukan penyerbuan ke Masjid Al-Aqsa.

Pusat Informasi Wadi Hilweh memantau pelanggaran di Masjid Al-Aqsa berdasarkan urutan kronologis. Di antara pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah:
- Pada Januari, sebanyak 3.296 ekstremis pemukim menyerbu Masjid Al-Aqsa, termasuk Ayala Ben-Gvir, istri menteri sayap kanan Israel.
- Pada Februari, sebanyak 3.112 ekstremis pemukim menyerbu Masjid Al-Aqsa
- Pada Maret, sebanyak 3.262 ekstremis menyerbu Masjid Al-Aqsa, termasuk 330 orang yang melakukan penyerbuan pada hari libur Yahudi, yaitu “Purim”.
- Pada April, sebanyak 5.670 ekstremis menyerbu Masjid Al-Aqsa, termasuk 4.345 orang yang melakukan penyerbuan pada hari Pesach atau Paskah Yahudi.
- Pada Mei, sebanyak 4.276 ekstremis menyerbu Masjid Al-Aqsa, dengan maksud memperingati peristiwa paling menonjol pada bulan ini, yaitu “Festival Obor, Hari Peringatan Holocaust, dan Hari Kemerdekaan“.
- Pada Mei, tepatnya pada 22 Mei 2024, menteri ekstremis sayap kanan Israel, Itamar Ben-Gvir, didampingi oleh kepala Organisasi Temple Mount, menyerbu Masjid Al-Aqsa. Selain itu, terdapat 447 ekstremis pemukim yang melakukan penyerbuan pada perayaan Paskah Kedua (Pesach Sheni).
- Pada Juni, sebanyak 5.190 ekstremis menyerbu Masjid Al-Aqsa, termasuk 1.601 orang yang melakukan penyerbuan pada “Hari Penyatuan Yerusalem,” sebuah peringatan Israel atas pendudukan Al-Quds (Yerusalem) bagian timur, serta sebanyak 668 orang melakukan penyerbuan pada peringatan “turunnya Taurat.”
- Pada 18 Juli 2024, Menteri Keamanan Dalam Negeri Itamar Ben-Gvir kembali menyerbu Masjid Al-Aqsa.
- Pada Agustus, sebanyak 7.702 ekstremis menyerbu Masjid Al-Aqsa, termasuk 2.958 orang yang melakukan penyerbuan pada peringatan “Penghancuran Bait Suci”. Ketika itu, Menteri Israel, Ben-Gvir dan Yitzhak Wasserlauf, menyerbu Masjid Al-Aqsa serta menyatakan keinginannya untuk membangun sinagoge Yahudi di Al-Aqsa dan menekankan hak orang Yahudi untuk beribadah di sana tanpa adanya pembatasan.
- Pada September, sebanyak 4697 ekstremis menyerbu Masjid Al-Aqsa.
- Pada Oktober, sebanyak 10.130 ekstremis menyerbu Masjid Al-Aqsa, dimulai pada peringatan Tahun Baru Yahudi, kemudian Yom Kippur, diikuti oleh pekan Sukkot, dan diakhiri dengan hari raya “Joy of the Torah”.
- Pada 4 Oktober 2024, dua pemukim yang mengenakan pakaian keagamaan Yahudi (tallit) menyerbu Masjid Al-Aqsa melalui Gerbang Al-Qattaneen–salah satu gerbang Al-Aqsa yang terletak di sisi barat, kemudian berjalan menuju alun-alun antara Masjid Al-Qibli dan Al-Marwani, di sisi selatan Al-Aqsa. Selama penyerbuan tersebut, mereka beribadah, meniup shofar, dan bersujud di tanah.
- Pada Desember, sebanyak 5.650 pemukim menyerbu Al-Aqsa, termasuk 1.227 orang yang melakukan penyerbuan selama liburan Hanukkah.
- Pada 26 Desember 2024, menteri ekstremis sayap kanan Israel, Itamar Ben Gvir, kembali menyerbu Masjid Al-Aqsa.

Pelanggaran menonjol dan terorganisasi juga dilakukan oleh Temple Mount, sebuah kelompok Yahudi ekstremis yang bertujuan untuk membangun kembali Bait Suci Yahudi Ketiga di Masjid Al-Aqsa dan melembagakan kembali praktik ritual pengorbanan. Untuk tahun ketiga berturut-turut, kelompok tersebut menawarkan hadiah sebesar 50.000 shekel (sekitar $13.000) bagi mereka yang dapat membawa persembahan “Paskah Yahudi” ke Al-Aqsa. Mereka juga akan memberi hadiah antara 200–2500 shekel ($30 – $660) bagi pemukim yang berpartisipasi dalam ritual tersebut.
Seruan kelompok ekstremis untuk mendatangi Masjid Al-Aqsa selama pekan “Paskah Yahudi” menjadikan pekan tersebut sebagai agresi paling menonjol terhadap Al-Aqsa pada paruh pertama tahun 2024. Terdapat sekitar 4340 pemukim yang menyerbu Masjid Al-Aqsa antara 23–29 April 2024, meningkat 26% dibandingkan dengan “Paskah Yahudi” pada 2023.
Serangan Israel terhadap Kompleks Masjid Al-Aqsa bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari strategi Israel yang lebih besar untuk melakukan yahudisasi terhadap Al-Quds (Yerusalem) bagian timur yang diduduki. Serangan terhadap hak-hak warga Palestina untuk beribadah dengan bebas, baik Kristen maupun Muslim, tidak dapat dipisahkan dari praktik ilegal Israel lainnya, seperti perluasan permukiman, pembongkaran rumah, penggusuran, dan impunitas yang diberikan kepada pasukan pendudukan dan pemukim ilegal yang menyerang penduduk Palestina setiap hari.

Masjid Al-Aqsa adalah jantung Palestina dan umat Islam, maka mempertahankan status quo Al-Aqsa bukanlah tanggung jawab Palestina semata, melainkan juga harus diemban oleh setiap Muslim. Berbagai lapisan peristiwa telah menyaksikan tanggung jawab dan pengorbanan umat demi pembebasan Masjid al-Aqsa, seperti pertempuran Mu’tah, Yarmouk, Ajnadayn, Hattin, dan Ain Jalut.
Pengorbanan serupa terus berlanjut, melalui berbagai perlawanan yang dilakukan oleh bangsa Arab-Islam maupun rakyat Palestina sendiri. Arab Revolt (1916–18), The Great Palestinian Revolt (1936), dan perlawanan lainnya yang terus terjadi sejak 1948, 1967, hingga saat ini–hingga Al-Aqsa terbebas dari jerat yahudisasi dan zionisme. (LMS)
Referensi
https://www.aljazeera.com/news/2023/4/12/who-are-jewish-groups-entering-al-aqsa-mosque
https://english.wafa.ps/Pages/Details/148013
https://english.wafa.ps/Pages/Details/143450
https://www.jerusalemstory.com/en/article/what-status-quo
https://www.middleeasteye.net/news/ben-gvir-wants-build-synagogue-al-aqsa-mosque
https://www.silwanic.net/article/news/79555/jerusalem-during-the-year-2024
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini