Setelah meminta untuk diberlakukan pembatasan yang sangat ketat terhadap jamaah Palestina yang hendak memasuki Al-Aqsa selama Ramadan, ekstremis Israel yang juga seorang menteri, Itamar Ben Gvir, kembali menyerukan ajakan provokatif (18/3). Ia mendesak pemerintah Israel agar mengizinkan pemukim Yahudi untuk menyerbu Al-Aqsa selama 10 hari terakhir pada Ramadan.
Selama ini, pemerintah Israel telah melanggar status quo masjid suci umat Islam tersebut dengan membuka akses bagi pemukim kolonial Yahudi untuk menyerbu Al-Aqsa di bawah pengawalan militer, termasuk pada 20 hari pertama Ramadan. Namun, biasanya Al-Aqsa akan dilarang atau ditutup sepenuhnya bagi pemukim kolonial selama 10 hari terakhir Ramadan, karena dianggap sebagai periode sangat sensitif dalam hal keamanan.
Pada tahun lalu, Ben-Gvir menanggapi larangan tersebut dengan mengatakan, “Keputusan Netanyahu untuk menutup Temple Mount bagi orang-orang Yahudi karena pertimbangan keamanan adalah kesalahan serius yang tidak akan membawa perdamaian, namun hanya akan memperburuk situasi. Ketika ancaman terorisme menyerang kita, maka kita harus membalasnya dengan kekuatan yang luar biasa, bukan menyerah terhadap keinginannya.”
Pelanggaran-pelanggaran terhadap Al-Aqsa sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh pemukim kolonial dan Israel, nyatanya merupakan kejahatan berulang yang terus terjadi. Sejak Israel merebut kendali Al-Quds (Yerusalem) dan Tepi Barat dari Yordania pada 1967, Israel berupaya mengukuhkan eksistensinya dengan mengadakan simbol-simbol Yahudi, sekaligus menghancurkan identitas Islam dan Arab yang membentuk kota tersebut.
Harat al-Maghariba, pijakan pertama untuk menguasai Al-Aqsa

Salah satu hal pertama yang dilakukan Israel dalam mengaburkan dan menghilangkan identitas Islam-Arab di Al-Quds (Yerusalem) adalah dengan meratakan Harat al-Maghariba (Kompleks Maroko), yang berusia lebih dari 770 tahun ketika Israel mulai menghancurkannya. Kompleks ini merupakan hunian bagi sekitar 650 orang yang tersebar dalam 100-an keluarga. Sejak awal, Zionis ingin mengambil alih Harat al-Maghariba yang berada tepat di depan Tembok Buraq atau Tembok Barat, untuk dijadikan alun-alun terbuka bagi Yahudi, yang kemudian menjadi ruang simbolis pertama bagi Israel di Al-Quds (Yerusalem).
Keberadaan Harat al Maghariba ini bermula pada 1187, ketika Salahuddin al-Ayyubi membebaskan Al-Quds dan menggulingkan Tentara Salib. Dalam rangka memberi penghargaan kepada tentara Maghribi (Maroko) dan Spanyol selatan yang bertempur dalam pasukannya, Salahuddin menawari mereka sebidang tanah di sekitar Tembok Buraq.
Beberapa tahun kemudian, pada 1193, Al-Afdal putra Salahuddin, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Damaskus (mencakup Al-Quds), menghibahkan wilayah tersebut sebagai wakaf kepada komunitas Maroko dengan tujuan untuk menyediakan akomodasi bagi para pendatang di Maroko tanpa membeda-bedakan agama (termasuk Yahudi), jenis kelamin, dan asal-usulnya, termasuk para peziarah dari Libya,Tunisia, dan Aljazair. Lingkungan yang dinamis itu kemudian berkembang pesat memainkan peran integral dalam sejarah kota dan kehidupan ekonomi, sosial, spiritual, dan budaya selama berabad-abad, melewati berbagai pemerintahan, sejak Kesultanan Ayyubiyah, Kesultanan Mamluk, dan Imperium Utsmani.
Pada dekade pertama abad ke-20, ketika Zionis mencengkramkan kukunya secara sembunyi-sembunyi, ketegangan mulai meningkat, terutama mengenai hak-hak orang Yahudi dan Muslim atas tembok dan koridor sempit di antara Harat al-Maghariba dan al-Buraq (Tembok Barat). Bahkan sebelum itu, pada awal 1887, Baron de Rothschild mengusulkan pembelian seluruh kawasan tersebut untuk dihancurkan dan didirikan sebuah alun-alun di atasnya. Pada Mei 1918, hanya beberapa bulan setelah dikeluarkannya Deklarasi Balfour, pemimpin Zionis Chaim Weizmann menulis kepada Arthur Balfour untuk mengusulkan “penyerahan Tembok Ratapan (al-Buraq/ Tembok Barat)”. Pada 1919, Zionis menawarkan 80.000 pound untuk pembangunan tembok tersebut. Tawaran demi tawaran terus berdatangan, tetapi semuanya ditolak oleh Mufti Al-Quds saat itu, Kamal al-Husseini.
Meskipun hingga masa Utsmani orang-orang Yahudi diizinkan untuk berdoa di sana, para penjajah dan pendukung Zionis mulai mengklaim Tembok al-Buraq sebagai bagian dari “Kuil Yahudi” pada masa lalu, hingga memicu sejumlah konfrontasi dengan Muslim Palestina pada tahun 1920-an. Puncak konfrontasi terjadi pada Kamis, 15 Agustus 1929 (periode Mandat Inggris), ketika pemuda Yahudi dari kelompok Beitar berbaris menuju Tembok Buraq. Mereka mengibarkan bendera Zionis dan menyanyikan lagu Zionis “Hatikva” seraya berteriak “Tembok itu milik kita!” Apa yang terjadi di Tembok Buraq ketika itu dengan cepat menyebar di Harat al-Maghariba dan gelombang protes menjalar ke berbagai wilayah Palestina. Konfrontasi terjadi dan korban jatuh dari kedua belah pihak dalam pekan paling berdarah; 133 tewas di pihak Yahudi dan 116 penduduk Arab terbunuh. Polisi dan tentara Inggris yang turut membunuh sebagian besar korban di pihak Arab juga mempersenjatai 500 milisi Yahudi. Peristiwa ini disebut orang Palestina sebagai “Revolusi al-Buraq”.
Besarnya keinginan Zionis untuk menguasai al-Buraq atau Tembok Barat ini pada akhirnya tercapai setelah entitas Israel berdiri di atas tanah Palestina. Setelah Palestina melewati periode Nakba (the catastrophe) atau malapetaka pada 1948, episode kegelapan kembali menghampiri Palestina. Pada 5 Juni 1967, Israel yang memenangkan Perang Enam Hari melawan koalisi tentara Arab, menduduki sisa wilayah bersejarah Palestina, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Al-Quds bagian timur yang Kota Tua-nya direbut oleh Israel pada 7 Juni 1967. Hal ini menyebabkan perpindahan paksa kedua, yang disebut sebagai Naksa (the setback), yang berarti “kemunduran”. Hanya tiga hari berselang, perintah untuk menguasai Tembok al-Buraq, termasuk mendirikan alun-alun dengan menghancurkan Harat al-Maghariba, dikeluarkan oleh Teddy Kollek, Wali Kota Zionis yang ditunjuk untuk memimpin Al-Quds (Yerusalem).

Dalam autobiografinya yang berjudul For Jerusalem: A Life, sebagaimana dikutip oleh Jerusalem Story, Kollek menuliskan:
“Sehari setelah Kota Tua jatuh, menjadi jelas bagi saya bahwa sesuatu harus dilakukan terhadap gubuk-gubuk kumuh yang berkerumun di dekat Tembok Barat – Kawasan al-Maghariba… dan satu-satunya jawaban adalah menyingkirkan gubuk-gubuk kumuh di Kawasan al-Maghariba itu. Saya menerima izin dari Herzog, Narkiss, dan Dayan. Perasaan saya yang paling kuat adalah: lakukan sekarang; mungkin akan mustahil jika dilakukan nanti. Dan ini harus dilakukan (sekarang).”
Harat al-Maghariba, situs bersejarah berusia hampir 800 tahun itu mulai dihancurkan pada 10 Juni 1967. Seluruh bangunan yang berdiri di tanah seluas 10.000 meter persegi itu diratakan untuk dijadikan alun-alun. Dalam sekejap, sekitar 650 warga dari 108 keluarga menjadi tunawisma. Ketika perampasan tanah dan penghancuran kawasan itu terjadi, sebagian penghuni Harat al-Maghariba merupakan keturunan Maroko dan sebagian memilih untuk kembali ke Maroko dengan bantuan Raja Maroko Hassan II, sementara sisanya pindah ke Kamp Pengungsi Shu’fat, al-Ram, Abu Dis, dan tempat lain di Al-Quds atau Tepi Barat yang diduduki.
Ruhi al-Khatib, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Al-Quds (Yerusalem) bagian Timur, dengan tajam menyampaikan tragedi kemanusiaan tersebut dalam sebuah memorandum yang disampaikan pada 26 Agustus 1967 kepada Dr. Ernesto Thalmann, utusan PBB di Al-Quds:
“Sebanyak 135 rumah di Kawasan al-Maghriba yang bersebelahan dengan Tembok Buraq, dan berdekatan dengan dua masjid, yaitu Masjid Umar dan Masjid Al-Aqsa, Tempat Suci umat Islam, telah diledakkan dan dihancurkan dengan buldoser. Akibatnya, 650 penduduknya, yang merupakan orang-orang sederhana dan saleh, diusir dari rumah mereka. Waktu yang diberi untuk mengungsi tidak lebih dari tiga jam, sementara jam malam telah diberlakukan. Kita dapat dengan mudah membayangkan kekhawatiran keluarga-keluarga ini; yang harus mengurus harta benda mereka, anak-anak, serta orang lanjut usia dalam waktu bersamaan. Sejumlah bangunan dan dua masjid kecil di kompleks tersebut merupakan milik Wakaf Islam, dan yang lainnya adalah milik pribadi–orang Yahudi tidak mempunyai hak atas apa pun (di sana).”
Matahari terbenam di antara reruntuhan tua
Pada 12 Juni 1967, seluruh bangunan di Harat al-Maghariba telah runtuh. Tidak ada lagi matahari sore yang dapat dinikmati dari atas balkon seraya memandang Al-Aqsa. Tanah hadiah dari Salahuddin al-Ayyubi yang menjadi saksi sejarah ratusan tahun itu tenggelam dalam kepedihan. Suara-suara pengrajin al-maghariba yang memproduksi kertas, ikat pinggang, permadani, dan kerajinan logam buatan tangan, telah jatuh bersama air mata, sementara aroma rempah yang biasa menguar di udara, kini telah menguap entah kemana. Jejak Maroko di lingkungan itu telah hilang sama sekali.
Kini, yang berdiri di atasnya adalah Alun-Alun Tembok Barat, tujuan ziarah bagi ratusan ribu jamaah Yahudi, yang secara efektif menjadikannya sebagai sinagoga luar ruangan. Secara bertahap, tembok tersebut menjadi tujuan keagamaan utama, tempat setiap tentara Israel bersumpah setia kepada “negara”, tempat partai politik meminta restu dari para rabi, dan tempat bagi pemenang pemilihan umum memanjatkan syukur mereka.
Tidak lama setelah penghancuran Harat al-Maghariba, pasukan Israel menyita kunci Gerbang al-Mughrabi (yang menghubungkan Kompleks Masjid Al-Aqsa ke alun-alun Tembok Barat), sehingga secara efektif mengambil kendali atas gerbang tersebut.
Adapun serangan paling serius terhadap masjid Al-Aqsa terjadi pada Agustus 1969, ketika seorang Yahudi-Australia Denis Michael Rohan membakar Masjid Al-Aqsa, sehingga merusak sebagian bangunan masjid suci. Api juga menghancurkan mimbar Nuruddin Zanki, yang terbuat dari kayu dan gading berusia ribuan tahun dengan harga tidak ternilai. Mimbar tersebut dikirim dari Aleppo oleh Shalahuddin al-Ayyubi sebagai perwujudan nazar gurunya, Nuruddin Zanki, yang menginginkan mimbar itu diletakkan di Al-Aqsa setelah pembebasannya dari Pasukan Salib.
Insiden tersebut menyingkap niat Israel dan menyoroti bahaya nyata yang mengancam Masjid Al-Aqsa. Menanggapi kebakaran tersebut, Wakaf Islam Al-Quds kemudian menutup sementara Haram al-Sharif untuk semua pengunjung: tindakan ini tidak hanya sebagai peringatan, namun juga merupakan penegasan bahwa Wakaf Islam merupakan lembaga yang memiliki hak untuk meregulasi Al-Aqsa.
Pada 14 Agustus 1970, kurang dari setahun setelah Al-Aqsa dibakar, mantan perwira Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Gershon Salomon memelopori serbuan ke Masjid al-Aqsa bersama sekelompok aktivis Temple Mount Faithful. Lembaga tersebut didirikannya dengan tujuan meletakkan batu pertama untuk membangun kembali apa yang mereka gambarkan sebagai Kuil Ketiga di atas tanah tempat berdirinya Al-Aqsa. Serbuan ini mengakibatkan terjadinya bentrokan dan polanya terus berlanjut hingga saat ini.
Dari Harat al-Maghariba yang dihancurkan dan diganti dengan Alun-Alun Tembok Barat, Israel membuka gerbang Yahudisasi, menciptakan rencana-rencana lainnya untuk menguasai Al-Aqsa secara keseluruhan. Penyerbuan demi penyerbuan yang dilakukan pemukim kolonial terus berlanjut hingga hari ini, sementara pembatasan demi pembatasan terhadap jamaah Palestina yang hendak memasuki Masjid Al-Aqsa, terus diberlakukan. Dari Harat al-Maghariba yang jejaknya telah hilang, Yahudisasi terhadap Masjid Suci al-Aqsa berlangsung perlahan tapi pasti entah sampai kapan. Namun, di antara perguliran matahari yang terbit dan tenggelam di atas tanah yang dulunya berdiri Harat al-Maghariba, gema kerinduan masih beresonansi memanggil kembali para pembebas. (LMS)
Referensi
https://www.aa.com.tr/en/politics/1967-2015-israel-s-ongoing-legacy-of-assaults-on-al-aqsa-/506728
https://www.aa.com.tr/en/middle-east/israels-aggressiveness-towards-al-aqsa-since-1967/867339
https://www.aljazeera.com/news/2023/5/29/not-just-ben-gvir-a-new-al-aqsa-provocation-is-building-up
https://digitalprojects.palestine-studies.org/jps/fulltext/198545
https://en.yabiladi.com/articles/details/59985/harat-al-maghariba-when-moroccans-lived.html
https://www.jerusalemstory.com/en/lexicon/haret-al-maghariba
https://www.jerusalemstory.com/en/lexicon/al-buraq-uprising
https://www.loc.gov/resource/matpc.00235/
https://www.middleeastmonitor.com/20170801-israeli-attacks-on-al-aqsa-mosque/
https://www.nytimes.com/2020/05/15/world/middleeast/ramadan-coronavirus-al-aqsa.html
https://www.nytimes.com/2023/04/11/world/middleeast/jerusalem-aqsa-mosque-ramadan.html
https://www.palestine-studies.org/en/node/1650013
https://www.palestine-studies.org/sites/default/files/jq-articles/18_haj_Amin_2_0.pdf
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini