Mendekati Ramadan, lorong-lorong di sekitar Kota Tua Al-Quds (Yerusalem) terlihat terang dan semarak dengan warna-warni lentera Ramadan (fanous) yang terpasang sepanjang jalan, menggantung di rumah-rumah, atau dibawa oleh orang-orang yang berpawai menyambut datangnya bulan mulia. Bab Hutta, salah satu gerbang menuju Masjid al-Aqsa yang dianggap sebagai kawasan paling menawan pada Ramadan, didatangi puluhan ribu orang dari berbagai kota untuk menikmati suasana Ramadan yang sebentar lagi menyapa mereka. Pasar pun ramai, penjual dan pembeli bertukar senyum, menularkan kebahagiaan dalam menyambut bulan yang ditunggu-tunggu.
Selain jalanan yang dihidupkan dengan ornamen-ornamen, Masjid Al-Aqsa juga berhias menyambut Ramadan. Ribuan sukarelawan datang menuju Al-Aqsa dari segala penjuru Palestina untuk membersihkan taman, memelihara makam di sekitarnya, dan mempersiapkan interior masjid untuk menyambut jamaah. Sementara itu, anak-anak bersuka ria berlarian di pekarangan masjid atau berkumpul di sekitar orang yang memakai baju badut untuk mempertontonkan sulap dan bercerita.
Namun, atmosfer seperti itu tidak dijumpai lagi pada hari-hari terakhir menjelang Ramadan tahun ini yang diperkirakan akan dimulai pada 10 atau 11 Maret mendatang. Agresi genosida yang terus berlangsung di Gaza selama hampir 160 hari, juga ketegangan yang meningkat di Al-Quds dan Tepi Barat yang dijajah, telah mengoyak kebahagiaan Palestina dan merampas mimpi-mimpi warganya untuk kembali merayakan Ramadan dan berkumpul di Al-Aqsa.
“Sulit untuk merayakan Ramadan atau makan ketika kami memikirkan saudara-saudara kami yang kelaparan di Gaza,” kata Zeki al-Basti (54 tahun), warga Bab Hutta. “Dengan lebih dari 30.000 syuhada di Gaza, bagaimana kami bisa merayakannya?” lanjut Fathi, pemilik toko suvenir di Kota Tua Al-Quds (Yerusalem).
Ungkapan yang serupa juga dilontarkan oleh Muntaser Idkedek, Direktur Eksekutif Burj al-Luqluq di Al-Quds (Yerusalem), lembaga yang biasanya menyelenggarakan Fawanees atau Festival Lentera Al-Quds yang sangat ditunggu-tunggu oleh ribuan orang setiap tahunnya. Pada Ramadan lalu, Burj al-Luqluq menyalakan lentera terbesar di halamannya dekat Bab Hutta. “Ramadan tahun ini akan sangat suram. Perayaan Natal dibatalkan pada tahun lalu, dan kami tidak memiliki semangat untuk merayakan apa pun mengingat keadaan di sana (Gaza),” katanya.
Rencana Israel terhadap Masjid al-Aqsa dan jamaahnya
Bagi jamaah Palestina, beribadah di Masjid al-Aqsa, tempat tersuci ketiga dalam Islam adalah inti dari Ramadan. Namun, dengan pembatasan ketat yang dilakukan terhadap jamaah Palestina sejak 7 Oktober, hal itu akan sulit dilakukan. Israel terus memberlakukan pembatasan pergerakan, dengan banyak warga Palestina – terutama laki-laki – yang ditolak masuk ke Al-Quds (Yerusalem), khususnya ke Masjid Al-Aqsa. Sejak 7 Oktober 2023, hampir semua titik akses masuk ke Al-Quds bagian timur bagi warga Palestina dari luar kota telah diblokir. Misalnya saja, para petani dari desa-desa yang biasanya datang ke Al-Quds untuk menjual hasil panennya, termasuk di antara ribuan orang yang dilarang memasuki Al-Quds selama lima bulan terakhir.
Pembatasan menjadi semakin ketat setiap Jumat, ketika warga Palestina yang hendak menunaikan ibadah salat Jumat berbondong-bondong menuju Al-Aqsa. Pada Jumat terakhir sebelum Ramadan (8/3), tentara Israel dengan kejam menyerang jamaah di Gerbang Asbat, salah satu pintu masuk utama ke kompleks Masjid Al-Aqsa. Tentara Israel juga dilaporkan menangkap dua jamaah, mengganggu, menggeledah, dan mencegah mereka memasuki masjid. Selain meningkatkan kehadirannya di pintu masuk Kota Tua Al-Quds, termasuk Masjid Al-Aqsa dan sekitarnya, Israel juga memasang lebih banyak penghalang besi.
Trotoar dan lorong-lorong Kota Tua menjadi sangat kosong. Warga Palestina dari wilayah lain di Tepi Barat juga telah kehilangan semua akses ke Al-Quds. Pembatasan ini tampaknya akan semakin diperketat pada Ramadan seiring dengan narasi diskriminatif yang berkembang di kalangan politisi Israel.
Pada pertengahan Februari lalu, Menteri sayap kanan ekstremis Israel, Itamar Ben Gvir, meminta kepada polisi untuk membatasi hanya beberapa ribu jamaah Muslim yang diperbolehkan memasuki Masjid Al-Aqsa selama Ramadan dengan alasan agar pihak kepolisian siap sepenuhnya dan mampu merespon dengan cepat jika terjadi kerusuhan. Lebih jauh lagi, Menteri Warisan Budaya Israel, Amichai Eliyahu, yang merupakan anak buah Ben Gvir di Partai Otzma Yehudit menyerukankan agar bulan suci Ramadan dihapuskan.
“Apa yang disebut bulan Ramadan harus dihapus dan ketakutan kami atas bulan ini juga harus dihapus,” kata Eliyahu.
Seolah mengaminkan pendapat Ben Gvir, Netanyahu menyetujui rekomendasi untuk membatasi masuknya jamaah Palestina ke Al-Aqsa. Namun demikian, rekomendasi tersebut mendapat penentangan dari tentara dan Shin Bet, badan intelijen dalam negeri Israel, yang ingin membahas kembali masalah pembatasan tersebut dengan Netanyahu. Menurut Radio Angkatan Darat, badan-badan keamanan akan memberikan penilaian kepada Netanyahu untuk memperlihatkan tingginya risiko terhadap keamanan di Tepi Barat jika pembatasan ketat dilakukan pada Ramadan.
“Jika ini terus berlanjut, kami ragu Israel akan mampu menghentikannya (risiko eskalasi di Tepi Barat), mengingat adanya pertempuran dan pengerahan pasukan di semua wilayah,” kata Radio Angkatan Darat, mengacu pada agresi di Jalur Gaza dan pertempuran di perbatasan dengan Lebanon.
Benang merah upaya Israel untuk menghapus Palestina seluruhnya
Pelanggaran terhadap Masjid Al-Aqsa di Al-Quds (Yerusalem) terus berlanjut sejak kota itu dijajah pada tahun 1967. Intensitas pelanggaran menjadi semakin buruk dalam tahun-tahun terakhir, baik dalam jumlah maupun skala pelanggaran, terlebih lagi pada Ramadan, saat ratusan ribu jamaah Muslim beribadah di kompleks tersebut untuk tarawih dan beritikaf.
Dalam laporan tentang serangan Israel ke Al-Aqsa pada Ramadan 2023, Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di Wilayah Palestina Terjajah mengatakan, “Ketika umat Islam Palestina berkumpul untuk beribadah pada Ramadan serta menjalankan hak mereka untuk beribadah di Masjid Al-Aqsa, pihak berwenang Israel secara terang-terangan menggunakan kekerasan yang berlebihan dan tidak dapat dibenarkan.”
Ketika itu pasukan Israel memasuki Masjid Al-Aqsa, menggunakan granat kejut dan gas air mata, menembakkan peluru berujung spons, dan tanpa pandang bulu memukuli jamaah Muslim – termasuk orang lanjut usia dan wanita – dengan pentungan dan popor senapan. Sebanyak 450 pria Palestina ditangkap, sementara sejumlah jamaah ditendang dan dihajar oleh tentara saat mereka dibawa keluar dari kompleks Haram Al-Sharif dengan tangan diborgol. Setidaknya 31 warga Palestina terluka, sementara paramedis dilarang memberikan perawatan segera kepada korban luka.
Kekerasan serupa juga terjadi selama bulan suci Ramadan pada tahun 2021 dan 2022, menambah kekerasan harian yang harus ditanggung penduduk Palestina di bawah penjajahan Israel. Tahun 2022 pernah dinyatakan sebagai tahun paling mematikan bagi penduduk Palestina di Tepi Barat, kemudian tahun berganti dan 2023 dinyatakan sebagai tahun paling mematikan di Tepi Barat–bahkan di Palestina secara keseluruhan sejak Israel melakukan agresi pada Oktober 2023.
Kini, 2024 baru saja dimulai, tetapi situasi yang dihadapi Palestina sudah sangat buruk. Setiap hari kematian terus membayangi penduduk Palestina, baik di Gaza maupun Tepi Barat dan Al-Quds (Yerusalem). Lebih dari 30.500 orang, termasuk 12.000 anak-anak, telah terbunuh dalam agresi genosida Israel di Jalur Gaza dan 85% dari 2,3 juta penduduk Gaza mengungsi dari rumah mereka dalam kekerasan terburuk sepanjang penjajahan Israel atas Palestina, hingga menciptakan bencana lainnya: kematian akibat kelaparan.
Tidak cukup sampai di situ, bersamaan dengan pengumuman rencana pembatasan akses ke Masjid Al-Aqsa selama Ramadan, Netanyahu juga mengancam untuk melanjutkan operasi darat di Rafah, kota paling selatan Gaza, tempat hampir 1,5 juta warga Palestina mencari perlindungan setelah diusir secara paksa dari daerah lain di seluruh Gaza.
Sementara itu Tepi Barat terus menyaksikan peningkatan kekerasan Israel sejak 7 Oktober, termasuk pembunuhan, serangan pemukim kolonial, perampasan lahan, dan pembongkaran bangunan. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, sekitar 420 warga Palestina, termasuk setidaknya 100 anak-anak, telah dibunuh oleh pasukan dan pemukim Israel, dan 4.650 lainnya terluka. Israel juga telah menangkap sedikitnya 7.340 warga Palestina di Tepi Barat selama lima bulan terakhir.
Lonjakan juga terlihat dalam penghancuran properti warga Palestina, dengan hampir 950 bangunan dihancurkan dan memaksa 1.630 warga Palestina mengungsi pada tahun lalu. Memasuki tahun 2024, pembongkaran properti Palestina oleh Israel terus berlanjut dengan adanya 142 pembongkaran bangunan yang menyebabkan lebih dari 340 warga Palestina mengungsi. Menurut laporan baru-baru ini, Israel berencana membangun lebih dari 3.300 rumah baru di permukiman di Tepi Barat, sebagaimana digadang-gadang oleh Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich.
Tingginya angka kekerasan dan pembongkaran properti Palestina di Tepi Barat dan Al-Quds, serta meningkatnya sentimen pemukim kolonial Israel terhadap Palestina, memperlihatkan adanya keinginan besar dari Israel untuk menghapus Palestina dalam hal apa pun. Abdul Jawad Umar, akademisi di Universitas Birzeit, Tepi Barat, memperingatkan bahwa ketika serangan mematikan Israel di Gaza mencapai lebih dari 150 hari, peningkatan kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan Al-Quds menimbulkan banyak kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya bagi 3 juta warga Palestina di sana.
Kekhawatiran tersebut juga ditegaskan kembali oleh Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki, “Sementara semua orang fokus pada genosida yang terjadi di Gaza, kita harus selalu ingat bahwa tujuan besar Israel adalah Tepi Barat, wilayah yang disebut sebagai Yudea dan Samaria,” kata al-Maliki di Forum Diplomasi Antalya di Türkiye.
Agresi genosida di Gaza, pembatasan ketat terhadap jamaah Palestina untuk beribadah di Al-Aqsa, juga peningkatan kekerasan secara tajam di Tepi Barat, bukanlah suatu taktik terpisah, melainkan benang merah untuk mencapai kedaulatan penuh di seluruh wilayah Palestina, mulai dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania. Sebuah “impian” yang berkali-kali disampaikan politisi Israel sebagai upaya pembentukan “The Greater Israel” atau Israel Raya.
Mohammad Jadallah, seorang ahli bedah dan dokter sukarelawan yang memberikan layanan darurat kepada jamaah di Al-Aqsa, mengatakan kepada The New Arab, “Israel berpikir ini adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri Gaza, kemudian pindah ke Tepi Barat dan Al-Quds (Yerusalem), serta mendominasi Al-Aqsa”.
“Ikatan kami dengan Masjid Al-Aqsa adalah ikatan yang suci”
Ramadan pada tahun ini hadir di tengah kekerasan, kelaparan, dan pembatasan yang dialami Palestina. Lentera warna-warni dan pawai yang biasanya menyambut Ramadan dengan semarak dan gegap gempita, kini meredup. Namun, penduduk Palestina tidak pernah menyerah dalam mempertahankan tanah air mereka dan kesucian Al-Aqsa. “Bagaimana pun, kami akan tetap berpuasa, krisis seperti ini akan semakin mendekatkan seseorang kepada Tuhan dan agamanya,” kata Hassan, seorang guru bahasa Inggris di Gaza.
Salah seorang ulama dan pemimpin terkemuka Palestina di wilayah 1948, Sheikh Raed Salah, menyatakan penolakannya atas rencana Israel yang hendak membatasi masuknya jamaah Palestina ke Masjid Al-Aqsa selama Ramadan. “Ikatan kami dengan Masjid Al-Aqsa adalah ikatan yang suci,” katanya. “Kami memiliki hak yang sah dan abadi untuk memasuki Masjid Al-Aqsa.Tidak ada seorang pun di dunia ini yang berhak memutuskan siapa yang boleh memasuki masjid suci tersebut.”
Aktivis politik dan pengacara hak asasi manusia, Khaled Zabarqa, menegaskan bahwa pemberlakuan pembatasan bagi umat Islam dalam memasuki Masjid Al-Aqsa pada Ramadan merupakan indikator sangat berbahaya yang harus menjadi perhatian semua orang. Dia memperingatkan bahwa Israel berupaya mengubah situasi di Masjid Al-Aqsa dengan dalih peristiwa yang terjadi di Gaza.
Sementara itu, Syekh Kamal al-Khatib, Wakil Ketua Gerakan Islam di wilayah Palestina 1948, menegaskan sikapnya dalam pernyataannya kepada pers mengenai rencana pembatasan selama Ramadan, “Tindakan ini hanya akan meningkatkan keterikatan masyarakat kami terhadap Al-Aqsa dan dikhawatirkan dapat membuka gerbang perang agama. (Pembatasan) ini menunjukkan bahwa kepemimpinan (Israel) pada hari ini akan membawa Israel ke jurang kehancuran.”
Ramadan, bagaimana pun, akan tetap hadir di Palestina yang sedang berduka, membawa kenangan tentang lentera-lentera yang menghidupkan kemuliannya, tentang meja makan yang di atasnya tergelar makanan khas Ramadan dengan kebahagiaan yang memenuhi lubuk hati keluarga yang berkumpul mengelilinginya, tentang Masjid suci Al-Aqsa yang dipenuhi lantunan zikir dan ayat Al-Quran dari ratusan ribu jamaah yang biasa memadatinya. Dan warga Palestina, bagaimana pun, akan tetap menyambutnya sekalipun dengan segala keterbatasannya.
“Saya mendambakan kegembiraan sederhana saat duduk bersama ibu, ayah, saudara laki-laki, dan saudara perempuan saya di satu meja. Tidak ada yang lebih hangat daripada berkumpul bersama keluarga pada Ramadan. Saya khawatir tentang bagaimana kami akan menjalani Ramadan saat terus-menerus berada di bawah ancaman pengeboman Israel. Kami berjuang untuk menanggung keadaan ini dan mencoba untuk mengatasinya,” Mustafa Sheikh al-Eid, anak Gaza yang berusia 14 tahun, menuturkan perasaannya.
Ramadan akan tetap hadir di Palestina, sementara dunia menanggung ketidakberdayaannya dalam menghadirkan Ramadan yang bahagia dan bermartabat di sana. (LMS)
Referensi
https://www.aa.com.tr/en/middle-east/israeli-minister-calls-for-wiping-out-month-of-ramadan-/3152467 https://www.aa.com.tr/en/middle-east/150-days-of-war-on-gaza-taking-over-west-bank-next-on-israeli-agenda-fear-palestinians/3154588
https://www.aljazeera.com/gallery/2023/4/5/israeli-forces-carry-out-violent-raid-at-al-aqsa-mosque
https://english.palinfo.com/jerusalem/2024/02/19/314597/
https://english.wafa.ps/Pages/Details/142329
https://www.jerusalemstory.com/en/blog/no-public-celebrations-or-decorations-jerusalem-ramadan
https://www.jerusalemstory.com/en/blog/ramadan-nonetheless
https://www.middleeastmonitor.com/20170801-israeli-attacks-on-al-aqsa-mosque/
https://mondoweiss.net/2024/03/as-ramadan-approaches-rafah-braces-for-an-israeli-ground-invasion/
https://www.newarab.com/analysis/israels-ramadan-restrictions-al-aqsa-could-ignite-chaos
https://www.newarab.com/news/thousands-palestinians-prepare-al-aqsa-mosque-ramadan
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini