Militer Israel kembali menggunakan pesawat tanpa awak buatan perusahaan Tiongkok, DJI, untuk mengebom rumah sakit dan tempat penampungan di Gaza, demikian hasil investigasi lembaga verifikasi Sanad milik Al Jazeera.
Sanad menemukan bahwa drone komersial DJI telah dimodifikasi untuk membawa bahan peledak dan digunakan dalam operasi militer terhadap warga sipil Palestina, termasuk di antaranya rumah sakit, pusat penampungan, dan pengawasan terhadap tawanan Palestina yang dijadikan tameng manusia oleh tentara Israel.
Ini bukan kali pertama drone DJI digunakan dalam konflik bersenjata. Pada perang Rusia-Ukraina tahun 2022, kedua belah pihak dilaporkan menggunakan drone DJI. Saat itu, DJI menghentikan semua penjualan ke Rusia dan Ukraina serta memperkenalkan pembatasan perangkat lunak terkait ketinggian dan wilayah operasional drone. Namun, DJI tidak mengambil langkah serupa terhadap Israel.
Penggunaan oleh Militer Israel
Drone DJI telah digunakan oleh militer Israel sejak 2018. Laporan dari kelompok kampanye Israel, Hamushim, menyebutkan bahwa militer menggunakan DJI Matrice 600 untuk menjatuhkan gas air mata kepada demonstran sipil dalam aksi Great March of Return di Gaza.
Meski penggunaannya oleh militer bukan hal baru, penggunaan drone ini untuk mengebom warga sipil dan sasaran yang dilindungi, sebagaimana diungkap dalam investigasi Sanad, merupakan eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Al Jazeera telah menghubungi otoritas Israel untuk menanggapi temuan ini, namun belum menerima jawaban hingga berita ini dipublikasikan.
Modifikasi Drone untuk Tujuan Militer
Sanad mendokumentasikan penggunaan berbagai tipe drone DJI, termasuk DJI Agras—yag sejatinya dirancang untuk pertanian—namun telah dimodifikasi untuk membawa bahan peledak. Drone ini mampu membawa muatan berat dan terbang dengan presisi tinggi, memungkinkan penyerangan ke wilayah yang sulit dijangkau pasukan darat. Selain Agras, militer Israel juga menggunakan DJI Mavic untuk pengintaian dan akuisisi target, serta DJI Avata untuk menjelajahi dan memetakan jaringan terowongan di Gaza.
Serangan di Gaza Utara
Menjelang akhir 2024, Israel mengepung wilayah Gaza utara, menyebabkan kelaparan dan kondisi yang digambarkan pengamat PBB sebagai “apokaliptik.” Rekaman warga sipil pada 17 Juli 2024 menunjukkan DJI Agras menjatuhkan bom ke gedung milik lembaga amal Turki, IHH, di Jabalia, hanya sekitar 100 meter dari sebuah sekolah yang digunakan sebagai tempat penampungan dan pusat distribusi bantuan.
Pada November 2024, DJI Agras kembali digunakan untuk menjatuhkan bom ke lingkungan pemukiman di Beit Lahia, tempat warga mengungsi setelah sebuah sekolah PBB yang dijadikan penampungan dibombardir Israel. Warga menyebut serangan itu dimaksudkan untuk menebar ketakutan.
Pengawasan dan Perang Perkotaan
Selain pengeboman, drone DJI juga digunakan untuk operasi pengawasan. Dalam salah satu rekaman yang diperoleh Al Jazeera Arabic, DJI Avata terlihat digunakan untuk melacak seorang warga Palestina yang dijadikan tameng manusia oleh tentara Israel di Shujaiya pada Desember 2023. Warga tersebut dipaksa membuka pintu sekolah untuk memastikan tidak ada pejuang di dalamnya, sambil diawasi dari udara oleh drone.
Pada 2022, DJI menghentikan penjualan drone ke Rusia dan Ukraina sebagai tanggapan atas keluhan bahwa produknya digunakan untuk kepentingan militer. Mereka menyatakan: “Kami tidak akan pernah menerima penggunaan produk kami untuk menyakiti siapa pun dan kami akan terus berusaha memperbaiki dunia melalui karya kami.”
Namun, hingga kini, DJI belum mengambil langkah serupa terhadap Israel, meskipun ada bukti penggunaan drone mereka dalam serangan terhadap warga sipil di Gaza. Ketika ditanya Sanad apakah DJI berencana menghentikan penjualan ke Israel atau menerapkan pembatasan perangkat lunak seperti dalam kasus Ukraina, perusahaan tidak memberikan tanggapan.
Sumber: