“Orang-orang kehausan, tanaman kekeringan,” kata Hazeh Daraghme (63), dari wilayah Jiftlik di Lembah Yordan. “Mereka berupaya untuk memusnahkan kami secara perlahan,” ungkapnya. Sebagai seorang petani kurma, ia mengeluhkan tentang bagaimana Israel melakukan penjajahan terhadap Palestina, termasuk sumber daya air mereka. Israel tidak hanya membuat orang-orang Palestina kehausan, tetapi juga tanaman mereka. Tanpa jaringan pipa air Israel di berbagai desa-desa di Tepi Barat, penduduk Palestina hampir tidak mendapatkan cukup air untuk memandikan anak-anak dan mencuci pakaian, apalagi untuk memelihara ternak dan menanam buah-buahan.
“Otoritas Palestina (PA) bahkan tidak menyadari bahwa dulunya tempat ini adalah pusat pertanian. Masyarakat tidak mempunyai pilihan lain. Pada tahun 1967, ketika mereka (pemerintah Israel) mulai mengambil air, rasanya seperti ada penyakit bersarang di tubuh… perlahan-lahan tanah mengering,” demikian kesaksian lain dinyatakan Issa Nijoum sebagaimana dirangkum untuk Amnesty International.
Issa Nijoum berasal dari al-Auja, sebuah desa berpenduduk sekitar 5.200 orang yang terletak 10 kilometer di sebelah utara Ariha (Yerikho) di Lembah Yordan. Pada 1972, Otoritas Air Israel, Mekorot, mengubur sumur desa dan mendirikan stasiun pompa di dekat mata air Wadi Auja. Menurut warga, mata air tersebut dulunya menyediakan pasokan air yang melimpah ke desa dan lahan pertanian di sekitarnya melalui serangkaian saluran irigasi. Meski demikian, saluran irigasi tersebut kini kosong. Seorang penduduk desa menunjukkan kepada Amnesty International sebuah foto yang memperlihatkan betapa melimpahnya air dari mata air tersebut sebelum dikeringkan.

Kondisi ini menjadi ironis, karena Lembah Yordan merupakan lahan yang subur dan merupakan sumber air bagi Palestina. Terdapat tiga sumber air di wilayah Palestina, yaitu dua reservoir air tanah (Akuifer Gunung dan Akuifer Pesisir) dan satu reservoir air permukaan (Lembah Sungai Yordan). Akuifer Gunung membentang di Tepi Barat, mulai dari kaki Gunung Carmel di utara, melewati garis pantai “Israel”, hingga tepi barat laut Gurun Naqab (Negev) di selatan. Adapun Akuifer Pesisir membentang di sepanjang jalur pantai Laut Mediterania, dari kaki Gunung Carmel di utara hingga Rafah di selatan, termasuk Jalur Gaza. Meski demikian, di bawah penjajahan Israel, sumber tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh penduduk Palestina, melainkan dicuri dan dikuasai sepenuhnya sehingga Palestina mengalami krisis air dan kekeringan.
Sistematika Pencurian Air dan Lahan Palestina
Sudah menjadi tujuan dari zionisme untuk menguasai wilayah Palestina secara keseluruhan, termasuk sumber daya air, sebagaimana dinyatakan Chaim Weizmann selaku Presiden Organisasi Zionis Internasional pada Konferensi Perdamaian Paris tahun 1919, “Adalah hal penting yang vital untuk tidak hanya menguasai seluruh sumber air, tetapi juga (harus) mengontrol sumber air di tempat mereka.”
Secara sistematis, Zionis menjadikan Palestina mengalami kekeringan untuk dapat meruntuhkan kedaulatan. Pada 1958–1964 Israel menyelesaikan pembangunan proyek pengangkutan air yang mengalirkan air dari Laut Galilea ke daerah Naqab (Negev) dan mengalihkan 75 persen air dari Sungai Jordan ke Israel. Dengan jeli, Israel berupaya menghindari konflik dengan negara sekitar dengan memperbolehkan Suriah dan Yordania untuk turut menggunakan air tersebut dengan jumlah tertentu, namun tidak untuk penduduk Palestina.
Kemudian segera setelah menjajah Tepi Barat, Israel memberlakukan larangan dan pembatasan besar-besaran terhadap sektor air Palestina. Pada Agustus 1967, dua bulan setelah penjajahan dimulai, Komando Pusat GOC mengeluarkan perintah militer bertajuk “Perintah Mengenai Kekuasaan dalam Masalah Hukum Air”. Perintah tersebut mengalihkan seluruh kewenangan terkait air di Tepi Barat ke Israel, termasuk produksi, pengangkutan dan konsumsi. Dampak utamanya adalah warga Palestina harus meminta izin dari Israel untuk mengebor sumur baru, suatu mekanisme perizinan yang hampir tidak pernah mereka dapatkan.
Pada 1982, otoritas air Israel Mekorot mendapatkan penguasaan penuh atas air di seluruh wilayah Palestina. Mekorot menghancurkan banyak sumur-sumur penduduk Palestina, sementara di sisi lain menggali lebih dalam sumur-sumur Israel. Ini secara efektif telah menyebabkan keringnya sumur-sumur Palestina. Israel kemudian menghubungkan semua permukiman yang dibangun di Tepi Barat ke jaringan air Israel, kecuali Lembah Yordan. Air disuplai untuk warga Palestina di kota-kota di Tepi Barat dengan jumlah yang sangat terbatas.
Pasokan air yang terputus-putus, membuat sebagian besar warga Palestina di Tepi Barat memasang tangki di atap rumah mereka untuk menampung air. Namun, karena pasokan yang dialirkan sangatlah terbatas, tangki-tangki tersebut tidak dapat menyimpan cukup air untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Akibatnya, penduduk Palestina harus membeli lebih banyak air dari kontraktor swasta dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada yang mereka bayarkan kepada pemerintah setempat, atau membeli air kemasan untuk minum dan memasak.
Sementara itu, di Lembah Yordan yang jaringan airnya tidak Israel sediakan, otoritas air Israel Mekorot membangun sumur-sumur besar Israel di atas cekungan air panas setempat, mengurangi jumlah air yang mengalir dari mata air Palestina dan menyebabkan kerusakan pada ribuan dunum lahan pertanian yang diairi oleh mata air tersebut. Secara otomatis, ini merugikan penduduk Palestina yang tinggal sana yang mengandalkan hidup dari pertanian dan penggembalaan.
Tidak tersedianya air memaksa banyak di antara mereka untuk meninggalkan rumah seolah-olah atas kemauan sendiri. Israel juga tidak mengizinkan mereka melakukan pembangunan, baik untuk perumahan maupun fasilitas publik seperti jaringan air dan listrik. Warga Palestina yang tidak memiliki pilihan lain akhirnya membangun tanpa izin dan menyambung ke infrastruktur secara mandiri. Israel kemudian mengeluarkan perintah pembongkaran, menghancurkan jaringan air serta menyita tangki-tangki air warga Palestina. Israel memberikan berbagai alasan atas tindakan ini, seperti kurangnya izin atau menetapkan lokasi tersebut sebagai zona tembak meskipun tidak pernah digunakan selama beberapa dekade.
Menurut laporan yang disusun B’Tselem, sejak awal tahun 2012 hingga akhir Juni 2022, setidaknya Israel telah merusak sumber air di Tepi Barat dalam 234 insiden: 12 kali pembongkaran jaringan, 33 kali pembongkaran waduk, 112 insiden pembongkaran tangki, dan 77 insiden pembongkaran dan penyitaan tangki. Angka ini mencapai puncaknya pada tahun 2020 dan 2021, dengan masing-masing tercatat 56 dan 50 insiden. Selain itu, sejak tahun 2017 B’Tselem telah mendokumentasikan 32 insiden penggeledahan sumber air Palestina dengan dalih “tindakan ilegal” di Lembah Yordan, yang kemudian ditutup rapat atau dikeluarkan perintah pembongkaran.
Dalam jangka panjang, pencurian air milik Palestina, terutama di wilayah subur mengakibatkan jatuhnya sektor pertanian Palestina. Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, pada tahun 2003, sebanyak 45% penduduk Palestina bekerja di bidang pertanian, termasuk kehutanan dan perikanan. Namun pada 2017, persentasenya turun menjadi 14 persen. Khusus di Tepi Barat, data menunjukkan 30% penduduk bekerja di sektor pertanian pada 2013, sementara hanya 16 persen yang bertahan di sektor tersebut pada 2017. Penurunan dramatis tersebut, menurut para petani Palestina, disebabkan perintah penggusuran paksa Otoritas Israel, kekerasan pemukim, dan kontrol Israel atas sumber daya air mereka.
Kesenjangan Akses Air Israel vs Palestina
Dengan adanya penguasaan penuh Israel atas sumber daya air Palestina, Zionis Israel kini menjadi negara adidaya dalam hal sumber daya air. Menurut laporan yang dirilis B’Tselem pada April 2023, Israel telah menciptakan sistem pengelolaan air yang canggih dan efisien yang relatif tahan terhadap dampak kekeringan dan perubahan iklim, bahkan dapat memenuhi kebutuhan pasokan air hingga 2050.
Pasokan air Israel bergantung pada desalinasi air laut menggunakan fasilitas inovatif serta sistem pengumpulan dan pengangkutan yang luas dan efisien. Mereka juga memanfaatkan teknologi untuk mendaur ulang dan meningkatkan penggunaan sumber daya air alami Palestina yang mereka curi dan kuasai, termasuk memulihkan sumber air alami (termasuk menambah 100 juta meter kubik per tahun ke Laut Galilea), mendaur ulang 85% air limbah dan mengalihkannya ke irigasi, memperbaiki sumur, memulihkan aliran sungai dan berupaya meningkatkan penyimpanan air hujan. Hasilnya, menurut dokumen Otoritas Air Israel, semua penduduk Israel baik yang tinggal di ‘wilayah Israel’ maupun di Tepi Barat dapat menikmati ketersediaan air dalam jumlah yang hampir tidak terbatas untuk konsumsi domestik maupun publik mereka hingga 2050, termasuk untuk lahan pertanian bahkan di daerah gurun sekalipun.
Kini, setiap tahunnya Israel telah memproduksi lebih dari dua kali jumlah rata-rata air yang dapat diekstraksi darinya. Sepanjang tahun 2020, Israel memproduksi total 2,4 miliar meter kubik, dan diperkirakan akan menghasilkan 2,4 miliar meter kubik atau tumbuh lebih dari 50% dan mencapai 3,7 miliar meter kubik per tahun pada tahun 2050. Dari total jumlah air yang diproduksi di Israel pada 2020, hampir 50% ditujukan untuk pertanian, sekitar 43% untuk keperluan rumah tangga (lebih dari 80% di antaranya adalah air laut desalinasi), sementara sisanya dipasok ke Otoritas Palestina dan Yordania.
Jumlah air yang dialokasikan untuk keperluan rumah tangga Israel telah meningkat dua kali lipat sejak tahun 1993 – dari hanya 500 mcm per tahun menjadi lebih dari satu miliar meter kubik pada tahun 2020. Angka ini diperkirakan akan meningkat sebesar 70% pada tahun 2050 seiring dengan meningkatnya target Israel dalam membangun permukiman maupun memindahkan para pemukim Zionis ke wilayah Palestina.
Warga Palestina di Tepi Barat sama sekali tidak menikmati manfaat dari revolusi ini. Tiga juta penduduk Tepi Barat hanya memiliki akses terhadap 239 mcm air pada tahun 2020, sekitar sepersepuluh dari jumlah yang diproduksi Israel, dan tetap bergantung sepenuhnya pada sumber air alami dan air yang dibeli dari Israel. Rata-rata konsumsi air per kapita harian di antara warga Palestina di Tepi Barat pada 2020 hanya sebesar 82,4 liter, jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi air di Israel yang mencapai 247 liter pada tahun yang sama. Angka ini bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan di Eropa, yaitu 144 liter pada tahun 2018 (dibandingkan dengan 244 liter di Israel pada tahun tersebut).
Di daerah pedesaan di Tepi Barat, yang merupakan rumah bagi lebih dari satu juta warga Palestina, sekitar setengah dari jumlah ini digunakan untuk keperluan pertanian. Sekitar 70 komunitas Palestina di seluruh Tepi Barat, yang berjumlah lebih dari 100.000 orang, tidak memiliki air bersih. Konsumsi air mereka serupa dengan konsumsi di zona bencana, yaitu sekitar 26 liter per kapita per hari. Padahal, jumlah minimum yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia adalah 100 liter per kapita per hari. Secara keseluruhan di Tepi Barat, hanya 36% warga Palestina yang memiliki akses harian terhadap air mengalir sepanjang tahun. Sebanyak 47% lainnya menerima air mengalir kurang dari 10 hari setiap bulannya. Untuk memenuhi kriteria “ketersediaan air” yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sumber air harus terletak tidak lebih dari satu kilometer dari rumah, dan pengambilan air tidak boleh lebih dari setengah jam.
Adapun di Gaza, yang saat ini masih terus mengalami agresi genosida Israel tanpa henti, kelaparan dan kekurangan air sudah mencapai kondisi bencana kemanusiaan yang akut. Meskipun puluhan truk bantuan telah mencapai Gaza utara dalam beberapa hari terakhir, jumlah truk bantuan yang dikirimkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat masih sangat terbatas.
“Kami memberikan kepada setiap keluarga apa yang cukup untuk satu atau dua hari saja. Kami tidak punya pilihan lain,” kata seorang anggota komite darurat pada Senin (18/3), saat sebuah truk bantuan mencapai wilayah lingkungan Al-Tuffah, “setiap 25 orang berbagi satu kilogram tepung. Satu kilogram cukup untuk membuat 20 roti, itu berarti banyak orang yang tidak akan mendapatkan satu roti pun di Gaza,” tambahnya.
Sebelum agresi genosida 7 Oktober berlangsung, wilayah Gaza yang telah berada di bawah blokade 17 tahun Israel sudah mengalami krisis air yang mengkhawatirkan. Menurut laporan UNEP pada 2020, sebanyak 97% air di Gaza sudah tidak layak minum karena telah terkontaminasi agresi berulang sebelumnya yang belum pernah dipulihkan akibat blokade.

Kini, serangan udara Israel telah merusak kembali hampir keseluruhan sistem air limbah dan sumur air, mengurangi akses terhadap air bersih dan menyebabkan peningkatan kontaminasi air yang tersedia. Selama lebih dari 150 hari terakhir, penduduk Jalur Gaza tidak lagi memiliki sumber infrastruktur air minum yang higienis. Pada Januari 2024, WHO melaporkan bahwa kasus hepatitis A telah menyebar di Gaza, berdasarkan temuan bahwa terdapat beberapa ribu orang yang terjangkit penyakit kuning dan kondisi lainnya. Kasus diare pada anak-anak juga meningkat pesat. Semua ini terkait dengan sanitasi yang buruk, menurut UNICEF.

Agresi yang belum berakhir terus mendesak penduduk Palestina ke wilayah pertahanan terakhir mereka di Rafah. Sebanyak 1,5 juta penduduk Gaza memadati wilayah yang biasanya hanya dihuni 280.000 orang, sehingga kebutuhan sanitasi dan air bersih semakin memberatkan. Banyak perempuan Palestina terpaksa meminum pil penunda haid karena kondisi sanitasi yang tidak sehat. Sementara itu, anak-anak di Gaza sudah mulai meninggal karena kekurangan gizi, akibat dari rendahnya konsumsi makanan kaya nutrisi, infeksi berulang, serta kurangnya layanan kebersihan dan sanitasi karena sangat terbatasnya air bersih.

Hari Air Sedunia
Tanggal 22 Maret diperingati sebagai Hari Air Sedunia. Dalam laman websitenya, Satuan Tugas Air PBB menyebutkan bahwa tema Hari Air Sedunia tahun ini berfokus pada ‘Air untuk Perdamaian’. Badan Dunia itu mengakui bahwa terdapat hubungan kompleks antara air, konflik, dan kerja sama: “Air mempunyai kekuatan untuk menciptakan perdamaian atau memicu konflik. Seiring berjalannya waktu, lebih banyak kejadian kerja sama dibandingkan konflik terkait air. Namun, perubahan iklim dan pertumbuhan populasi yang pesat menyebabkan tekanan terhadap sumber daya menjadi semakin tidak menentu. Perubahan iklim memperparah siklus air, menyebabkan kejadian cuaca yang lebih ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Perubahan iklim memperparah siklus air, menyebabkan kejadian cuaca yang lebih ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Daerah yang kekurangan air menjadi lahan subur bagi berbagai bentuk konflik, mulai dari ketidakstabilan sosial hingga bentrokan etnis dan sengketa perbatasan. Ketika dampak perubahan iklim meningkat, terdapat kebutuhan mendesak, baik di dalam maupun antar negara, untuk bersatu dalam isu air.”
Namun di Palestina, bukan cuaca ekstrem melainkan penjajah Israel yang mencuri dan mengeringkan air mereka. Hal ini jelas-jelas merupakan pelanggaran internasional dan bukti kuat bagaimana Zionis berupaya mengambil sumber daya alam Palestina dan menghapuskan penduduknya, meskipun hingga kini dunia masih belum dapat menghentikannya. (IHHU)
Referensi
Israel’s policy of water deprivation in the West Bank B’Tselem report, April 2023, diakses dalam https://www.btselem.org/publications/202305_parched
https://www.amnesty.org/en/latest/campaigns/2017/11/the-occupation-of-water/
https://www.nytimes.com/2024/02/24/world/middleeast/gaza-sanitation-crisis.html
https://www.visualizingpalestine.org/visuals/gaza-water-undrinkable
https://www.aljazeera.com/features/2012/7/28/israel-restricts-jordan-valley-water-access
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini