Belum selesai membantai Gaza dan menyisakannya hampir tinggal debu, Israel pada saat bersamaan meningkatkan serangannya ke Tepi Barat. Seolah, ketidakmampuan Israel untuk mengalahkan para pejuang di Gaza, dibalaskan terhadap orang-orang Palestina di wilayah Tepi Barat. Tidak hanya dibunuh tanpa pandang bulu, penduduk sipil di Tepi Barat juga ditangkap dan disiksa hingga mencapai keadaan “kematian lebih baik dari kehidupan”.
Tepi Barat: Gaza Kedua di Palestina
Jika setiap harinya Israel membunuh penduduk sipil di Gaza dengan menjatuhkan bom-bom atau rudal dari udara, maka di Tepi Barat pembunuhan terhadap warga sipil dilakukan dengan mengerahkan pasukan militernya melalui jalur darat. Setiap harinya, jatuh korban jiwa dari penduduk sipil Palestina. Tepi Barat pada hari-hari ini telah menjadi “Gaza Kedua di Palestina.”
Penangkapan dan pembunuhan terhadap warga sipil Palestina di Tepi Barat telah berlangsung sejak lama, sehingga PBB menobatkan tahun 2022 sebagai tahun paling mematikan di Tepi Barat. Tetapi sepertinya itu saja belum cukup, sejak agresi militer 7 Oktober Israel ke Gaza, serangan ke wilayah Tepi Barat juga ikut diintensifkan.
Hanya berjarak 5 hari setelah peristiwa 7 Oktober atau tepatnya tanggal 12 Oktober, militer Israel bersama dengan pemukim Yahudi, menangkap seorang penduduk dan dua aktivis Palestina di wilayah Wadi al-Siq, Tepi Barat yang dijajah. Mereka menangkap, menelanjangi, menyiksa bahkan mengencingi ketiga penduduk sipil Palestina tersebut. “Apa yang kami lalui seperti di Guantanamo (penjara AS di Irak); kami kehilangan harga diri kami,” demikian pengakuan salah seorang korban.
Pada hari yang sama, penduduk wilayah selatan Qusra, mengalami pembantaian karena menghadiri pemakaman empat orang Palestina yang terbunuh di tangan tentara Israel pada hari sebelumnya. Pemakaman yang awalnya untuk empat orang menjadi pemakaman untuk enam orang. Abdul Adheem (50 tahun) menjadi saksi bagaimana saudaranya yang berusia 63 tahun dan keponakan laki-lakinya yang berusia 24 tahun menjadi korban pembunuhan dalam peristiwa tersebut. “Ini adalah pembantaian di desa kecil,” lirihnya. Qusra sendiri merupakan rumah bagi 7000 orang Palestina yang terletak di selatan Nablus, bagian utara Tepi Barat yang dijajah.
Tidak jauh dari Qusra, terdapat sebuah desa kecil bernama Madama yang menjadi rumah bagi 2.300 orang Palestina. Karena letaknya yang berdekatan dengan permukiman ilegal Yahudi, penduduk Madama sering mendapatkan serangan dan teror, baik dari tentara Israel maupun pemukim ilegal Yahudi. Pada 18 Oktober lalu, rumah keluarga Ziadeh diserang oleh pemukim Yahudi dan pada saat bersamaan tentara Israel juga menembakkan pelurunya. Saat peristiwa itu terjadi, setidaknya terdapat 30 orang anggota keluarga di dalam rumah dengan 15 di antaranya adalah anak-anak.
Qaryout, sebuah wilayah di utara Tepi Barat, juga tidak luput dari serangan pemukim. “Hidup kami bagaikan neraka,” seorang kakek bernama Sabri Boum yang berusia 52 tahun terpaksa harus menutup jendelanya dengan logam untuk menjaga anak-anaknya dari serangan pemukim Yahudi yang kerap melemparkan granat. “Aku seperti hidup di dalam penjara,” ujarnya.
Hanya dalam waktu sepuluh hari setelah 7 Oktober, terhitung 62 warga Palestina di Tepi Barat dibunuh dan puluhan lainnya terluka oleh serangan militer Israel. Sementara itu, dalam periode yang sama, setidaknya 98 keluarga atau 552 orang Palestina, termasuk 173 anak di bawah umur, terpaksa harus meninggalkan rumahnya.
Situasi tidak kunjung membaik di Tepi Barat. Sejak 7 Oktober 2023 hingga 15 Maret 2024, berdasarkan laporan dari OCHA, setidaknya 418 penduduk Palestina terbunuh di Tepi Barat. Intensitas pembunuhan semakin meningkat memasuki tahun 2024. Sejak awal 2024 hingga saat ini, jumlah orang yang terbunuh di Tepi Barat mencapai 109 orang (80 orang terbunuh dalam periode yang sama pada tahun 2023). Sementara itu, korban yang terluka sejak 7 Oktober di Tepi Barat mencapai 4.690 orang, termasuk diantaranya 724 anak.
Tidak hanya menghancurkan manusianya, sebagai bagian dari ‘hukuman kolektif’ atas peristiwa 7 Oktober, Israel juga menghancurkan perekonomian Palestina. Dalam enam pekan terakhir, Israel telah menghancurkan 3.000 pohon zaitun ketika musim panen tiba, yang menjadi jantung perekonomian bagi penduduk Palestina. Israel juga memutus izin bekerja bagi 160.000 orang Palestina yang bekerja di wilayah Palestina 48 (Israel) dan di wilayah permukiman Israel di Tepi Barat. Akibatnya, banyak keluarga yang mengalami pukulan ekonomi akibat kehilangan sumber mata pencaharian.
Pembatasan ketat hingga pemblokiran di sejumlah wilayah Palestina semakin meningkat setelah 7 Oktober. Di Huwara, Israel menutup jalur utama dan jalur-jalur lainnya yang mengakibatkan sulitnya penduduk Palestina untuk mencapai ke wilayah lain. Penduduk Huwara bahkan tidak dapat mengunjungi keluarga mereka yang tinggal di sekitar Huwara. Israel juga melakukan penangkapan hingga pembunuhan di wilayah tersebut, diikuti dengan perusakan sejumlah jalan-jalan utama dengan alat-alat berat.
Tidak jauh berbeda, wilayah Hebron dan Jenin pun tengah mengalami kesulitan yang sama. Keadaan ini merupakan kesengajaan yang diciptakan agar penduduk Palestina di Tepi Barat berada dalam lingkaran konstan ketakutan dan ketidakpastian, sementara pada saat yang sama mereka melihat apa yang Israel lakukan terhadap penduduk Gaza, sehingga menimbulkan kecemasan bahwa mereka akan menjadi ‘korban’ selanjutnya.
Upaya Israel untuk menghilangkan etnis Palestina di wilayah Tepi Barat juga semakin agresif melalui pengusiran dan penghancuran rumah warga Palestina. Sejak 7 Oktober 2023 hingga 15 Maret 2024, terhitung sebanyak 300 rumah telah dihancurkan di wilayah tersebut, termasuk kota Al-Quds (Yerusalem). Hal ini mengakibatkan terusirnya 1.680 orang, dengan mayoritas (903 orang) berasal dari pengungsian di Jenin dan Tulkarm.
Tepi Barat yang ‘Terkepung’ Layaknya Gaza
Sejak 2015, Israel melakukan blokade darat, laut, dan udara terhadap penduduk di Gaza, menjadikan Gaza layaknya penjara terbuka terbesar di dunia. Hal yang serupa, meski tak sama, juga dialami oleh penduduk di Tepi Barat jauh sebelum Jalur Gaza diblokade. Akibat perjanjian Oslo pada tahun 1990-an, penduduk di Tepi Barat ‘terkepung’ oleh permukiman ilegal Yahudi. Kondisi ini diperburuk dengan dibangunnya tembok apartheid pada 2002 yang membatasi pergerakan penduduk Palestina, baik untuk sekadar sekolah, beribadah, maupun bekerja.
Mimpi buruk bagi penduduk Tepi Barat dimulai ketika terjadinya perjanjian Oslo pada tahun 1990 yang digadang-gadang akan memberikan perdamaian pada bangsa Palestina. Namun, alih-alih perdamaian, justru perjanjian inilah yang menjadi landasan bagi berlangsungnya penindasan secara sistematis dan ‘legal’ terhadap penduduk Tepi Barat hingga saat ini.
Melalui perjanjian tersebut, Israel mendapatkan ‘hak legal’ untuk menjajah Tepi Barat dengan adanya pembatasan untuk berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain. Kekuasaan Israel semakin bertambah dengan ditandatanganinya perjanjian Oslo II yang menyebabkan pembagian wilayah Tepi Barat menjadi area A, B, dan C. Hal ini menjadikan bertambah luasnya pemukiman ilegal Yahudi, dan menjadi titik landasan dibangunnya tembok apartheid pada kemudian hari. Wilayah Tepi Barat pada akhirnya terfragmentasi dari Gaza dan Al-Quds (Yerusalem).
Selain ‘terpenjara’, perjanjian ini juga mengakibatkan Palestina harus ‘membiayai’ penjajahan yang dilakukan Israel. Dov Weisglass, mantan penasihat Ariel Sharon membuat pernyataan pada 2012, “Hari ini, sebagai hasil dari Perjanjian Oslo, Otoritas Palestina, bukan Israel, yang bertanggung jawab untuk masalah keseharian 3,5 juta penduduk Palestina di Tepi Barat dan Gaza… Seorang penduduk Palestina pernah mengatakan kepadaku bahwa Perjanjian Oslo merupakan ‘sebuah rencana Israel yang brilian.’ Bagaimana bisa? Aku bertanya padanya. ‘Dia menciptakan satu-satunya penjara di dunia yang membuat tahanannya harus memenuhi kebutuhannya sendiri, tanpa adanya partisipasi dari manajemen. Israel memiliki otoritas untuk menguasai teritori tanpa adanya kewajiban. Situasi ini merupakan hasil langsung dari Perjanjian Oslo,”
Perjanjian yang dikatakan akan mendatangkan perdamaian bagi Palestina ternyata hanya ilusi akibat dari ketidaksesimbangan status dan kekuasaan yang dimiliki antara Palestina dan Israel. Tak hanya itu, Israel juga menjalankan penjajahan secara ‘murah’, sejak Otoritas Palestina dan donor internasional menjadi aktor penting yang berkontribusi terhadap penduduk Palestina. Perjanjian ini pulalah yang telah ‘berkontribusi’ bagi Israel untuk masuk ke ranah ekonomi global secara penuh, setelah sebelumnya mengalami pemboikotan oleh dunia Arab. Edward Said, seorang akademisi Palestina terkemuka, menyatakan bahwa Perjanjian Oslo merupakan “Versailles bagi Palestina.”
Setelah perjanjian Oslo, Israel secara masif mendirikan permukiman Yahudi ilegal di berbagai wilayah Tepi Barat. Terhitung hingga saat ini, terdapat 176 permukiman Yahudi dengan 726.427 orang yang tinggal di dalamnya. Israel juga telah membangun 186 pos terdepan. Semuanya berstatus ilegal di hadapan hukum internasional.
Bukan tanpa sebab hal ini dilakukan oleh Israel. Masifnya permukiman ilegal diikuti dengan peningkatan tingkat kekerasan oleh para pemukim terhadap penduduk Palestina yang tinggal di wilayah Tepi Barat. Israel dengan sengaja mendirikan wilayah permukiman Yahudi di tengah-tengah perkampungan Palestina, tidak hanya untuk membatasi mereka tetapi juga mengintensifkan serangan-serangan dari pemukim ilegal terhadap penduduk Palestina. Serangan-serangan tersebut bahkan dilakukan di bawah pengawalan militer Israel.
Berdasarkan laporan terbaru dari UN OCHA, sepanjang 7 Oktober 2023 sampai 15 Maret 2024, para pemukim Israel telah melakukan serangan sebanyak 646 kali. Sebanyak 59 kejadian telah menyebabkan timbulnya korban, 513 kejadian menyebabkan rusaknya properti penduduk Palestina, sementara 74 serangan lainnya telah menyebabkan timbulnya korban dan juga kerusakan properti.
Menurut Komite Perlawanan Tembok dan Permukiman (Colonization and Wall Resistance), pada Februari 2024, sebanyak 1.195 serangan dilakukan oleh pasukan dan pemukim Israel. Dari jumlah tersebut, 1.066 serangan dilakukan oleh militer Israel dalam bentuk penyerbuan ke kota-kota dan wilayah premukiman Palestina dengan melakukan perusakan terhadap properti penduduk sipil Palestina. Jenin telah mengalami 212 serangan, sementara Hebron 174 serangan, dan Al-Quds (Yerusalem) 16 kali.
B’Tselem, salah satu NGO terkemuka di Israel yang mendukung Palestina, menyebut bahwa apa yang dilakukan oleh para pemukim ilegal ini merupakan kekerasan ‘negara’, sebab kondisi ini ikut diinisiasi oleh para pejabat tinggi Israel yang kerap mengeluarkan statemen-statemen yang menyerukan untuk melakukan serangan-serangan baik secara langsung maupun tidak terhadap penduduk Palestina.
Selain itu, Israel juga secara sistematis menciptakan lingkungan yang ‘kondusif’ bagi ruang gerak pemukim ilegal dalam melancarkan serangan mereka dengan memperbanyak permukiman ilegal. Pasca 7 Oktober 2023, Israel mengabulkan permohonan pembangunan 3.500 rumah di tiga permukiman ilegal di wilayah Tepi Barat yang dijajah, meskipun tindakannya tersebut melanggar aturan hukum internasional. Satu tahun belakangan, Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, menyatakan bahwa sebanyak 18.515 unit rumah di permukiman Tepi Barat telah disetujui untuk didirikan.
Jika hal ini terus dibiarkan, kondisi di Tepi Barat akan menjadi Gaza kedua. Jika di Gaza, penduduknya dipaksa untuk meninggalkan rumah karena dihujani bom-bom. Maka di Tepi Barat, penduduknya dipaksa untuk pergi karena kekerasan terus-menerus yang dilancarkan para pemukim ilegal Yahudi atau bahkan militer Israel. Dunia sudah cukup bersalah dengan mengabaikan Gaza. Maka jangan biarkan ada Gaza kedua di Tepi Barat, di Palestina, atau di belahan bumi manapun lainnya.
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
Referensi:
https://www.972mag.com/wadi-siq-settler-army-torture-expulsion-palestinians/
https://www.cwrc.ps/page-1487-en.html
https://www.aljazeera.com/news/2023/3/1/israel-arrests-settlers-after-anti-palestinian-pogrom
https://adararelief.com/ekspansi-permukiman-ilegal-melonjak-di-tepi-barat-2/
https://carnegie-mec.org/diwan/90546
https://www.hrw.org/news/2023/01/23/west-bank-new-entry-rules-further-isolate-palestinians
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini