Israel telah mengidentifikasi Kota Rafah di Gaza selatan sebagai target serangan militer, padahal Rafah merupakan kota terakhir bagi penduduk Gaza untuk berlindung dari pengeboman dan serangan artileri Israel. Sejak awal agresi pada Oktober 2023, Israel telah memerintahkan penduduk Gaza di bagian utara dan tengah untuk mengungsi ke selatan. Namun, perpindahan itu nyatanya hanya untuk memperpanjang nafas sementara waktu. Setelah Jalur Gaza bagian utara dan tengah selesai diratakan, militer Israel memperluas daerah operasinya ke selatan Gaza.
Jalur Gaza memiliki populasi sekitar 2,3 juta orang yang tinggal di lima kegubernuran, yaitu Gaza Utara, Kota Gaza, Deir al-Balah, Khan Younis, dan Rafah. Luas Gaza secara keseluruhan adalah sekitar 365 kilometer persegi, dengan panjang 41 km (25 mil). Dengan luas wilayah yang sesempit itu, hanya dibutuhkan waktu kurang dari satu jam untuk berkendara dari Beit Hanoun di ujung utara hingga ke Rafah di ujung selatan Gaza.
Agresi genosida Israel yang telah terjadi sepanjang 128 hari, terus mendesak penduduk Gaza untuk hidup berjejalan di Rafah, yang merupakan perbatasan antara Jalur Gaza dan Mesir. Kota ini biasanya dihuni oleh 280.000 orang. Namun, agresi terakhir Israel menyebabkan populasinya membengkak menjadi lebih dari 1,4 juta – sekitar tiga perempat dari populasi Gaza – dengan 600.000 di antaranya adalah anak-anak. Tenda-tenda pengungsian tampak memenuhi Rafah, kota dengan luas 64 kilometer persegi. Rafah pun menjelma kota tenda, tempat penduduk Gaza menambatkan jangkar terakhirnya untuk berlabuh, sebab di sana, tidak ada lagi tempat untuk berlayar.
Tujuan Israel sejak awal: mengusir penduduk Gaza dari seluruh wilayahnya
Pada Rabu (7/2), PM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa militernya telah dipersiapkan untuk melancarkan operasi ke Rafah, “Kami sedang menuju kemenangan mutlak,” katanya. Selama 128 hari agresi genosida di Gaza, Israel telah membunuh 28.176 warga Palestina, melukai lebih dari 67.784 orang, dan meratakan sebagian besar wilayah di utara Gaza hingga menyerupai gurun yang hancur. Kehancuran serupa juga terlihat di Gaza tengah dan kota Khan Younis di selatan setelah selama berminggu-minggu menjadi titik fokus pengeboman dan serangan artileri Israel.
Kini, pengeboman Israel terhadap Rafah semakin meningkat. Pada Jumat (9/2), serangan Israel meratakan dua bangunan, membunuh sedikitnya delapan orang, termasuk tiga anak-anak dan seorang wanita. Serangan tersebut semakin menggila pada hari ini. Pada Senin (12/2) dini hari militer Israel telah mengonfirmasi bahwa mereka melakukan serangkaian serangan di daerah Shaboura, Rafah. Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan bahwa sedikitnya 50 orang terbunuh dalam serangan tersebut, dan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah.
Sementara itu, Netanyahu menyatakan bahwa ia juga telah mengarahkan militernya untuk merencanakan invasi darat ke Rafah. Israel sama sekali tidak peduli bahwa merekalah yang memerintahkan penduduk Gaza untuk mengungsi ke Rafah dan tidak mempertimbangkan dampak kehancuran potensial terhadap sekitar 1,4 juta orang Palestina di Rafah, yang sebelumnya dinyatakan sebagai zona aman.
Deklarasi perang di Rafah oleh Israel ini menjadikan penduduk Gaza kehilangan tempat untuk berlari. Dengan letak Rafah yang berbatasan dengan Laut Mediterania di barat, “wilayah Israel” (Palestina yang dijajah) di timur, pasukan Israel yang masuk dari utara, dan Mesir di selatan, lokasi Rafah otomatis terkepung. Sejak awal, Mesir sudah menegaskan bahwa pihaknya tidak akan membuka perbatasan untuk arus pengungsian, sebab dikhawatirkan Israel akan memanfaatkan momentum ini untuk mengeluarkan penduduk Gaza dari wilayah Palestina dan melarang mereka untuk kembali, sebagaimana yang terjadi pada Nakba 1948.
Rencana Israel untuk mengusir penduduk Gaza dari tanah air mereka memang sudah ditegaskan sejak awal perang, sebagaimana rekomendasi Kementerian Intelijen Israel mengenai pemindahan paksa dan permanen 2, 3 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza ke Semenanjung Sinai, Mesir. Dalam dokumen setebal 10 halaman, bertanggal 13 Oktober 2023, tertuang pilihan mengenai masa depan warga Palestina di Jalur Gaza dalam kerangka agresi Oktober 2023.
Dokumen tersebut merekomendasikan agar Israel bertindak untuk “mengevakuasi penduduk sipil (Gaza) ke Sinai selama perang; mendirikan kota-kota tenda dan kemudian membentuk kota-kota yang lebih permanen di Sinai utara yang akan menampung penduduk yang diusir; menciptakan zona steril sejauh beberapa kilometer di Mesir, dan [mencegah] kembalinya penduduk ke tempat tinggal di dekat perbatasan dengan Israel.” Pada saat yang sama, pemerintah di seluruh dunia, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, harus dimobilisasi untuk menyetujui dan melaksanakan langkah tersebut.
Pada akhirnya, serbuan Israel ke Rafah semakin memperkecil kemungkinan penduduk Gaza untuk bertahan. Mereka bisa saja wafat karena kelaparan sebab keberadaan Israel di Rafah sangat mungkin akan menutup sama sekali bantuan kemanusiaan melalui Penyeberangan Rafah; mereka bisa saja wafat karena luka yang tidak bisa diobati akibat persediaan obat-obatan yang habis; mereka bisa saja wafat karena penyakit-penyakit yang tidak berhenti berputar karena padatnya pengungsian atau karena kurangnya kebersihan; mereka bisa saja wafat karena pengeboman atau serangan lainnya. Ada banyak jalan menuju kematian yang dipertontonkan di hadapan mata dunia, sementara dunia tidak mampu menghentikannya sedikit pun.
Pengungsian panjang yang melahirkan kepasrahan
“Kami kelelahan. Aku serius, kami kelelahan. Israel dapat melakukan apa pun yang diinginkannya. Aku akan tetap duduk di tendaku dan akan mati di sini,” kata Jihan al-Hawajri, yang beberapa kali melarikan diri dari bagian utara Jalur Gaza dan sekarang tinggal bersama 30 kerabatnya di sebuah tenda di Rafah.
Kelelahan itu bukan hanya dirasakan oleh Jihan, melainkan oleh seluruh penduduk Gaza. Di Koridor Philadelphia, hamparan tanah sepanjang 14 kilometer di perbatasan antara Jalur Gaza dan Mesir, Saleh Razaina (42 tahun), seorang ayah dari empat anak, berlindung di tenda setelah ia mengungsi untuk keenam kalinya sejak awal serangan Israel pada 7 Oktober.
Ia mengatakan bahwa fisik dan mental keluarganya telah terkuras saat mencoba mencari tempat tinggal yang aman. “Kami datang dari Jabalia (di Jalur Gaza utara) dan mencari perlindungan di berbagai tempat dari utara ke selatan; di Kota Gaza, Deir al-Balah, Khan Younis, dan sekarang kami berada di Rafah. Beberapa hari setelah kami tiba, Israel mulai mengancam akan menyerang Rafah,” katanya kepada Middle East Eye.
Rafah adalah jantung bantuan kemanusiaan di Gaza, kota tempat truk-truk dari Mesir atau dari persimpangan terdekat masuk untuk mendistribusikan bantuan ke seluruh wilayah Jalur Gaza. Philippe Lazzarini, kepala UNRWA, memperingatkan bahwa serangan terhadap Rafah akan menciptakan bencana kemanusiaan tak berkesudahan. Tindakan militer yang diambil terhadap Rafah dan daerah sekitarnya juga dapat menyebabkan runtuhnya sistem bantuan kemanusiaan yang selama ini berjuang untuk menjaga agar penduduk Gaza tetap hidup.
Di Rafah, di ujung selatan Gaza, di ujung batas antara hidup dan mati, orang-orang yang selama ini berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan bertaruh nyawa, seolah mencapai titik kepasrahannya. “Kami sudah terkepung dan setiap menit harus menanggung rasa takut. Hati kami tidak terbuat dari besi atau batu. Kami lebih memilih kematian daripada harus mengungsi lagi,” ungkap Haitsam Jerjawi (37 tahun) yang mengungsi ke Rafah bersama keluarganya.
“Ke mana kami akan pergi? Tempat apa yang akan kami capai? Kami berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain bersama anak-anak kami yang ketakutan,” ujarnya. “Kami akan tetap di sini sampai perang ini berakhir, atau mereka akan membunuh kami, dan kami akhirnya akan beristirahat dengan damai.” (LMS)
Referensi
https://www.972mag.com/intelligence-ministry-gaza-population-transfer/
https://abcnews.go.com/International/netanyahu-this-week-interview/story?id=107130717
https://www.aljazeera.com/news/2022/8/7/the-gaza-strip-explained-in-maps
https://apnews.com/rafah-gaza-population-surge-photos
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini