Panjang dan berdengung, suara terompet bergema menandai peringatan Yom Kippur, sebuah hari suci bagi Yahudi yang pada tahun 2024 ini bertepatan dengan Jumat, 11 Oktober malam. Yom Kippur dianggap sebagai hari paling suci menurut kepercayaan Yahudi, karena pada malam tersebut mereka akan mengakhiri 10 hari pertobatan yang telah dimulai sejak malam Tahun Baru Yahudi (Rosh Hashanah).
Berlawanan dengan makna tersebut, Israel tidak sedikitpun merasa berdosa atau menyesali perbuatan kejinya kepada bangsa Palestina. Dosa penjajahan selama 76 tahun yang masih terus berlangsung, termasuk kejahatan genosida atas rakyat Gaza yang secara terang-terangan masih dikampanyekan selama lebih dari satu tahun. Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 42.000 korban jiwa telah syahid akibat genosida Israel di Gaza, lebih dari 100.000 orang terluka tanpa ada fasilitas kesehatan yang aman dan memadai untuk memulihkan mereka.
Sementara itu, para penyintas genosida harus berjuang dari serangan dan kepungan, berpindah dari satu pengungsian ke pengungsian lain, dan bertahan dari kelaparan. Adapun di Tepi Barat, Israel bukan hanya menyerang penduduk Palestina melalui berbagai operasi militer yang menelan banyak korban jiwa dan penangkapan, tetapi juga melalui perayaan hari suci yang diselenggarakan secara provokatif dan terang-terangan ke Masjid Al-Aqsa.
Oktober 2024 menandai hampir sebulan penuh hari suci bagi umat Yahudi, dimulai pada Kamis 3 Oktober malam yang bertepatan dengan Rosh Hashanah (Tahun Baru Yahudi). Perayaan tersebut diikuti oleh sepuluh hari suci yang disebut sebagai Hari Pertobatan, dan mencapai puncaknya ketika perayaan Yom Kippur pada 11 Oktober malam. Umat Yahudi kemudian merayakan Hari Raya Kemah Suci (Sukkot) dari tanggal 17 hingga 23 Oktober 2024.

Pada Jumat (4/10) yang merupakan hari kedua tahun baru Yahudi, dua orang pemukim menerobos ke Masjid Al-Aqsa dan melakukan ritual Talmud. Saksi mata melaporkan bahwa mereka mendorong seorang penjaga yang ada di Gerbang Qattanin, dengan cepat menuju Aula Al-Marwani, berbaring di tanah, dan meniup terompet sebelum polisi Israel turun tangan dan mengeluarkan mereka dari area tersebut.
Masuknya para pemukim secara paksa melalui Gerbang Qattanin, bersamaan dengan ditiupnya terompet yahudi, dipandang sebagai preseden berbahaya di Al-Aqsa. Menurut Ziad Ibhais, seorang peneliti Al-Quds, insiden tersebut akan berdampak panjang, terutama karena ini merupakan pembaruan praktis dari tuntutan yang diajukan oleh organisasi Kuil (Temple Mount) dalam surat mereka kepada Menteri Keamanan Nasional Ben Gvir pada Januari 2024. Organisasi ekstremis-Yahudi itu menuntut agar Al-Aqsa dibuka bagi pemukim, setiap hari dalam sepekan–meskipun pada saat ini Al-Aqsa dibuka bagi pemukim, kecuali pada Jumat dan Sabtu.
Ibhais mencatat bahwa pada hari itu, polisi penjajah telah mencegah ribuan jamaah memasuki Masjid Al-Aqsa untuk melaksanakan salat Jumat. Oleh karena itu, keberhasilan dua pemukim tersebut dalam memasuki kompleks masjid suci dengan klaim bahwa mereka “mendorong polisi” untuk dapat masuk adalah salah dan menggelikan. Dengan menggunakan pakaian khas keagamaan yahudi, sudah seharusnya polisi Israel dapat mengenali para pemukim di gang-gang Kota Tua Al-Quds, dan mencegah mereka untuk masuk ke Masjid Al-Aqsa.
Singkatnya, Ibhais menyimpulkan bahwa penyerbuan ini, dengan segala maknanya, telah terjadi di bawah sponsor polisi Israel. Bahkan, penangkapan mereka setelah mereka mencapai Aula Al-Marwani justru merupakan bentuk pengamanan dan jalan keluar yang diberikan oleh polisi penjajah.

(Sumber: Palinfo)
Kekhawatiran tersebut terbukti pada hari-hari selanjutnya, saat skala penyerbuan pemukim ke Masjid Al-Aqsa kian bertambah, bahkan mencapai rekor dalam sejarah perayaan Sukkot. Hanya selama tiga hari pertama, jumlah pemukim Yahudi yang menerobos ke dalam Al-Aqsa mencapai 4.668 orang. Dengan pengawalan militer di Masjid Al-Aqsa dan Kota Tua Al-Quds (Yerusalem), mereka membawa shofar (terompet) ke Masjid Al-Aqsa dan meniupnya dua kali, sehingga total peniupan shofar selama musim liburan ini menjadi 14 kali, menurut pengakuan kelompok-kelompok ekstrem tersebut. Mereka juga membawa “buah-buah dari Kemah Suci” sebagai kurban ke Al-Aqsa dan menyerukan agar dilakukan ibadah khusus pada Hari Raya Sukkot pada pukul 9.30 pagi di Al-Aqsa.
Hingga hari ketujuh, penyerbuan ini terus berlangsung di bawah pengawalan polisi. Sejumlah besar pemukim juga berunjuk rasa di area tembok barat Masjid Al-Aqsa sambil membawa bendera Israel dan melakukan berbagai doa Yahudi. Selama satu pekan perayaan Sukkot, polisi Israel telah menutup banyak jalan dan lingkungan di Al-Quds, mengintensifkan kehadiran pasukannya di dalam dan sekitar kota, mengusir sejumlah warga Palestina dari Masjid Al-Aqsa, dan memanggil yang lain untuk diinterogasi.
Secara total selama bulan Oktober, sebanyak 10.149 pemukim, bersama dengan ribuan orang berkedok turis, berpartisipasi dalam serangan ke Masjid Al-Aqsa selama 23 hari. Sebanyak 5.980 pemukim berpartisipasi dalam serangan selama Sukkot, menandai jumlah serangan tertinggi dalam satu bulan sejak dimulainya agresi di Gaza pada Oktober 2023.
Pertempuran Eksistensi
Masjid Al-Aqsa memiliki sejarah panjang bagi umat Islam, Yahudi, maupun Kristen, dan telah menjadi sumber pertempuran eksistensi selama ratusan tahun, bahkan hingga kini. Bagi umat Islam, Al-Aqsa merupakan masjid ketiga yang paling penting, tempat peristiwa isra’ mi’raj, dan merupakan masjid kedua yang pertama kali dibangun di muka bumi. Sementara bagi umat Yahudi, Masjid Al-Aqsa merupakan tempat paling suci di tanah Baitul Maqdis yang mereka percayai sebagai tanah yang dijanjikan. Berbagai situs di Masjid Al-Aqsa juga dianggap suci bagi mereka; antara lain Tembok Buraq yang mereka sebut sebagai Tembok Barat, mereka anggap sebagai reruntuhan Kuil Suci Herodes (20 SM), sehingga mereka datang untuk berdoa dan meratapi kehancurannya. Selain itu, mereka juga mempercayai bahwa Haikal (kuil) Sulaiman berada di bawah Masjid Kubba As-Sakhrah.
Dalam sejarah modern, pertempuran eksistensi pertama di Masjid Al-Aqsa dimulai setelah penandatangan Deklarasi Balfour, yang secara sepihak menyatakan Palestina sebagai rumah bagi orang Yahudi dengan mengabaikan eksistensi populasi penduduk asli Palestina. Menurut Zionis, ada kebutuhan untuk mendorong lebih banyak migrasi Yahudi ke Palestina demi mendirikan tanah air bagi mereka. Saat itu, sulit bagi kaum Zionis untuk membujuk orang-orang Yahudi untuk bermigrasi tanpa dasar hukum, sehingga Sir Herbert Samuel, seorang Yahudi Inggris dan Komisaris Tinggi pertama Palestina, menyiapkan dekrit imigrasi untuk menetapkan persyaratan imigrasi ke Palestina yang hingga kini disebut Aliyah. Strategi ini didukung oleh Winston Churchill melalui Buku Putih, yang kemudian menghasilkan pertumbuhan populasi Yahudi yang signifikan di Palestina.

Dengan semakin besarnya dukungan terhadap gerakan Zionis dari otoritas Mandat Inggris di Palestina, warga Palestina khawatir Zionis akan mengambil alih tempat-tempat suci di kota tersebut, sehingga banyak menimbulkan pertentangan. Salah satu momen terpenting adalah Revolusi Buraq yang terjadi pada 15 Agustus 1929, saat sekelompok Zionis yang dipimpin oleh anggota Betar berdemonstrasi di Tembok Buraq kemudian mengibarkan bendera Zionis dan menyanyikan lagu kebangsaan Zionis untuk memprovokasi warga Palestina di kota itu. Bentrokan pun pecah dan menyebabkan eskalasi kekerasan selama sepekan, mengakibatkan 113 orang Yahudi dan 116 orang Palestina tewas, sementara lebih dari 200 orang terluka.
Kemudian, pemberontakan Palestina pada 1936–1939 menjadi pemberontakan berdarah pertama yang dilakukan oleh warga Palestina dalam kurun waktu lebih dari satu abad. Ribuan warga Palestina dari semua golongan dimobilisasi, dan seruan nasionalisme diembuskan oleh media-media Palestina, lembaga pendidikan, dan sastrawan. Inggris, yang terkejut dengan besarnya dan intensitas pemberontakan, mengirim lebih dari 20.000 tentara ke Palestina, dan pada 1939, Zionis telah mempersenjatai lebih dari 15.000 orang Yahudi dengan tujuan utama gerakan mereka sendiri.
Peristiwa ini kemudian berkembang dengan diakhirinya mandat Inggris di Palestina, yang berdampak besar pada wilayah tersebut, khususnya Al-Quds (Yerusalem). PBB memutuskan untuk membagi wilayah Al-Quds pada tahun 1947 melalui Resolusi 181, sementara pengelolaan Al-Quds diserahkan kepada Dewan Perwalian atas nama PBB, yang memutuskan untuk menjadikannya kota internasional.
Meskipun ada keputusan ini, Nakba 1948 menjadi langkah pertama Israel menuju legitimasi pendudukannya atas Kota Al-Quds. Sementara bagian barat Al-Quds menjadi bagian dari Israel yang baru berdiri, bagian timurnya–termasuk Kota Tua dan Masjid Al-Aqsa–berada di bawah kekuasaan Yordania. Dengan demikian, pada saat itu Israel tidak memiliki akses ke tempat-tempat suci di kota bersejarah tersebut. Israel mulai memperoleh akses ini saat peristiwa Naksa 1967, ketika Israel menduduki Jalur Gaza, Semenanjung Sinai dan Dataran Tinggi Golan, serta Al-Quds (Yerusalem), termasuk Kota Tua dan Al-Aqsa.
Pengendalian Israel atas Al-Quds bagian timur, termasuk Kota Tua, adalah ilegal karena melanggar beberapa prinsip hukum internasional yang menggarisbawahi bahwa kekuatan pendudukan tidak memiliki kedaulatan di wilayah yang didudukinya. Namun, hingga kini tidak ada pihak yang dapat menghentikan langkah ilegal Israel tersebut.

Sejak saat itu dan hingga kini, penjajah Israel telah menjadi otoritas yang secara faktual menguasai Masjid Al-Aqsa dan Kota Al-Quds. Meskipun ada perjanjian pada 1967 bahwa Wakaf Yordania merupakan ‘penjaga’ Masjid Al-Aqsa, namun warga Palestina di Al-Quds telah lama berjuang menentang upaya Israel untuk mengubah status quo di wilayah itu. Secara bertahap, Otoritas Penjajah Israel juga menambah peraturan demi peraturan yang memudahkan serangan pemukim kolonial dan ekstrimis Yahudi ke Masjid Al-Aqsa, sekaligus memberikan batasan ketat bagi penduduk Palestina.
Dalam sejarahnya, salah satu serangan paling serius terhadap masjid Al-Aqsa terjadi pada Agustus 1969, ketika seorang Zionis Kristen Denis Michael membakar Masjid Al-Aqsa. Peristiwa ini menyebabkan kerusakan pada beberapa bagian bangunan dari Masjid Al-Qibli serta menghancurkan mimbar Nuruddin Zanki. Rohan mengklaim bahwa tindakannya merupakan upaya untuk mempercepat kedatangan Yesus Kristus untuk kedua kalinya. Ia menyatakan bahwa hal tersebut hanya bisa tercapai apabila Zionis Israel bisa membangun kuil di wilayah Masjid Al-Aqsa yang diklaim sebagai tempat awal berdirinya Kuil Solomon.
Pada 1980, untuk memperkuat eksistensi atas Masjid Al-Aqsa dan Al-Quds, Israel mengesahkan undang-undang yang menyatakan Al-Quds sebagai ibu kota Israel yang “lengkap dan bersatu”, meskipun melanggar hukum internasional.
Pada September 2000, masuknya Ariel Sharon ke Masjid Al-Aqsa dengan pengawalan ketat polisi dan militer Israel memicu lahirnya Intifadah kedua di Tepi Barat dan Gaza. Sejak momen ini pula, untuk pertama kalinya warga Palestina usia 18-50 tahun dilarang memasuki Masjid Al-Aqsa, aturan yang masih terus berlaku hingga saat ini. Saat ini, hampir seluruh penduduk Palestina, yakni 95% dari populasi mendapatkan larangan untuk masuk dan beribadah ke Masjid Al-Aqsa karena hanya laki-laki di atas usia 55 tahun atau wanita di atas usia 50 tahun yang diizinkan memasuki masjid tersebut, setelah mendapatkan izin dari otoritas penjajah.
“Semua jamaah harus memiliki izin masuk yang sah, sebuah dokumen yang tidak diketahui oleh banyak warga Palestina bahwa mereka membutuhkannya. Kami telah melihat orang-orang ditolak di pos pemeriksaan karena alasan ini, dan tentara Israel mengepung daerah sekitar,” kata seorang penduduk Al-Quds kepada Al-Jazeera. “Ada pembatasan tambahan bagi warga Palestina untuk meninggalkan Al-Aqsa. Mereka harus menyerahkan dokumen mereka di pos pemeriksaan saat meninggalkan Al-Quds. Jika mengambil swafoto, mereka harus memindahkannya ke aplikasi yang dikelola oleh pemerintah Israel.”
Kini, sejak Israel mengampanyekan genosida di Jalur Gaza dan mengintensifkan operasi militer di Tepi Barat, para ulama dan pakar Al-Quds telah banyak menyampaikan seruan untuk menjaga Masjid Al-Aqsa yang diperkirakan akan menghadapi serangan yang meningkat. Apalagi, perayaan hari suci Yahudi di Oktober 2024 ini bertepatan dengan peringatan satu tahun Thufanul Aqsa. Banyak pihak sejak awal telah memperkirakan bahwa peringatan tersebut akan dijadikan momen bagi kelompok ekstremis Israel untuk menyerbu Al-Aqsa secara lebih intensif dan memperkuat eksistensi mereka di sana.
Selain itu, Otoritas Penjajah Israel juga semakin memperbanyak aturan dan fasilitas yang memudahkan serbuan Yahudi tersebut. Baru-baru ini Israel membangun tembok permukiman di dekat Jalan Jaffa, melakukan penggalian di area Istana Umayyah di selatan Masjid Al-Qibli, serta meletakkan pondasi untuk pembangunan lift guna memudahkan penyerbuan pemukim kolonial ke Masjid Al-Aqsa. Israel juga meresmikan tugu peringatan dan merelokasi pos pemeriksaan militer di Walaja.
Syeikh Ikrima Sabri yang merupakan khatib Masjid Al-Aqsa mengomentari pembangunan lift khusus Yahudi di dekat Tembok al-Buraq (tembok barat) Masjid Al-Aqsa dengan mengatakan bahwa proyek itu merupakan “serangan terhadap properti wakaf Islam karena tanah tempat proyek tersebut dibangun adalah milik Otoritas Wakaf Islam (Yordania).”
Meskipun Israel mengklaim bahwa lift tersebut akan digunakan oleh lansia Yahudi dan orang-orang dengan disabilitas, namun fasilitas ini merupakan salah satu upaya Israel untuk dapat memberikan fasilitas terbaik bagi Yahudi yang ingin menguasai Masjid Al-Aqsa. Sebaliknya, Israel selalu mencari cara untuk melarang penduduk Palestina memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa, bahkan tak jarang dengan kekerasan.
Hanya selama bulan Oktober, laporan dari Asosiasi Eropa untuk Al-Quds (Yerusalem) melaporkan bahwa tentara Israel membunuh dua orang Palestina, salah satunya adalah seorang anak-anak, melukai 10 lainnya, dan menangkap 169 warga Al-Quds selama serangannya di Al-Quds. Laporan juga menunjukkan bahwa pasukan pendudukan melakukan 715 pelanggaran yang mencakup 16 pola pelanggaran hak asasi manusia, yang paling menonjol yakni serangan dan penggerebekan, yakni sebanyak 48,2%, diikuti oleh penangkapan sebesar 22,4%.
Adapun sejak dimulainya agresi di Gaza pada 7 Oktober 2023, menurut data Kegubernuran Al-Quds pada 20 Oktober, sebanyak 52.710 pemukim ikut serta dalam penyerbuan Masjid Al-Aqsa. Sementara sepanjang 2023, terhitung sebanyak 55.158 pemukim kolonial turut menyerbu Masjid Al-Aqsa dengan perlindungan dari pasukan khusus Israel yang bersenjata lengkap.
Mega Proyek Yahudisasi
“Status quo di Temple Mount/Haram Al-Sharif harus terus berlanjut tanpa gangguan,” demikian pernyataan dalam 181 halaman ‘Deal of the Century’, sebuah ‘rencana perdamaian pada 2020 yang disepakati oleh Benyamin Netanyahu dan Donald Trump. Namun, “Orang-orang dari setiap agama harus diizinkan untuk beribadah di Temple Mount, dengan cara yang sepenuhnya menghormati agama mereka, dengan mempertimbangkan waktu ibadah dan hari raya masing-masing agama, serta faktor-faktor keagamaan lainnya.”
Berlawanan dengan kalimat bahwa ‘status quo harus terus berlanjut tanpa gangguan’, preferensi terminologi yang digunakan pada perjanjian ini justru menggunakan istilah Zionis, yakni ‘Temple Mount’–meskipun menambahkan istilah terakhir ‘Haram al-Sharif’–dan dengan sengaja mengabaikan terminologi yang lebih jelas dalam Islam, yakni Masjid Al-Aqsa.
Kesepakatan semacam ini tidak mengherankan karena berasal dari pendukung utama Israel yakni Amerika Serikat, namun ini merupakan salah satu langkah besar yang Israel lakukan untuk menghilangkan identitas Islam-Arab dan menggantikannya dengan identitas yahudi, atau disebut juga sebagai yahudisasi terhadap Al-Aqsa, Al-Quds, dan Palestina.

Salah satu hal pertama yang dilakukan Israel dalam yahudisasi Al-Quds (Yerusalem) adalah dengan meratakan Harat al-Maghariba (Kompleks Maroko), yang berusia lebih dari 770 tahun ketika Israel mulai menghancurkannya pada 1967. Kompleks ini merupakan hunian bagi sekitar 650 orang yang tersebar dalam 100-an keluarga. Sejak awal, Zionis ingin mengambil alih Harat al-Maghariba yang berada tepat di depan Tembok Buraq atau Tembok Barat, untuk dijadikan alun-alun terbuka bagi Yahudi, yang kemudian menjadi ruang simbolis pertama bagi Israel di Al-Quds (Yerusalem).
Yahudisasi Al-Aqsa mencapai langkah besar sejak Israel melegalkan pelaksanaan ibadah Yahudi di situs umat Islam tersebut pada 2003. Para pemukim yang sebelumnya hanya mendapatkan izin melakukan kunjungan, kini melakukan berbagai ritual dan beribadah ke Masjid Al-Aqsa dengan pengawalan dari polisi Israel.
Sebuah makalah penelitian baru-baru ini, yang dikeluarkan oleh Yayasan Internasional Al-Quds, menyebutkan bahwa “sujud epik” yang dilakukan pemukim baru-baru ini di Masjid Al-Aqsa adalah ritual Talmud tua yang baru diaktifkan kembali terutama dengan tujuan untuk menormalisasi ibadah Yahudi di Masjid Al-Aqsa, seolah-olah situs tersebut adalah Kuil Salomon.

Mengubah Al-Aqsa menjadi Kuil Salomon merupakan salah satu tujuan utama dari Zionis. Sejak menguasai Al-Quds pada 1967, Israel telah banyak melakukan penggalian di bawah Masjid Al-Aqsa, namun tidak menemukan apa pun terkait kuil tersebut. Keberadaan kuil tidak pernah terbukti memiliki jejak arkeologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sumber-sumber mengenai kuil tersebut hanya berasal dari Taurat, yang bahkan kitab-kitab itu menyebutkannya secara berbeda-beda dan saling kontradiktif.
Sebagian di antara kelompok Yahudi menyatakan bahwa Haikal Sulaiman berada di As-Sakhrah dan Masjid Qibli, dan yang lain mengatakan letaknya di Tembok Ratapan. Ada pula kelompok Yahudi yang mengatakan haikal tersebut terletak di Kota Nablus, bukan di Al-Quds, sementara yang lain mengatakan di wilayah Tel El-Qadhi atau di perbatasan Yordania, juga ada yang mengatakan letaknya di Desa Beitin sebelah utara Al Quds. Pendapat-pendapat yang berlainan ini merupakan bukti terbesar mengenai kebohongan isu haikal.
Bagaimanapun, pemerintah Zionis Israel saat ini yang mendukung serbuan pemukim, dapat dikatakan sebagai kelompok Yahudi yang memercayai bahwa kuil tersebut berada di kompleks Al-Quds dan berniat menguasainya. Ini merupakan megaproyek untuk mengubah Palestina menjadi milik Yahudi, dengan menghilangkan segala bentuk identitas Palestina.

Seorang peneliti ahli tentang Al Quds, Dr. Sameer Said, mengatakan, “Yahudisasi yang dilakukan Israel tidak sebatas pada lanskap dan demografi. Dalam spektrum yang lebih luas, Yahudisasi merupakan sebuah proses masuknya hal-hal berbau Yahudi kepada sesuatu yang masih asli (murni), dalam hal ini adalah mengubah keadaan Palestina menjadi Yahudi. Yahudisasi juga merupakan sekumpulan prosedur-prosedur dan strategi-strategi yang dibuat oleh Zionis Israel yang bertujuan menghancurkan empat pilar besar di Al-Quds (dan tempat lainnya di Palestina –ed), yakni tanah air, manusia, identitas, dan tempat-tempat suci.”
Dengan demikian, sampai kapan pun pemerintah Zionis Israel akan terus mendukung pemukim kolonial untuk menyerbu Masjid Al-Aqsa, memberlakukan aturan untuk menggusur rumah-rumah Palestina, mengusir penduduk Al-Quds, melancarkan serangan ke Tepi Barat, memboikot Gaza, dan kini mengampanyekan genosida.
—-
Ihdal Husnayain, SE, MSi.Han.
Penulis merupakan anggota Departemen Research and Development Adara Relief International yang mengkaji tentang realita anak dan perempuan Palestina. Ia merupakan lulusan Fakultas Ekonomi UI dan telah menempuh pendidikan masternya di Universitas Pertahanan Indonesia.
Daftar Pustaka
https://adararelief.com/pembakaran-mimbar-al-aqsa-dan-yahudinisasi-yang-tak-kunjung-usai/
https://adararelief.com/adara-report-edisi-02-desember-2021-tanah-palestina/
https://www.aljazeera.com/news/2017/7/27/timeline-al-aqsa-mosque
https://www.britannica.com/place/Palestine/The-Arab-Revolt
https://www.instagram.com/reel/DA9brcgojxZ/?igsh=MWZsajNjd29hcGd1eg==
Mahdy Saied Rezk Kerisem, Sejarah dan Keutamaan Masjid Al-Aqsa dan Al Quds(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2021), hlm. 237—240.
https://english.palinfo.com/jerusalem/2024/11/04/328178/
https://palestinecampaign.org/events/balfour-declaration-100-years-betrayal-palestinian-people/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini