Tiga puluh satu tahun telah berlalu sejak ditandatanganinya Perjanjian Oslo. Katanya, Palestina merdeka. Nyatanya, hingga saat ini Palestina negosiasi status akhir antara pemimpin Palestina dan Israel masih terus menemui kegagalan.
Perjanjian Oslo yang ditetapkan pada 13 September 1993, bertujuan untuk menetapkan Otoritas Pemerintahan Sendiri Sementara Palestina untuk rakyat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan masa transisi maksimal lima tahun serta mengarah pada penyelesaian permanen.
Dalam rangka memperingati peristiwa tersebut, pada hari Ahad (15/09), Adara mengadakan webinar “31 Tahun Perjanjian Oslo: Bagaimana Dampak dan Masa Depan Palestina?”.
Shofwan Al-Banna Choiruzzad, S.Sos., M.A., Ph.D., profesor dan dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia menjadi pembicara dalam webinar ini. Maryam Rachmayani, S.Th.I., M.M., Direktur Utama Adara Relief International pun turut berbagi pandangannya dalam webinar ini.
Shofwan menyatakan bahwa Palestina bukan tidak ingin berdamai, melainkan mereka ingin hak-hak dasar mereka sebagai manusia diakui terlebih dahulu. “Palestina berharap Perjanjian Oslo menjadi langkah awal menuju perdamaian seperti pada Perjanjian Hudaibiyah, meskipun ada ketimpangan, yang terpenting sudah ada pengakuan terhadap Palestina,” imbuh Shofwan.
Nyatanya, Israel selalu ingkar janji dan tak pernah serius berdamai. Perjanjian Oslo secara timpang mengakui hak kemerdekaan Israel, tapi tidak ada pengakuan yang sama dan setara untuk Palestina. “Proses perdamaian” digunakan untuk mengekalkan dan memperluas okupasi.
Maryam turut memaparkan bahwa dampak panjang ekonomi Palestina akibat pembagian wilayah dalam Perjanjian Oslo meliputi: 1) Pemecahan wilayah Palestina secara administrasi, politik, dan fisik; 2) Penguatan kendali Israel atas sumber daya Palestina; 3) Penghancuran ekonomi serta ketergantungan Palestina pada bantuan internasional.
“Sebelumnya Palestina menjadi salah satu pengekspor produk kapas dan minyak zaitun terbaik di dunia. Penjajahan Israel mematikan sektor pertanian produktif Palestina, yang memicu kehancuran ekonomi nyata sehingga mereka terus bergantung pada bantuan internasional,” pungkas Maryam.
Wilayah yang saat ini berada di bawah kendali Israel sebagai akibat dari Perjanjian Oslo merupakan area yang kaya akan sumber daya alam. Kendali penuh Israel atas sumber daya air Palestina menyebabkan 100% warga Gaza kesulitan memperoleh akses air akibat agresi, serta 47% warga Tepi Barat menerima air hanya dalam kurun waktu kurang dari sepuluh hari setiap bulannya.
Merespon kondisi ini, selama periode 2020-2022, Adara Relief International telah membangun 24 sumur di Palestina, yang tersebar di 11 wilayah dan telah membantu lebih dari 30.000 warga Palestina.