Perempuan dengan tatapan yang teduh itu bernama Maryam. Beberapa bulan sebelum agresi, ia baru saja melahirkan. Ingatannya tentang agresi melayang pada pagi hari di 7 Oktober. Ia baru akan membangunkan anak-anak untuk bersiap menghadiri sebuah acara, tetapi tiba-tiba terdengar suara tembakan.
Seketika itu pula ia mengamankan anak-anaknya ke dapur yang berada di tengah rumah, sebisa mungkin menjauh dari kaca. Tidak lama kemudian terdengar takbir bersahutan. Ia pun mengatakan kepada anak-anaknya bahwa hari itu adalah hari lebaran agar anak-anaknya tetap tenang dan tidak ketakutan. Sementara itu, Maryam segera mengumpulkan surat-surat penting, dokumen berharga, laptop, dan kembali berdiam di dapur.
Bagi Maryam dan keluarganya, agresi Israel bukanlah hal baru. Pada 2021, wilayah rumahnya sempat dijadikan sasaran tembak karena lokasinya berdekatan dengan kantor Ismail Haniya. Tapi kemudian terjadi gencatan senjata. Dalam agresi terbaru Israel, kawasan tempat tinggalnya kembali menjadi sasaran pertama.
Pada hari kedua agresi, Maryam mengungsi ke kawasan Al-Karama, tempat keluarga suaminya tinggal. Mereka membeli bahan makanan untuk persediaan beberapa hari ke depan. Namun, karena semua akses listrik dan air diputus, persediaan yang telah dibeli itu pun rusak.

Esok harinya terdapat peringatan bahwa gedung tempatnya tinggal di Al-Karama akan dihancurkan. Maryam dan keluarganya segera mengungsi. Namun, tidak terjadi apa-apa, mereka pun kembali ke sana. Beberapa hari kemudian ada peringatan lagi, dan terus berulang seperti itu, mereka bolak-balik pergi dan pulang hingga beberapa kali, sampai akhirnya ada yang menyarankan mereka untuk mengungsi ke wilayah selatan.
Akan tetapi, mereka memilih untuk tetap tinggal dan bertahan di utara, tepatnya di sekitar wilayah Rumah Sakit As-Syifa. Di dekat RS tersebut terdapat sebuah sekolah Kristen dan ia berpikir Zionis tidak akan menghancurkan sekolah tersebut. Pihak sekolah mengarahkan mereka untuk menempati ruang musik.

Saat menyadari rumah mereka masih ada (tidak hancur), mereka memutuskan untuk kembali, meski tanpa kepastian ketersediaan bahan makanan. Dalam kondisi itu, ia terpaksa memberi makanan instan untuk bayinya, hal yang sebelumnya belum pernah ia lakukan karena pertimbangan gizi.
Tidak lama, Maryam dan keluarganya kembali mengungsi di sekolah Kristen. Namun, beberapa hari kemudian, sekolah yang dijadikannya tempat berlindung, menjadi target pengepungan oleh tank-tank Israel dan mereka dipaksa untuk keluar. Suaminya menggendong ibunya yang lumpuh setengah badan, sementara Maryam bersama anak-anaknya pergi dengan berjalan kaki. Mereka tidur di mana saja.
Namun, dalam kondisi apa pun, ayat-ayat Al-Qur’an senantiasa terlantun. Anak sulungnya hafal 10 juz Al-Qur’an. Sebagaimana ibu lainnya di berbagai penjuru dunia, Maryam juga senantiasa memanjatkan doa untuk anaknya. Khusus bagi anak sulungnya, ia berdoa, “Ya Allah, jadikan anakku ini sebagai penghafal Al-Qur’an dan jadikan dia bagian dari tentara-Mu. Ya Allah, pakailah dia, dan jangan gantikan anakku dengan orang lain untuk menjadi tentara-Mu.”
Perjalanan panjang ditempuh oleh Maryam dan keluarganya dengan berjalan kaki tanpa alas. Ia pergi ke wilayah timur yang menjadi bagian dari pengeboman sabuk api. Ia saksikan semua bangunan di wilayah tersebut telah rata dihancurkan; puing, kaca, dan besi berserakan sepanjang jalan.
Mereka mengungsi dari satu tempat ke tempat yang lain hingga tiba di satu sekolah, yang satu ruangannya dihuni oleh 50 sampai dengan 70 orang. Saking padat dan sesaknya, bahkan menyelonjorkan kaki pun sulit. Kondisinya semakin parah saat anak-anaknya terserang diare dan tidak ada air untuk membersihkan kotoran. Selama 1,5 bulan ia tidak menggunakan air, dan terpaksa berwudu dengan cara bertayamum.

Maryam dan anaknya akhirnya dapat keluar dari Gaza karena ia berkewarganegaraan Turki dan namanya termasuk dalam daftar 1500 orang yang dievakuasi oleh pemerintahan Turki.
Pertama kali Maryam melepaskan kerudung dan menyisir setelah agresi adalah ketika ia tiba di Istanbul. Ia kaget karena rambutnya rontok oleh sikat sisirnya. Ia tidak sendirian, ada banyak perempuan Gaza yang akhirnya memilih untuk membotakkan rambutnya karena tidak bisa dirawat akibat tidak pernah membuka hijabnya sepanjang agresi.
Jangankan perempuan, lelaki pun banyak yang berkoreng kepalanya karena langkanya air bersih di Gaza. Saat Maryam mengalami kerontokan parah, agresi telah berlangsung selama 1,5 bulan. Ia tidak dapat membayangkan apa yang dirasakan oleh para perempuan Gaza yang sudah melewati 7 bulan agresi.
Tidak hanya itu, berat badannya turun 10 kilo selama satu setengah bulan. Meskipun suaminya sengaja membawakan makanan bergizi untuk menambah tenaga, terlebih Maryam masih menyusui bayinya, tapi Maryam tidak sanggup untuk makan. Ia memikirkan anak-anaknya yang tidak makan secara layak. Berat badan suaminya bahkan turun drastis sebanyak 20 kilogram.
Suami Maryam adalah teknisi elektronik yang bertugas membetulkan alat-alat medis di ambulans. Selama agresi berlangsung, suaminya tetap melakukan pekerjaannya meskipun dibayangi bahaya dan belum mendapatkan gaji. Awalnya, Maryam sempat protes karena pekerjaan suaminya sangat berisiko. Pikirnya, percuma alat-alat itu diperbaiki jika nantinya akan rusak terkena bom. Namun suaminya menjawab, “Jangan sampai ada orang yang meninggal karena saya tidak menjalankan tugas.” Hingga kini suaminya masih berada di Gaza dan tetap berkeliling untuk memperbaiki ambulans.

***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini