Jalur Gaza adalah salah satu peradaban paling kuno dalam sejarah umat manusia yang telah membentang selama 5000 tahun. Selama itu pula Gaza ditakdirkan untuk berada di garis depan imperium dunia yang saling bersaing. Pertempuran demi pertempuran terjadi, menghancurkan kota, tetapi Gaza tetap berdiri. Dapat dikatakan bahwa di tanah Gaza terkubur lapisan demi lapisan kisah; tragedi sekaligus epos kepahlawanan; mengerikan sekaligus heroik. Jalinan kisah tersebut berlangsung dari generasi ke generasi, hingga hari ini.
Gaza memiliki arti kuat, harta, atau gudang. Orang Persia menyebutnya Hazato, sedangkan orang Arab menyebutnya Gaza of Hashim sebagai nisbat bagi Hashim bin Abd al-Manaf, kakek Nabi Muhammad saw yang meninggal sekembalinya dari Syam. Makamnya berada di Masjid Sayid al-Hashim di al-Daraj, sebuah lingkungan tua di Gaza. Sementara itu, penghuni awal Gaza yang diketahui adalah bangsa Kanaan (Canaanite), kemudian dihuni oleh bangsa Filistin.
Posisinya yang strategis antara Asia dan Afrika, menjadikan Gaza sebagai pusat perdagangan yang makmur; terletak di jalan pesisir kuno yang menghubungkan Mesir ke Palestina dan sekitarnya. Gaza dibangun dan terus dikembangkan menjadi tempat transit, tempat para pedagang dapat beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Asia dan Afrika. Dengan demikian, Gaza dipandang sebagai salah satu kota terpenting di Palestina.
Sebagai kota kuno dan bersejarah, Gaza menyaksikan pergantian kekuasaan beberapa kerajaan dan peradaban, antara lain kepemimpinan Firaun (Mesir Kuno), Yunani, Romawi, Bizantium, dan zaman Islam. Pada masa kepemimpinan Kesultanan Ayyubiyah, Kota Tua Gaza mengalami perluasan melampaui batas tembok di sekelilingnya, sehingga membentuk empat lingkungan tua, yaitu Al-Tuffah, Az-Zaitoun, Al-Shuja’iyya, dan Al-Daraj. Di lingkungan tua tersebut terkumpul situs bersejarah yang menjadi saksi keagungan peradaban Gaza.
Kantor Media Pemerintah di Gaza mencatat bahwa Gaza memiliki 325 situs bersejarah. Namun, agresi yang dilancarkan Israel telah membahayakan bangunan bersejarah di Palestina. Bahkan pada agresi terbaru (7 Oktober) yang dinamakan Operation Iron Sword atau “Operasi Pedang Besi” Israel telah menghancurkan lebih dari 200 situs arkeologi dan bangunan bersejarah di Gaza. “Situs-situs kuno dan arkeologi yang dihancurkan oleh tentara berasal dari zaman Fenisia dan Romawi, sebagian berasal dari antara tahun 800 SM dan 1.400 SM, sementara yang lainnya dibangun 400 tahun lalu,” terang Kantor Media Pemerintah dalam sebuah pernyataan.
Di antara situs terpenting dan mengalami kehancuran adalah Masjid Agung Omari, Gereja Bizantium di Jabalia, Kuil Al-Khadir di kota Deir al-Balah di Jalur Gaza tengah, dan pemakaman kuno Bizantium Blakhiya (Anthedon Palestina), di barat laut Kota Gaza. Situs-situs lain yang juga rusak parah adalah Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius, Beit al-Saqqa yang berusia 400 tahun, dan Masjid Sayid al-Hashim, yang juga merupakan salah satu masjid tertua di Gaza.
Masjid Agung Omari, Simbol Keagungan dan Jembatan antar-Peradaban
Di jantung Kota Tua Gaza, tepatnya di lingkungan al-Daraj, berdiri Masjid Agung Omari yang megah. Di batu-batunya tertatah aroma kisah-kisah kuno. Namun, bangunan yang dulunya merupakan simbol keagungan spiritual sekaligus keagungan arsitektur, kini hanya menyisakan sebuah menara dan reruntuhan. Kehancurannya menjadi salah satu bukti dampak agresi Israel dan pengeboman tanpa henti di Jalur Gaza, sejak dimulainya Operasi Pedang Besi pada 7 Oktober 2023 hingga tulisan ini diterbitkan.
Masjid Al-Omari berdiri di area seluas 4.100 meter persegi dengan luas bangunan 1.190 meter persegi. Memiliki 38 kolom marmer yang indah dan kokoh, mencerminkan kemegahan arsitektur kuno di Kota Gaza. Masjid ini berdiri di atas sebuah bangunan yang awalnya merupakan kuil pagan bangsa Filistin yang menurut legenda digunakan untuk memuja Dewa Dagon, dewa kesuburan dan air. Pada masa pemerintahan Bizantium (406 M), kuil tersebut kemudian dijadikan gereja oleh Ratu Bizantium Aelia Eudocia. Setelah Gaza dibebaskan pada masa Khalifah Umar ibn al-Khattab, dan muslim menjadi mayoritas penduduk di Gaza, gereja tersebut dialihfungsikan menjadi masjid (634 M).

Pada 1149 M, ketika Tentara Salib (The Crusaders) berkuasa, masjid tersebut diubah menjadi Katedral St. John the Baptist. Pada tahun 1277 M, tepatnya pada masa Kesultanan Mamluk, katedral atau gereja tersebut kembali diubah fungsinya menjadi masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Agung Omari. Disebut Omari sebab nama masjid ini diambil dari nama Khalifah Umar, dan dikatakan Masjid Agung karena merupakan masjid terbesar di Gaza. Struktur yang berdiri hingga Jumat, 8 Desember 2023, merupakan bangunan era Mamluk yang telah direnovasi pada masa Utsmani (Ottoman), kemudian hancur sebagian akibat pengeboman artileri Inggris selama Perang Dunia I, dan kembali dipugar.
Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa corak arsitektur Masjid Agung Omari memperlihatkan sejarahnya yang bergejolak. Setiap pemugaran situs ini mempertahankan beberapa bagian dari bentuk sebelumnya. Misalnya terlihat pada fasadnya yang menampilkan lengkungan khas gaya Crusaders. Dua dari tiga lorong utama Masjid juga diyakini mempertahankan beberapa bagian dari katedral Tentara Salib. Menara Masjid yang mengesankan dibuat mengikuti gaya tradisional Mamluk, dengan menara segi delapan yang terletak atas banguan yang berbentuk persegi. Di dalam Masjid, lantainya terbuat dari ubin mengkilap dan pintu serta kubahnya terbuat dari marmer.

Masjid Agung Omari pernah menjadi mercusuar ilmu pengetahuan bagi para cendekiawan ketika Sultan Al-Zaher Baybars dari Kesultanan Mamluk membangun sebuah perpustakaan masjid yang berisi sekitar 20.000 buku dan manuskrip tentang berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Dari jumlah tersebut hanya tersisa 187 manuskrip asli berbahasa Arab. Koleksinya berasal dari tahun 1515, dan mencakup spektrum subjek yang luas antara lain Al-Quran, Biografi Nabi Muhammad saw., matematika, astronomi, kedokteran, humaniora, yurisprudensi, hadis Rasulullah, sastra dan puisi, yang sebagian besar ditulis oleh para sarjana Palestina.
Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan koleksi perpustakaan Masjid Agung Omari berkurang secara berkala, pertama ketika penyerbuan oleh Napoleon Bonaparte pada 1799. Setelah gagal menjajah Akka, Palestina, Napoleon kembali ke Mesir melalui Gaza, menghancurkan sebagian wilayah Gaza dan menjarah koleksi manuskrip dari perpustakaan masjid.
Kedua, manuskrip-manuskrip tersebut juga hancur, rusak, ataupun hilang ketika Perang Dunia I (1914–1918) akibat serangan artileri Inggris juga akibat dibakar oleh pasukan Utsmani untuk mengusir gigil musim dingin ketika berperang melawan Blok Sekutu. Terakhir, penjajahan Israel menjadi sebab besar rusak atau hilangnya manuskrip. Penjajahan ini tidak berhenti pada 1967 atau 1993, tapi kembali terjadi saat agresi tahun 2008, 2012, 2014. Kini, Israel melakukan agresi besar-besaran yang menghancurkan Gaza, dan manuskrip yang tersisa tidak diketahui keberadaannya. Proyek digitalisasi memang telah selesai dilakukan pada 2022 untuk melestarikan jejak kekayaan perpustakaan. Namun, bentuk digital tidak dapat menggantikan arti penting naskah aslinya.
Sisa Reruntuhan yang Akan Tetap Menuturkan Keagungan
Pada Jumat, 8 Desember 2023, agresi genosida Israel di Gaza kembali menyasar Masjid Agung Omari, menyebabkan kerusakan luas pada situs bersejarah tersebut, hingga hancur menjadi puing-puing, kecuali bagian menara yang masih tampak utuh. “Kejahatan yang menargetkan dan menghancurkan situs arkeologi harus mendorong dunia dan UNESCO mengambil tindakan untuk melestarikan warisan peradaban dan budaya yang agung ini,” kata Kementerian Pariwisata dan Purbakala Gaza.
Sementara itu, warga Palestina di Gaza menyatakan kemarahannya setelah melihat kehancuran masjid tertua dan terbesar itu. “Saya melewati masa kecil di sana untuk beribadah dan bermain-main,” kata Ahmed Nemer, lelaki berusia 45 tahun yang tinggal tidak jauh dari Masjid Agung Omari. Ia dengan tegas mengatakan bahwa Israel berusaha menghapus ingatan sejarah Gaza dengan menghancurkan situs-situs bersejarah.
Bagi penduduk Gaza, Masjid Agung Omari yang telah runtuh itu tetap menyimpan kisah-kisah tentang keagungan. Masjid itu adalah masjid pertama yang menjadi tempat didirikannya salat Jumat di Gaza, maka dinding-dindingnya telah mendengar jutaan gumaman, rintihan, dan doa setiap hamba Tuhan yang mendatanginya. Pilar-pilarnya akan tetap menawarkan rengkuhan kehangatan bagi jiwa-jiwa yang membisikkan ketidakberdayaannya, dan lantai-lantainya akan terus memanggil kaki-kaki kecil yang merindukan kebebasan.
Pada suatu hari, menara yang tersisa di atas reruntuhan Masjid Agung Omari akan bercerita tentang apa yang terjadi pada hari ini; bukan tentang kekalahan atau kehancuran, tetapi tentang perjuangan yang kembali menciptakan lapisan sejarah baru di tanah Gaza; tentang penolakan untuk menyerah; tentang keteguhan untuk berdiri sekalipun segala yang terlihat telah runtuh di depan mata dan dunia terlampau lemah untuk berbicara. (LMS)
(Gambaran lebih lanjut mengenai interior dan kegiatan di dalam Masjid Agung Omari dapat dilihat dalam video: youtube.com)
Referensi:
Al Brifkany, Mahmood. 2016. “Analysis of Converted Historical Mediterranean Churches and Mosques. Nawroz University. (https://www.researchgate.net/publication/351499075_Analysis_of_Converted_Historical_Mediterranean_Churches_and_Mosques)
Al-Qeeq, Farid. S. 2009. “A Sustainable Approach for Urban Integration of Hammam Samrah in the Historic City of Gaza”. International Journal of Architectural Research: Archnet-IJAR. Volume III, 171–185.
Rami K. Isaac, C. Michael Hall, Freya Higgins-Desbiolles (Eds.). (2016). The Politics and Power of Tourism in Palestine. NY: Routledge.
https://www.arabnews.com/node/1503371/middle-east
https://efe.com/en/latest-news/2023-12-08/gazas-oldest-largest-mosque-destroyed-by-israeli-bombs/
https://emekshaveh.org/en/gaza-war/
https://hmml.org/about/global-operations/gaza/
https://www.islamicarchitecturalheritage.com/listings/omari-grand-mosque-gaza
https://www.middleeastmonitor.com/20240107-discover-the-great-omari-mosque-palestine/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini