Lebih dari 50 hari sejak Israel memberlakukan blokade total atas Jalur Gaza, krisis kemanusiaan mencapai titik paling kritis. Organisasi kemanusiaan memperingatkan bahwa wilayah tersebut sedang menuju kehancuran total akibat kelaparan massal, kekurangan obat-obatan, dan runtuhnya layanan dasar.
Menurut Riham Jafari dari ActionAid, rakyat Gaza tidak hanya dibunuh oleh senjata, tetapi juga oleh kelaparan, kekurangan obat, dan ketidakmampuan mengakses layanan medis. “Kelaparan dan bantuan digunakan sebagai senjata perang, suatu pelanggaran jelas terhadap hukum humaniter internasional,” ujarnya.
Laporan dari Norwegian Refugee Council (NRC) menyebutkan bahwa banyak warga Gaza hanya mampu makan satu kali sehari, bahkan kurang. Dapur umum yang tersisa hanya mampu menjangkau setengah dari populasi, atau sekitar satu juta jiwa. Sementara itu, harga bahan makanan melambung tinggi dan toko-toko kosong karena terputusnya jalur distribusi.
Kondisi ini semakin diperparah oleh kurangnya bahan bakar untuk mengoperasikan dapur umum, pabrik roti, serta sistem desalinasi dan pemompaan air. “Kami mendistribusikan beras mentah karena tidak ada bahan bakar untuk memasaknya,” kata Jafari.
Kebutuhan mendesak lainnya mencakup tempat tinggal, air bersih, alat kebersihan, pakaian, serta peralatan medis berat. Rumah sakit kewalahan dan kekurangan obat hingga terpaksa melakukan operasi tanpa anestesi. Bidang Komunikasi NRC, Shaina Low, menyebut bahwa pasokan medis dan bahan bakar terus menipis dengan cepat.
Dr. Khalil Al-Daqran, Direktur Medis Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa, menyatakan bahwa Gaza telah mencapai tahap kelima malnutrisi menurut klasifikasi WHO — tingkat kelaparan paling kritis. Anak-anak mengalami kekurangan gizi ekstrem akibat kelangkaan makanan dan susu formula. Sekitar 200.000 pasien penyakit kronis kini tidak memiliki akses terhadap obat-obatan esensial.
Selain malnutrisi, penyakit menular dan penyakit akibat air yang tercemar juga meningkat drastis. “Situasinya akan makin buruk karena ketiadaan obat untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut,” tambah Low.
PBB mencatat lebih dari 3.000 truk bantuan tertahan di perbatasan Mesir dan Israel. NRC sendiri memiliki 34 truk berisi makanan, obat, dan alat sanitasi yang belum dapat masuk. Bahan-bahan tersebut berisiko rusak atau kedaluwarsa di tengah suhu tinggi, sementara organisasi kemanusiaan harus menanggung biaya penyimpanan dan sewa truk.
Israel juga menolak memulihkan sistem notifikasi kemanusiaan yang memungkinkan koordinasi aman bagi pekerja bantuan. “Kami tidak bisa bekerja karena akses ditutup. Ini bukan kebetulan, ini disengaja,” ujar Low. Bahkan, dokter dari tim medis darurat pun ditolak masuk
Sumber: