Farah Abu Qainas pernah bercita-cita menjadi seorang guru. Namun, serangan udara Israel tahun lalu membuatnya kehilangan kaki kiri, mengubur semua harapan masa depannya, dan menambahnya ke dalam daftar ribuan korban amputasi baru di Gaza yang porak poranda. Kini, di tengah kondisi pengungsian sementara, Farah menjalani sesi fisioterapi di sebuah pusat prostetik di wilayah tersebut. Ia menunggu di kursi roda, berharap mendapatkan kaki palsu yang bisa mengembalikan sedikit kebebasan dalam hidupnya.
“Hari itu, saya kehilangan lebih dari sekadar kaki,” ujarnya. “Saya kehilangan mimpi. Saya ingin kuliah dan mengajar anak-anak. Tapi cedera ini telah mencuri masa depan saya.”
Agresi dimulai pada 7 Oktober 2023 ketika Israel meluncurkan kampanye militer yang telah membunuh lebih dari 50.800 warga Palestina di Gaza, menurut otoritas kesehatan setempat. Sebagian besar wilayah pesisir kecil yang padat penduduk itu kini hancur, dan hampir seluruh dari dua juta penduduknya kehilangan tempat tinggal. Puluhan ribu lainnya mengalami luka berat yang akan memengaruhi hidup mereka selama bertahun-tahun ke depan. Di tengah sistem kesehatan yang nyaris lumpuh, perkiraan jumlah warga Palestina yang kehilangan anggota tubuh pun bervariasi.
“Di seluruh Gaza, diperkirakan ada sekitar 4.500 orang dengan amputasi baru yang membutuhkan kaki atau tangan palsu, di samping 2.000 kasus lama yang membutuhkan perawatan lanjutan,” ungkap laporan dari Badan Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) bulan lalu.
Ahmed Mousa, pengelola program rehabilitasi fisik Komite Palang Merah Internasional (ICRC) di Gaza, mengatakan bahwa setidaknya 3.000 orang telah terdaftar dalam program mereka, dengan 1.800 di antaranya mengalami amputasi. Ribuan warga Palestina lainnya mengalami cedera tulang belakang serta kehilangan penglihatan atau pendengaran, menurut OCHA dan ICRC.
Jumlah korban yang besar membuat penanganan menjadi semakin lambat dan kompleks. Menurut pejabat ICRC, pengiriman kaki atau tangan palsu ke Gaza menjadi tantangan tersendiri. “Akses terhadap alat bantu gerak atau prostetik sangat sulit saat ini, dan sayangnya belum ada kepastian kapan bantuan itu akan tiba,” kata Mousa.
Farah termasuk dalam peserta program terapi Mousa. Namun, ia mengaku tidak tahu kapan akan mendapatkan kaki palsu atau kesempatan untuk berobat ke luar negeri. “Mereka bilang saya harus menunggu, tapi saya tidak tahu apakah itu akan terjadi dalam waktu dekat.”
Militer Israel menyatakan bahwa serangan mereka bertujuan untuk menghancurkan Hamas, yang mereka tuduh bersembunyi di tengah populasi sipil Palestina. Hamas membantah tuduhan tersebut. Israel juga mengklaim bahwa mereka berupaya meminimalisasi korban sipil.
Faktanya, anak-anak pun tak luput dari kekerasan ini. Salah satunya adalah Shaza Hamdan, gadis berusia tujuh tahun yang bercita-cita belajar naik sepeda. “Ayah mengajak saya jalan-jalan, lalu tiba-tiba bom jatuh seperti hujan. Ada yang mengenai kaki saya dan satu lagi mengenai tangan ayah,” kisahnya.
Shaza telah dua kali menjalani operasi, dan dokter harus melakukan amputasi ulang karena infeksi yang parah.
“Sekarang saya sangat bergantung pada ibu,” lanjutnya. “Ibu melakukan segalanya untuk saya. Hidup saya kini lebih sulit. Dulu saya bisa bermain.”
Ayahnya, Karim Hamdan, mengatakan bahwa kondisi mental Shaza memburuk karena terus menunggu kesempatan berobat ke luar negeri. “Tidak ada kaki palsu di Gaza. Satu-satunya solusi adalah pengobatan di luar negeri. Ia sudah mulai tidak sabar, banyak bertanya, dan menangis setiap hari. Ia hanya ingin kembali merasa normal.”
Ismail Mehr, seorang ahli anestesi dari Negara Bagian New York yang telah memimpin beberapa misi medis ke Gaza selama agresi sekarang dan sebelumnya, mengatakan bahwa kekurangan layanan medis yang memadai bisa menyebabkan lebih banyak amputasi dan pengurangan lanjutan pada anggota tubuh yang sudah diamputasi.
“Lebih dari 99 persen amputasi dilakukan dalam kondisi yang sangat tidak layak, bukan karena kesalahan dokter, tapi karena kekurangan alat sterilisasi dan peralatan medis yang diperlukan. Bahkan, dalam banyak kasus, prosedur dilakukan oleh dokter yang bukan spesialis bedah amputasi,” ungkap Mehr.
Sumber:
https://www.middleeastmonitor.com
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini