Ahmad Manasra, warga Palestina asal Al-Quds bagian timur (Yerusalem Timur) yang diduduki, akhirnya dibebaskan dari penjara Israel pada Kamis (10/4/2025) setelah menjalani hukuman sembilan setengah tahun. Ia ditangkap pada tahun 2015 saat masih berusia 13 tahun atas dugaan keterlibatan dalam insiden penikaman, meskipun pengadilan sendiri mengakui bahwa ia tidak melakukan penikaman.
Manasra saat itu sedang bersama sepupunya, Hassan Manasra (15 tahun), yang menikam dua pemukim Israel di dekat permukiman ilegal Pisgat Ze’ev. Dalam insiden tersebut, Hassan ditembak mati oleh seorang warga Israel, sementara Ahmad mengalami pemukulan brutal dan ditabrak oleh pengemudi Israel hingga menderita patah tulang tengkorak dan pendarahan internal. Rekaman video yang memperlihatkan Ahmad tergeletak di jalan dengan kepala berdarah dan diejek oleh pemukim Israel, sempat viral dan menuai kecaman internasional.
Pada 2016, Ahmad dijatuhi hukuman 12 tahun penjara, yang kemudian dikurangi menjadi sembilan setengah tahun. Meskipun usianya masih sangat muda saat penangkapan, Israel menerapkan amandemen hukum yang memungkinkan anak-anak usia 12 tahun dijatuhi hukuman di pengadilan sipil atas tuduhan “terorisme”. Selama masa interogasi awal, Ahmad tidak didampingi pengacara maupun orang tua. Video interogasinya menunjukkan aparat meneriakinya dan mengintimidasinya hingga ia tampak sangat tertekan dan ketakutan.
Kondisi kesehatan mental Ahmad memburuk drastis selama di penjara, terutama setelah dipindahkan ke sel isolasi pada November 2021 akibat insiden kecil dengan tawanan lain. Ia dikurung dalam ruang sempit selama 23 jam per hari, menderita delusi, paranoia, dan sulit tidur. Menurut pengacaranya, Khaled Zabarqa, Ahmad bahkan sempat mencoba melukai dirinya sendiri. Ia juga dipindahkan berkali-kali ke bagian psikiatri di berbagai penjara, untuk mendapat suntikan penstabil mental dari dokter.
Pada Desember 2021, seorang dokter dari Lembaga Medis Tanpa Batas (MSF) diperkenankan untuk pertama kalinya memeriksa Ahmad sejak penangkapannya. Diagnosis menyebutkan bahwa ia menderita skizofrenia, dan dokter tersebut memperingatkan bahwa kelanjutan penahanan dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada kesehatan mentalnya.
Permohonan pembebasan bersyarat atas dasar kesehatan berulang kali ditolak oleh komite pembebasan bersyarat dan Mahkamah Agung Israel. Mereka berdalih bahwa Ahmad tidak memenuhi syarat karena telah dihukum atas tuduhan “terorisme”. Namun, keputusan-keputusan ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan Undang-Undang anti-Terorisme Israel yang represif.
Setelah dibebaskan, Ahmad ditinggalkan begitu saja oleh otoritas penjara di sebuah lokasi terpencil di wilayah Beersheba, Naqab Selatan, untuk mencegah keluarga menyambutnya. Seorang warga yang lewat dan melihatnya berupaya menghubungi keluarganya, yang kemudian menjemput dan membawanya pulang.
Heba Morayef, Direktur Regional Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, menyambut pembebasan Ahmad sebagai “kelegaan besar bagi dia dan keluarganya”. Namun ia menegaskan, “Tidak ada yang bisa menghapus tahun-tahun ketidakadilan, penyiksaan, dan trauma yang dialami Ahmad di balik jeruji.” Ia menambahkan bahwa penahanan soliter Ahmad selama hampir dua tahun merupakan bentuk perlakuan kejam yang melanggar hukum internasional, yang menyatakan isolasi lebih dari 15 hari sebagai bentuk penyiksaan.
Morayef juga menyoroti bagaimana kasus Ahmad mencerminkan pola pelecehan sistematis terhadap tawanan Palestina, terutama anak-anak. Tiga pekan sebelumnya, seorang remaja Palestina lainnya, Walid Khalid Abdullah Ahmad (17 tahun), dilaporkan meninggal dalam penjara Israel, diduga akibat kelaparan serta kelalaian medis yang ekstrem, sebagaimana terungkap dalam hasil otopsi.
Ahmad Manasra kini telah kembali ke pangkuan keluarganya. Namun, proses pemulihan dari trauma mendalam yang dialaminya masih panjang. Amnesty International menegaskan bahwa Ahmad harus diberikan akses penuh terhadap layanan kesehatan mental di kampung halamannya, Al-Quds (Yerusalem) bagian timur, tanpa diskriminasi, serta jaminan perlindungan bagi dia dan keluarganya dari intimidasi maupun ancaman.
Kasus Ahmad Manasra menjadi cerminan nyata bagaimana sistem hukum dan penahanan Israel memperlakukan anak-anak Palestina—bukan sebagai korban konflik, tetapi sebagai musuh yang dipenjara, disiksa, dan dilupakan dunia.
Sumber:
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini