Hepatitis A kini menjadi salah satu ancaman serius yang dihadapi warga Palestina di Gaza, dengan puluhan ribu kasus telah tercatat. Pejabat tinggi PBB memperingatkan adanya “peningkatan yang mengkhawatirkan”, menurut laporan dari Anadolu Agency.
Para ahli memperingatkan bahwa lonjakan kasus Hepatitis A ini menunjukkan risiko epidemi yang lebih mematikan di Gaza, tempat terjadinya penyerangan yang telah menewaskan atau melukai lebih dari 135.000 warga Palestina dan menghancurkan hampir seluruh infrastruktur penting, termasuk fasilitas kesehatan.
Dr. John Kahler, seorang dokter anak yang telah pensiun dan salah satu pendiri kelompok bantuan MedGlobal, menyaksikan langsung kehancuran di Gaza selama dua misinya di sana pada Januari dan Maret.
“Penyebaran Hepatitis A menunjukkan bahwa sistem pelayanan kesehatan benar-benar hancur,” kata Kahler kepada Anadolu.
Dalam kondisi ini, ada beberapa hal lain yang mungkin akan muncul, dan ini adalah hal-hal yang “dapat dengan cepat membunuh banyak orang,” katanya.
Yang pertama adalah bakteri salmonella yang menyebabkan demam tifoid dan yang kedua adalah Shigella, infeksi bakteri lainnya yang gejalanya termasuk diare berdarah dan demam tinggi.
“Keduanya sebenarnya bisa dengan mudah dikendalikan dengan antibiotik, tetapi obat tersebut tidak tersedia di Gaza”, katanya.
“Kekhawatiran terbesar,” lanjut Kahler, adalah risiko kolera yang “menular ke masyarakat.”
“Mengingat seluruh sistem dan infrastruktur kesehatan masyarakat telah hancur, jika kolera menyebar di komunitas ini, jumlah kematian bisa meningkat hingga 10 kali lipat,” ia memperingatkan.
“Tidak diragukan lagi, jika kolera menyebar, orang-orang bisa meninggal dalam waktu 12 jam. Mereka sudah mengalami dehidrasi, dan kematian bisa terjadi dengan sangat cepat tanpa ada waktu untuk melakukan apa pun,” tambahnya.
“Masalah potensial lainnya adalah penyebaran infeksi E. coli, yang biasanya tidak berbahaya tetapi dapat menyebabkan diare parah dan kematian akibat gagal ginjal,” jelasnya.
“Itulah lima ancaman besar yang harus diwaspadai,” imbuhnya.
“Semua ini mungkin terjadi karena saat ini secara harfiah tidak ada sistem kesehatan masyarakat yang berfungsi.”
Selama berada di Gaza, Kahler melihat “puluhan pasien” menderita penyakit kuning.
Pada Januari Ia mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan Gaza masih mampu melakukan pengujian laboratorium, sehingga ia dapat mengirim pasien untuk diperiksa, dan keluarganya juga dapat dites.
Namun, “sistem itu runtuh antara bulan Januari hingga Maret,” katanya.
Hal ini berarti tidak ada lagi cara untuk mengisolasi kasus, yang merupakan pendekatan standar dalam kesehatan masyarakat untuk mencegah penyebarannya.
Pengendalian penyebaran penyakit ini “tidak mungkin dilakukan” dalam kondisi tenda yang penuh sesak dengan 20 atau 30 orang, atau di jalanan tanpa fasilitas pembuangan sampah dan sistem pembuangan limbah, tegasnya.
Terkait langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasi wabah tersebut, Jasarevic dari WHO mengatakan bahwa peningkatan akses masyarakat terhadap air bersih adalah langkah kunci, tetapi “hampir mustahil untuk dicapai di Gaza dalam situasi saat ini.”
“Kondisi yang sangat buruk yang dihadapi pengungsi di seluruh wilayah Jalur Gaza, akan memperburuk situasi kesehatan dan kami memperkirakan peningkatan jumlah kasus dalam beberapa pekan mendatang,” tambahnya.
sumbeer: https://www.aa.com.tr
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini