Milyaran orang di dunia menyambut tahun baru 2023 dengan gegap gempita, harapan baru dan optimisme. Namun, bagi sebagian orang, prospek tahun 2023 tetap suram setelah apa yang mereka lewati pada 2022 sebagai masa sulit dengan krisis kelaparan terburuk sepanjang sejarah.
Di kota Akkar, Lebanon, contohnya. Mahasen, seorang ibu berusia 32 tahun harus berjuang setiap hari untuk bertahan hidup. Setiap harinya, Mahasen yang tinggal dengan suami dan tiga anaknya hanya mampu makan satu kali, yang biasanya hanya mengandalkan lentil untuk mengganjal perut.
“Setiap hari saya bangun dengan satu ketakutan yang sama: apa yang akan dimakan keluarga saya hari ini? Selama Ramadan, ketakutan saya berlipat ganda. Anak-anak terlihat kuyu dan lemas; anak laki-laki saya yang berusia dua tahun belum pernah minum susu sama sekali,” kata Mahasen. “Anak-anak seharusnya bisa hidup bebas tapi itu tidak terjadi lagi di Lebanon.”
Memasuki 2023, Save the Children melaporkan bahwa empat dari sepuluh anak pengungsi Lebanon dan Suriah di negara itu menghadapi kerawanan pangan akut yang tinggi, karena krisis pangan yang disebabkan oleh ketidakstabilan ekonomi selama bertahun-tahun, serta dipicu oleh perubahan iklim dan kelaparan global. Sebanyak tiga perempat populasi di negara ini telah masuk ke dalam kemiskinan, dengan seringnya pemadaman listrik, wabah kolera yang menyebar, dan krisis uang tunai yang memburuk, semakin memperparah kondisi hidup jutaan orang.
Lebih dari 1,7 juta pengungsi tinggal di Lebanon. Dari total populasi 3,9 juta orang Lebanon, sekitar sepertiganya adalah anak-anak (1,3 juta). Menurut data PBB, 660.000 atau sekitar 50% anak Lebanon membutuhkan bantuan kemanusiaan, sementara 334.000 anak Lebanon dan Palestina di Lebanon kini membutuhkan layanan terkait perlindungan anak.
“Krisis di Lebanon menjadi krisis bagi anak-anak. Lima tahun pertama kehidupan seorang anak sangat kritis, dan kami khawatir bahwa tanpa makanan bergizi yang cukup untuk dimakan, semakin banyak anak akan kekurangan gizi, atau bahkan menghadapi kelaparan,” kata Direktur Save the Children di Lebanon, Jennifer Moorehead.
Kabar lebih buruknya, kondisi ini masih terus berlanjut. Save the Children memperingatkan bahwa jumlah anak-anak di Lebanon yang menghadapi tingkat krisis kelaparan diproyeksikan akan meningkat sebesar 14% pada awal tahun ini, kecuali tindakan segera diambil. Lebanon menempati posisi keenam sebagai negara dengan krisis pangan terburuk secara global untuk sebagian populasi yang rawan pangan, setelah Sudan Selatan, Yaman, Haiti, Afghanistan, dan Republik Afrika Tengah.
Apa yang menjadi penyebab krisis kelaparan global? World Food Program (WFP) telah memperingatkan akar penyebab krisis ini, yang merupakan kombinasi atas perubahan iklim, ketidakstabilan ekonomi, serta konflik dan penjajahan. Akibatnya, jumlah orang kelaparan di seluruh dunia melonjak dari 282 juta menjadi sekitar 345 juta sejak awal 2022, dan pada pertengahan tahun, WFP memperhitungkan lebih dari 111 juta orang membutuhkan bantuan pangan, dengan rekor menjadi 153 juta orang pada akhir tahun.
“Kita menghadapi krisis pangan global yang belum pernah terjadi sebelumnya dan semua tanda menunjukkan bahwa kita belum melihat yang terburuk”, kata Direktur Eksekutif WFP David Beasley, “Selama tiga tahun terakhir angka kelaparan berulang kali mencapai puncak baru. Izinkan saya menjelaskan: segala sesuatunya dapat menjadi lebih buruk kecuali ada upaya berskala besar dan terkoordinasi untuk mengatasi akar penyebab krisis ini. Kita tidak bisa memiliki satu tahun rekor kelaparan lagi.”
Perubahan Iklim
Sebuah laporan Counting The Cost 2022: A year of climate breakdown mengidentifikasikan 10 bencana iklim sangat parah pada 2022 yang menyebabkan kerugian lebih dari $3 miliar. Bencana yang kebanyakan melanda negara-negara termiskin tersebut menyebabkan kerusakan terhadap manusia dan lingkungan. Banjir, angin topan, dan kekeringan, telah membunuh dan menelantarkan jutaan orang di seluruh dunia di tempat-tempat yang terpapar krisis iklim. Di antara bencana tersebut adalah banjir yang menenggelamkan sebagian Pakistan pada Juni yang menelantarkan 7 juta orang dan menyebabkan kerugian lebih dari $30 miliar, dengan hanya $5,6 miliar yang ditanggung oleh asuransi.
Di tanduk Afrika, kekeringan terpanjang dalam lebih dari 40 tahun diperkirakan akan berlanjut, dengan kemungkinan kegagalan musim hujan. Hal ini akan memperburuk krisis pangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada akhir 2022, dengan 26 juta orang diperkirakan akan mengalami krisis atau tingkat kerawanan pangan yang lebih buruk di Somalia, Kenya utara dan timur, dan timur dan selatan Ethiopia.
Sementara di Afghanistan, dengan hampir 6 juta orang diproyeksikan dalam kondisi darurat, kekeringan di banyak bagian di negara tersebut diproyeksikan akan berlanjut hingga tahun ketiga berturut-turut –kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam 20 tahun terakhir. Selain faktor iklim, Afghanistan juga merasakan dampak dari krisis ekonomi yang mendalam, yang diperburuk oleh kenaikan harga pangan, bahan bakar dan input pertanian, pembekuan aset dan akumulasi utang rumah tangga yang sangat tinggi.
Krisis Ekonomi Global
Dari sisi ekonomi, kenaikan harga global untuk hidrokarbon dan komoditas pertanian terus menyebabkan kenaikan harga pangan dan energi. Langkah-langkah pengetatan moneter yang dilakukan oleh banyak bank sentral termasuk banyak negara maju untuk mengekang kenaikan tingkat inflasi telah meningkatkan biaya kredit dan menahan arus masuk keuangan yang diarahkan ke negara-negara berkembang. Dikombinasikan dengan meningkatnya risiko resesi, atau perlambatan yang signifikan di ekonomi utama seperti Uni Eropa dan China, dinamika ini meningkatkan risiko ekonomi makro bagi negara berkembang. Hal ini pada gilirannya menyebabkan meningkatnya kesulitan bagi beberapa negara dalam membiayai impor barang-barang penting dan membayar beban utang mereka, yang bagi banyak negara telah meningkat pesat selama dekade terakhir. Banyak pemerintahan terpaksa memperkenalkan langkah-langkah penghematan yang memengaruhi pendapatan dan daya beli rumah tangga. Akibatnya, tingkat kemiskinan dan kerawanan pangan akut meningkat, serta risiko kerusuhan sipil yang didorong oleh meningkatnya keluhan sosial ekonomi, kemungkinan akan terus meningkat.
Sementara itu dari sisi perdagangan, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melaporkan bahwa negara-negara anggota telah meningkatkan pembatasan perdagangan dengan skala cepat untuk pertama kalinya sejak 2009. Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala bahkan meminta anggota untuk menahan diri dari mengadopsi langkah-langkah pembatasan ekspor baru, terutama pada makanan, pakan, dan pupuk.
Menyusul perang di Ukraina, kebijakan terkait perdagangan yang diberlakukan oleh negara-negara telah melonjak. Krisis pangan global sebagian diperburuk oleh meningkatnya jumlah pembatasan perdagangan pangan yang diberlakukan oleh negara-negara dengan tujuan meningkatkan pasokan domestik dan menurunkan harga. Per 12 Desember 2022, sebanyak 19 negara telah menerapkan 23 larangan ekspor makanan, dan delapan negara telah menerapkan 12 tindakan pembatasan ekspor.
Pembatasan ini menyebabkan harga pangan menjadi tinggi, hingga akhirnya memicu krisis global, mendorong jutaan orang ke dalam kemiskinan ekstrem, memperbesar kelaparan dan malnutrisi. Menurut laporan Bank Dunia, pandemi COVID-19 juga menyebabkan kemunduran besar dalam pengentasan kemiskinan global. Kenaikan harga pangan dan energi yang dipicu oleh guncangan iklim dan konflik telah menghentikan pemulihan pandemi tersebut.
Konflik dan Penjajahan
Perubahan iklim ekstrem dan krisis ekonomi membawa pada kerawanan pangan dan kemiskinan, sementara konflik dan penjajahan memiskinkan manusia dan menjatuhkan nilai kemanusiaan. Adapun kombinasi atas ketiga faktor ini mengakibatkan krisis kemanusiaan yang mendalam dan berlarut-larut.
Di Palestina yang dijajah, lebih dari 74 tahun setelah Nakba 1948, wilayah ini terus mengalami krisis perlindungan yang tidak kunjung berakhir. Dampak penjajahan telah diperparah oleh perang di Ukraina, pemulihan yang lambat dari agresi Mei 2021 dan Agustus 2022 di Gaza, peningkatan kekerasan di Tepi Barat, dan dampak berkelanjutan pandemi COVID-19.
Perang Ukraina telah banyak membawa dampak pada kenaikan harga bahan pangan di Palestina. Pada November 2022, nilai rata-rata harga makanan telah meningkat sebesar 16,7 persen sejak awal krisis Ukraina (Februari 2022), dan sebesar 19,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam satu tahun, harga tepung gandum meningkat hingga 33,7% (November 2022/November 2021), diikuti oleh kenaikan harga minyak dan beras. Padahal, komoditas tersebut merupakan komoditas pangan mendasar yang menjadi kebutuhan pokok warga Palestina.
Pada September 2022, Tim Kemanusiaan PBB (HCT) memperkirakan bahwa sekitar 2,1 juta warga Palestina di seluruh wilayah membutuhkan beberapa bentuk bantuan kemanusiaan, dengan 64 persen atau 1,3 juta di antaranya adalah orang yang tinggal di Gaza. Termasuk di antara kelompok yang paling membutuhkan adalah 1,4 juta pengungsi, 900,000 anak-anak, dan 800,000 orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Ketahanan pangan merupakan sektor utama dan paling mendasar yang membutuhkan intervensi bantuan kemanusiaan di Palestina. Sekitar 1,75 juta orang di Palestina membutuhkan bantuan untuk memenuhi ketahanan pangan mereka. WFP pada September 2022 melaporkan bahwa mereka menghadapi kekurangan dana sebesar US$ 27 juta untuk terus memberikan bantuan makanan yang menyelamatkan nyawa warga Palestina yang rentan.
Leave No One Behind
Pada 16 Oktober 2022, dunia memperingati Hari Pangan Sedunia dengan tema besar “leave no one behind”. Di tengah krisis pangan terburuk sepanjang sejarah modern yang mengintai tahun baru 2023, semua pihak harus bekerja sama berupaya mengentaskan kelaparan dan kemiskinan.
Human Right Watch memperingatkan bahwa di bawah hukum hak asasi manusia internasional, setiap orang berhak atas standar hidup yang layak, termasuk pangan yang layak, dan hak untuk bebas dari kelaparan. Pemerintah dan komunitas internasional perlu segera memberikan dukungan kepada mereka yang paling rentan dengan meningkatkan pendanaan untuk bantuan pangan darurat dan memperluas sistem perlindungan sosial. Lembaga lainnya, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan negara-negara kreditur tidak boleh memperburuk krisis dengan mendorong negara-negara untuk menerapkan langkah-langkah penghematan dalam rencana pemulihan ekonomi Covid-19.
Penulis merupakan anggota Departemen Resource Development and Mobilization Adara Relief International yang mengkaji tentang realita anak dan perempuan Palestina. Ia merupakan lulusan Fakultas Ekonomi UI dan telah menempuh pendidikan masternya di Universitas Pertahanan Indonesia.
Daftar Pustaka
Global Report on Food Crises 2022, World Food Program, https://www.wfp.org/publications/global-report-food-crises-2022
https://www.aljazeera.com/news/2017/12/16/palestinians-in-lebanon-its-like-living-in-a-prison/
https://www.aljazeera.com/news/2022/10/6/lebanon-records-first-case-of-cholera-since-1993
https://adararelief.com/bencana-iklim-pada-2022-sebabkan-kerugian-lebih-dari-3-miliar/
https://www.hrw.org/news/2022/10/16/world-food-day-amid-global-food-crisis
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini