Dapatkah kita bayangkan, bagaimana rasanya tidak dapat menikmati matahari pagi karena terhalang tembok raksasa yang menjulang tinggi? Dapatkah kita bayangkan, bagaimana perasaan sebagai anak bangsa yang harus meminta izin untuk tinggal di tanah air sendiri. Bangsa Palestina telah merasakan semua itu karena dijajah zionis Yahudi.
Bangsa Indonesia pernah terjajah selama ratusan tahun oleh Belanda. Pedih dan beratnya siksaan memang tak pernah kita rasakan, namun bekas-bekas luka itu masih ada dan menoreh dalam hingga menyisakan sebuah tekad; penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan. Tekad ini tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia.
Demikian pula yang tengah terjadi di Palestina. Negara yang telah dijajah sejak tahun 1948 sampai saat ini. Manusia-manusia di dalamnya diperlakukan tidak semestinya. Mereka harus membayar pajak dengan nilai tak terkira atas tanah yang dimiliki nenek moyangnya berabad lamanya, kepada penjajah yang baru kemarin sore mengklaim berhak atasnya.
Kepada Al-Quds kita berkaca, bagaimana tembok-tembok beton Yahudi membatasi ruang gerak dan hidup mereka. Rumah terpisah dari halamannya. Matahari pagi tak mampu dinikmati. Karib kerabat saling terpisah. Jarak yang dekat menjadi jauh, karena beton-beton penghalang terpasang hingga 200 km panjangnya.
Kepada Al Quds kita berkaca, tentang kejamnya zionis Yahudi durjana. Sumber-sumber air bersih mereka rampas. Beraneka ragam pajak yang mencekik dikenakan kepada warga. Tak hanya pajak atas tanah dan bangunan, bahkan atas barang-barang penyokong kehidupan.
Kepada Yahudi harusnya kita tertawa, bagaimana bisa mereka datang baru kemarin sore lalu mengaku-aku Palestina sebagai tanah yang dijanjikan bagi mereka.
Kepada Yahudi harusnya kita tertawa. Dikatakannya ada 120 ribu rumah tak berizin berdiri di tanah Al-Quds. Padahal mereka telah hidup disana jauh berpuluh-puluh hingga beratus-ratus tahun sebelum Yahudi menista Palestina.
Namun bagaimana kita bisa berdiam saja atas duka mereka. Berdiam atas lapisan-lapisan tembok dan pos-pos penjagaan yang didirikan Yahudi untuk membatasi warga memasuki masjid tercinta, Al-Aqsa yang mulia. Berdiam atas yahudisasi Al-Quds dan Al-Aqsa. Berdiam atas hancurnya ratusan rumah warga Palestina tiap tahunnya. Berdiam atas aneksasi lahan-lahan sah milik warga Palestina.
Pantaskah kita berdiam atas kondisi Palestina?
Sesungguhnya perih dan luka bekas penjajahan masih tetap terasa meski 72 tahun kita telah merdeka. Lantas bagaimana dengan Palestina yang hingga kini masih merana?
Masihkah kita terdiam, sementara setiap Senin anak cucu kita berucap dengan semangat “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Tentunya kita tidak dapat berpangku tangan. Atau terdiam. Atau membisu. Sebab Palestina adalah kita. Maka hadirkanlah cinta untuknya. Juga perjuangan untuk membebaskannya.. (fnf/media)