Satu tahun agresi, Israel telah menewaskan lebih dari 42.000 warga Palestina. Kementerian Kesehatan juga menyatakan bahwa hampir 2,3 juta penduduk terpaksa mengungsi. Pemukiman sempurna hancur, dengan krisis kelaparan yang kian merajalela.
2 Oktober merupakan Hari Pembebasan Al-Quds, sebuah momen penting yang diperingati dunia sebagai simbol dukungan terhadap perjuangan rakyat Palestina melawan penjajahan Israel.
Demi meraih kembali kedaulatan Baitul Maqdis, rakyat Palestina melakukan operasi Thufan Al-Aqsa. Nahas, 7 Oktober menjadi awal dari agresi dan genosida besar-besaran yang tak kunjung usai hingga saat ini.
Memperingati satu tahun agresi, Adara Relief International menyelenggarakan webinar bertajuk “Refleksi Satu Tahun Agresi: Apa Langkah Selanjutnya untuk Pembebaskan Al-Quds?” (06/10). Webinar ini diisi oleh Ust. Agung Waspodo, S.E., M.P.P., seorang pemerhati sejarah Islam, serta mendatangkan pemuda Palestina @gazanvoices Syaima-Dua-Malik sebagai saksi langsung dari Gaza.
Ust. Agung mengutip Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, bahwa Palestina adalah permasalahan umat Islam yang sangat penting dan pertahanannya adalah kewajiban agama, moral, dan eksistensial. “Terlebih, Baitul Maqdis tempat Al-Aqsa berada merupakan kiblat pertama umat Islam, yang juga menjadi tempat Rasulullah memulai Mi’raj ke langit ke-7,” tambahnya.
Ust. Agung menyampaikan bahwa mujahid Palestina memiliki semangat juang yang luar biasa. Mereka tak akan mengibarkan bendera putih, karena mereka tak lagi memiliki baju putih melainkan sudah bersimbah darah, jadi mereka tak akan menyerah.
“Seharusnya semakin berjalannya waktu, semakin banyak keinginan kita untuk berkorban dan berjuang untuk Palestina,” ungkap Ust. Agung.
Kisah nyata yang memilukan dari Syaima, Dua, dan Malik, trio dari Gazan Voices semakin menggambarkan realita yang dialami para mujahid di Gaza.
Syaima menceritakan bahwa selama ini mereka hidup dengan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Mengungsi di tempat yang seharusnya aman, namun ternyata tempat tersebut menjadi sasaran agresi merupakan kisah yang sehari-hari mereka alami.
Saat mereka telah berhasil bermukim di tempat yang dianggap aman, kenyataannya rasa aman itu tak sepenuhnya hadir—penderitaan tetap membayangi hidup mereka.
Mereka rela mengantri hingga setengah hari untuk sepotong roti. Nahas, Israel kemudian menutup gerbang-gerbang masuknya bantuan kemanusiaan. Harga bahan pangan melonjak, satu hari hanya bisa mengonsumsi sepotong roti. Ketika persediaan semakin menipis, mereka pun berpuasa. Dua bulan lamanya mereka bertahan, hingga tubuh mereka tak sanggup lagi untuk berpuasa.
Meskipun pengungsian yang mereka tempati cukup aman, tapi sangat jauh dari kata nyaman. Tenda-tenda dibuat dari plastik, sehingga saat musim hujan mereka terendam air, dan saat musim panas mereka terbakar matahari. Krisis air juga mendera mereka. Air yang tersedia telah terkontaminasi senjata, sehingga mereka menghemat air dengan mandi satu pekan sekali.
Hadirnya Webinar Refleksi Satu Tahun Agresi diharapkan menjadi refleksi terhadap perjuangan kita untuk Palestina selama ini, untuk mengingatkan kembali betapa pentingnya semangat perjuangan pembebasan Al-Quds. Webinar ini juga turut mengulas dampak dari agresi di Gaza, serta menggalang dukungan untuk Palestina.