Sejarah Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina
Pada 1977, PBB menetapkan 29 November sebagai Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina. Tanggal tersebut dipilih bukan tanpa alasan, melainkan untuk mengingatkan bahwa pada tanggal yang sama, Israel telah memperkuat penjajahan dan sistem apartheidnya terhadap Palestina melalui pengesahan Resolusi Partisi (Partition Plan) pada 1947. Dipilihnya tanggal ini juga sebagai pengingat bahwa pada 1967, Israel terang-terangan melakukan pelanggaran dengan mengakui kota suci Al-Quds (Yerusalem) sebagai ibu kota mereka secara sepihak, tanpa memedulikan kecaman dari penduduk Palestina dan seluruh dunia.
Tujuh puluh lima tahun yang lalu, tepatnya pada 29 November 1947, Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 181 atau Resolusi Partisi mengenai pembagian wilayah Palestina menjadi dua, yaitu wilayah Yahudi dan Arab. Resolusi tersebut disetujui oleh 33 majelis, sementara 13 majelis lainnya menolak dan 10 majelis memilih untuk tidak bersuara. Sejak saat itu, sebagian besar wilayah Al-Quds dan Betlehem berada di bawah kendali internasional.
Pengesahan Resolusi Partisi membuat orang Yahudi-imigran mendapatkan bagian wilayah di pesisir sekitar Tel Aviv, sementara penduduk asli Palestina hanya mendapatkan 45 persen dari wilayah yang tersisa. Kecaman dan penolakan dari negara-negara Arab yang pro-Palestina sama sekali tidak diindahkan. Layaknya kue, tanah Palestina “dipotong” tanpa izin oleh pihak yang tidak memiliki hak atasnya, lantas “diberikan” kepada pihak yang tidak berhak menerimanya.
Resolusi ini adalah awal dari perampasan wilayah-wilayah Palestina yang terjadi selanjutnya. Hanya dalam satu tahun, wilayah Palestina yang tersisa untuk penduduk aslinya hanya 22 persen, yaitu Tepi Barat dan Gaza. Jumlah yang sangat sedikit ini kemudian diambil alih juga oleh Zionis pada 1967, membuat penduduk Palestina layaknya orang asing di tanah kelahiran mereka dan tanah nenek moyang mereka sendiri. Banyak juga yang terpaksa untuk berdiaspora mencari kehidupan baru di belahan dunia lain, sebab situasi di tanah air mereka semakin lama semakin tidak terkendali. Resolusi Partisi dapat dikatakan sebagai “gerbang baru” yang memperluas penggusuran dan pengusiran penduduk Palestina dari rumah mereka sendiri, dan tidak kunjung berhenti hingga hari ini.
Genosida Gaza dan Solidaritas Dunia yang Dipertanyakan

Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina 2024 hadir dalam keadaan yang sangat tidak manusiawi. Kita menyaksikan genosida yang terjadi secara langsung melalui akun media sosial masing-masing, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat mengklaim bahwa mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini di Gaza. November tahun ini, rakyat Gaza bertahan habis-habisan di tengah kondisi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bahkan lebih mengerikan dari film horor mana pun yang pernah kita lihat.
Selama dua kali berturut-turut, Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina telah menjadi saksi genosida Israel yang sedang berlangsung di Gaza, yang didanai dan didukung oleh AS dan pemerintah barat lainnya. Kelaparan telah dijadikan senjata, rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, dan infrastruktur sipil lainnya telah dihancurkan, begitu pula puluhan ribu rumah dan tempat-tempat penampungan. Warga yang kelaparan dibantai ketika sedang mengantre untuk mendapatkan tepung, ribuan bayi dan anak-anak hidup sebatang kara tanpa keluarga. Seperti itulah kondisi Gaza saat ini, penjara terbesar di dunia yang dibumihanguskan dari dalam oleh rezim Zionis.
Hingga November tahun ini, Israel telah menghabisi nyawa sedikitnya 44.282 warga Palestina sejak Oktober tahun lalu, sebagian besar perempuan dan anak-anak, juga melukai 105.000 lainnya. Diperkirakan 11.000 orang hilang, jasad mereka diperkirakan masih terkubur di bawah reruntuhan rumah mereka. Israel telah memblokir semua pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza utara sepanjang bulan ini, dan sektor layanan kesehatan juga telah hancur. Lebih dari 1.000 dokter dan perawat telah dibunuh oleh Israel, dan ratusan lainnya telah ditangkap. Blokade ketat menyebabkan kekurangan obat-obatan dan peralatan medis sekali pakai yang sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa para korban.
Tahun ini, peringatan 47 tahun Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina menjadi saksi atas ketidakadilan, penindasan, dan genosida yang telah dialami rakyat Palestina selama beberapa dekade. Selama itu pula, komunitas internasional telah berlaku tidak adil karena beroperasi dengan standar ganda, yakni mendukung rezim apartheid dan kolonial Zionis Israel, serta memalingkan wajah dari kejahatan brutal yang dilakukannya. Standar ganda ini seolah memberi lampu hijau kepada Zionis Israel untuk membunuh, melukai, menyiksa, dan menggusur ratusan ribu warga Palestina di hadapan seluruh dunia, sementara lembaga-lembaga dunia yang mengklaim diri mereka sebagai lembaga yang “cinta perdamaian” tidak bisa melakukan intervensi sama sekali terhadap genosida keji ini.
Perwujudan solidaritas sejati, yang dulunya mengekspresikan sikap moral dan manusiawi terhadap pembantaian yang dilakukan oleh Israel, sebagian besar telah menghilang dari masyarakat dunia, meski tidak seluruhnya. Solidaritas telah menjadi tidak lebih dari sekadar slogan-slogan kosong yang disuarakan sesaat lantas dilupakan, dan di beberapa negara bahkan aksi solidaritas dengan rakyat Palestina telah dibungkam. Seruan boikot yang ramai digaungkan, kini semangatnya perlahan mulai meredup bahkan diabaikan oleh beberapa pihak.
Di manakah sebenarnya hati nurani dunia? Di mana orang-orang yang peduli dengan kemanusiaan? Apakah masyarakat global benar-benar tidak mampu menghentikan pembunuhan anak-anak, perempuan, dan orang-orang yang tidak bersalah? Tidakkah mereka bisa berusaha memasukkan makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar bagi warga Palestina di Gaza? Bukankah seluruh dunia seharusnya melihat dan mengetahui pembantaian yang terjadi dan mendengar jeritan korban kebrutalan dan kekejaman Zionis di Gaza? Lantas ke manakah perginya makna solidaritas itu saat ini?
Implementasi Hari Solidaritas dengan Rakyat Palestina: Para Pelaku Genosida Harus Segera Ditangkap dan Diadili!

Komite PBB tentang Pelaksanaan Hak-Hak yang Tidak Dapat Dicabut dari Rakyat Palestina mengadakan pertemuan khusus untuk memperingati Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina, yang jatuh pada Jumat (29/11). Dalam kesempatan tersebut, ia mengatakan, “Hari ini kita berkumpul lagi untuk memperingati Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina, bukan hanya sebagai peringatan, melainkan juga sebagai pengingat khidmat akan janji-janji yang tidak terpenuhi, hak-hak yang ditolak, dan ketidakadilan historis,” kata Ketua Komite, Cheikh Niang.
Selanjutnya, ia menyatakan bahwa peringatan tahun ini berlangsung di tengah penderitaan dan tragedi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Niang, yang merupakan utusan Senegal untuk PBB, menyatakan, “Hak-hak yang tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina masih belum terwujud, termasuk hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, hak yang menjadi hak semua orang di bumi.” “Kami mendesak masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas guna mengakhiri penjajahan Israel untuk memastikan akuntabilitas bagi para pelindung, memberikan keadilan bagi para korban, dan menegakkan hak-hak rakyat Palestina yang telah lama tertunda,” tambahnya.
Pada 21 November 2024 Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant atas tuduhan melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama genosida yang sedang berlangsung terhadap warga Palestina di Jalur Gaza. Dengan demikian, negara-negara anggota ICC saat ini secara hukum berkewajiban untuk menangkap Netanyahu dan Gallant jika memasuki wilayah negara anggota ICC, dan menyerahkan mereka ke ICC untuk mendapatkan tindakan hukum yang sesuai.
Pelapor PBB dan pakar lainnya telah menyerukan “kepatuhan penuh” terhadap surat perintah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Kriminal Internasional untuk melakukan penangkapan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Para pakar menerbitkan pernyataan bersama pada Selasa bahwa surat perintah penangkapan “dapat membantu menyelamatkan nyawa” dan harus dihormati dan dipatuhi sepenuhnya.
Dalam menyambut keputusan ICC tersebut, para ahli mengingatkan negara-negara di seluruh dunia tentang kewajiban hukum dan moral mereka untuk menegakkan hukum internasional dan menghukum penjahat perang. “Kekuasaan untuk menegakkan surat perintah penangkapan ini berada di tangan pemerintah. Kepatuhan terhadap surat perintah penangkapan sangat penting untuk mengatasi impunitas yang sudah berlangsung lama, menguntungkan para pelaku, dan mengakhiri kejahatan berat di Wilayah Jajahan Israel.”
Jika Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina masih memiliki makna, maka tahun ini solidaritas harus berubah menjadi tindakan nyata, intervensi serius harus dilakukan oleh negara-negara dunia dan terutama masyarakat Arab, serta komunitas internasional, yang harus memenuhi tanggung jawabnya untuk menghentikan Zionis dan tindakan jahat mereka. Israel harus dimintai pertanggungjawaban; hari-hari impunitas harus diakhiri, para tokoh Zionis yang menjadi otak dari genosida harus segera ditangkap dan ditindaklanjuti, tidak hanya di Gaza, tetapi juga di seluruh wilayah Palestina.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber :
https://www.amnesty.org.au/2024-int-day-of-solidarity-with-palestinian-people/
https://www.aa.com.tr/en/middle-east/gaza-facing-most-intense-bombings-since-wwii-un-agency/3408275
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini