Pada Senin lalu, polisi Israel menggerebek dua toko buku milik warga Palestina di Al-Quds bagian timur (Yerusalem Timur) yang diduduki dan menangkap pemiliknya dengan tuduhan “mengganggu ketertiban umum.”
Menurut laporan Haaretz, polisi menyita beberapa buku dari toko tersebut dan menahan pemiliknya dengan dugaan bahwa “buku-buku yang dijual di sana mengandung hasutan.” Awalnya, tuduhan yang dikenakan adalah “menghasut dan mendukung terorisme,” tetapi kemudian diubah menjadi “mengganggu ketertiban umum.”
Pemilik toko buku yang ditangkap adalah Mahmoud Muna dan keponakannya, Ahmad Muna, pemilik Educational Bookshop di Al-Quds. Menurut saksi mata, keduanya ditangkap sekitar pukul 3 sore oleh polisi Israel yang menyamar. Mereka diborgol dan dibawa pergi sementara toko mereka digeledah secara brutal. Banyak publikasi, termasuk buku-buku yang menampilkan bendera Palestina, disita.
“Mereka menggunakan Google Translate untuk menerjemahkan buku-buku, dan mereka menyita segala hal yang tidak mereka sukai,” ujar Murad Muna, saudara Mahmoud. “Bahkan sebuah koran Haaretz dengan gambar tawanan mereka anggap sebagai hasutan.”
Pengacara yang mewakili Mahmoud dan Ahmad, Nasser Odeh, menegaskan bahwa perubahan tuduhan ini mencerminkan kurangnya bukti terhadap tuduhan awal. “Untuk membuka penyelidikan atas dugaan hasutan, polisi memerlukan persetujuan dari kejaksaan publik. Tampaknya mereka menyadari bahwa tidak ada peluang untuk mendapatkan persetujuan tersebut, sehingga mereka mengubah dakwaan menjadi ‘mengganggu ketertiban umum.’ Saya belum pernah menemui kasus seseorang ditahan semalam hanya karena dugaan pelanggaran ini,” jelasnya.
Meskipun tidak ada bukti kuat, Mahmoud dan Ahmad tetap ditahan semalaman dan dihadapkan ke pengadilan untuk memperpanjang masa penahanan mereka. Menurut pernyataan dari penerbit Saqi Books, setelah sidang pagi berikutnya, penahanan mereka diperpanjang selama 24 jam, kemudian mereka akan dikenakan hukuman tawanan rumah selama tujuh hari.
Educational Bookshop sendiri merupakan toko buku yang didirikan pada 1984 oleh ayah Mahmoud, Ahmad Muna. Toko ini dikenal karena menjual buku dalam bahasa Arab dan Inggris tentang masalah Israel-Palestina serta sejarah Al-Quds (Yerusalem). Semua buku yang dijual di toko ini diimpor ke Israel melalui pelabuhan Ashdod dan telah melalui pemeriksaan oleh otoritas Israel.
Penangkapan Mahmoud dan Ahmad Muna menjadi pengingat nyata tentang upaya sistematis untuk membungkam kebebasan berbicara dan membatasi akses terhadap informasi yang menantang pendudukan Israel atas Palestina. Dalam pernyataan resminya, Saqi Books menegaskan, “Kebebasan berekspresi adalah pilar utama masyarakat yang adil. Tidak ada keamanan sejati tanpa kebebasan membaca, dan tidak ada kebebasan membaca tanpa penjual buku yang dapat bekerja dengan aman dan bebas.”
Lynn Gaspard, penerbit Saqi Books, menambahkan, “Ini adalah momen suram bagi budaya dan kebebasan ketika orang bisa ditangkap hanya karena menjual buku, sementara isi buku mereka disaring dan disita. Paralelisme sejarahnya jelas dan mengerikan.”
Sementara itu, ketegangan di Tepi Barat yang diduduki terus meningkat. Sejak agresi Gaza terjadi pada 7 Oktober 2023, lebih dari 910 warga Palestina di Tepi Barat telah terbunuh dan hampir 7.000 lainnya terluka akibat serangan tentara Israel dan pemukim ilegal, menurut Kementerian Kesehatan Palestina.
Kasus ini mencerminkan ketatnya kontrol Israel terhadap narasi dan informasi yang beredar di Palestina, serta semakin sempitnya ruang bagi kebebasan berekspresi di bawah pendudukan.
Sumber:
https://www.middleeastmonitor.com
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini