Mengenang Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November adalah mengenang pertempuran rakyat Indonesia melawan tentara Sekutu di Surabaya. Pertempuran Surabaya merupakan perang pertama bangsa Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Salah satu pemicu pertempuran ini adalah tewasnya Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, hingga ultimatum Inggris agar Indonesia menyerah. Namun, rakyat Indonesia memilih untuk bertempur habis-habisan mempertahankan kemerdekaan RI yang ketika itu belum genap 100 hari.
Melalui siaran radio, Bung Tomo dengan semangat berapi-api mengajak rakyat Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!” Pada 10 November 1945, pecahlah pertempuran antara rakyat Indonesia di Surabaya dan tentara Inggris. Sebanyak 24.000 tentara Inggris dikerahkan untuk menggempur Surabaya di bawah komando Mayjen Robert Eric Carden Mansergh.
Di antara para pejuang yang berlaga di medan tempur kala itu adalah Pemuda Putri Republik Indonesia (PPRI). PPRI merupakan organisasi rakyat yang bersifat ketentaraan atau militer. Kegiatan PPRI diarahkan untuk membantu tentara Indonesia yang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Di garis depan mereka mengirimkan makanan dan memberi pertolongan medis kepada prajurit yang terluka. Di garis belakang, mereka menyelenggarakan dapur umum sebagai usaha pengadaan bahan makanan bagi prajurit dan membantu pengungsian masyarakat ketika meletusnya pertempuran.
Lukitaningsih, ketua PPRI, sejak jauh-jauh hari telah mengajak para perempuan untuk bergabung dalam usaha pembelaan kemerdekaan melalui surat kabar Soera Rakjat pada 24 Oktober 1945. “Kepada segenap pemudi pecinta tanah air yang berhasrat dalam pembelaan, harap mendaftarkan diri di Jalan Sawo No.14, Surabaya, untuk masuk asrama yang disediakan oleh masing-masing kewedanan (wilayah-red),” tulis surat kabar itu.
Sementara itu, para pemudi Arab menyambut ajakan Lukitaningsih dan turut bergabung ke dalam PPRI. Seorang pemudi Arab dalam pidatonya menyerukan, “Saudari-saudariku golongan Arab, bantulah perjuangan saudara Indonesia. Jika pemuda Arab sudah membantu perjuangan pemuda Indonesia, maka putri Arab sudah semestinya membantu putri Indonesia dengan menggabungkan diri di PPRI, Pemuda Putri Republik Indonesia. Oleh karena kita lahir di Indonesia, hidup di Indonesia, menghirup hawa Indonesia, mungkin juga kita mati dikubur di bumi Indonesia, maka putri Arab sudah seharusnya dengan sungguh-sungguh membantu bangsa Indonesia, baik berupa harta, maupun benda, dan lain-lainnya.” Pemudi Arab di PPRI ini dipimpin oleh Nyonya Kalsum dan Nyonya Aminah.
Pada 10 November 1945, bom-bom Sekutu berjatuhan dari darat, laut, dan udara, menandakan bahwa pertempuran besar telah meletus di Surabaya. Pertempuran tersebut merupakan pengalaman pertama bagi para anggota organisasi PPRI untuk terjun ke medan pertempuran, meskipun mereka belum sempat menyelesaikan pelatihan kelaskaran.
Pada waktu itu, secara spontan PPRI membentuk tenaga Palang Merah Khusus dan selanjutnya menjadi Palang Merah tentara yang mengurus korban dalam pertempuran dari garis depan, untuk diangkut ke pos-pos Palang Merah atau ke rumah sakit terdekat. Tidak main-main, anggota PPRI harus mengikuti latihan keterampilan P3K di Centrale Burgere Ziekenhuis (RSUP Simpang), di bawah pimpinan dokter Sutopo dan istri. PPRI sebagai tenaga kesehatan ini bertugas dalam merawat pejuang yang terluka hingga menguburkan pejuang yang tewas.
Di belakang garis tempur, para perempuan pejuang memastikan dapur umum tetap mengepul, mengurus makanan bagi para pejuang agar perjuangan mereka bernafas panjang. Dapur umum ini tersebar di seluruh kota, dengan pusatnya berada di Jalan Pregolan, dekat dengan markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) Kaliasin.
Rakyat Indonesia sangat bersimpati dengan para pejuang di Surabaya. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya makanan dan nasi bungkus yang dikirimkan melalui kereta api yang bergerak menuju Surabaya. Semakin dekat dengan Surabaya, kiriman nasi bungkus atau makanan lainnya pun akan semakin banyak. Hal ini membuat khawatir relawan dapur umum jika makanan tersebut sampai di tangan para pejuang dalam kondisi basi.
Bung Tomo yang sangat perhatian dengan urusan logistik, meminta agar sumbangan makanan dikirimkan dalam bentuk bahan mentah untuk kemudian dialirkan ke dapur-dapur umum dan diolah. Setelah makanan siap, kurir akan mengirim makanan ke markas para pejuang dengan menggunakan ambulans.
Relawan dapur umum kebanyakan diisi oleh ibu-ibu. Salah satunya adalah Ibu Dariyah yang kerap disebut Bu Dar “mortir”. Sematan kata mortir di belakang namanya bermula dari proses pengambilan ransum makanan yang kadang tidak tertib. Ketika itulah Bu Dar akan melempar kunyahan daun sirih dan susur (tembakau) kepada prajurit yang bandel. Kunyahan sirih dan susur yang dilempar itu bentuknya bulat, seperti mortir. Bu Dar juga pernah menukar perhiasannya seberat 100 gram dengan bahan makanan agar bisa menyediakan makanan bagi para pejuang yang mundur ke Jombang.
Dikutip dari The Jakarta Post, sejarawan Australia Frank Palmos, dalam bukunya yang berjudul Surabaya 1945: Sakral Tanahku, menuliskan bahwa komandan Inggris dan Belanda tidak dapat memahami bagaimana kaum revolusioner mendapatkan makanan dan air untuk terus berjuang. “Pahlawan di balik layar adalah seorang wanita Jawa Timur berusia 42 tahun yang dikenal di seluruh Surabaya sebagai Dar Mortir (nama asli Darijah Soerodikoesoemo),” tulisnya.
Kisah heroik lain dialami oleh dua sejoli Riet dan Boenakim. Riet adalah anggota palang merah, sementara suaminya, Boenakim, merupakan komandan pos di dekat Pasar Kupang. Ketika itu, pasukan Inggris menyerang Banyuurip, Surabaya, secara membabi buta dengan tembakan ke segala arah. Sebuah peluru menembus dada Boenakim hingga melubangi punggungnya. Darah mengalir dari dada, punggung, mulut, dan telinga Boenakim, sementara dalam kepanikannya, Riet berusaha memberi pertolongan kepada suaminya. Nyawa Boenakim tidak tertolong. Ia wafat di pangkuan istrinya pada pagi hari, 11 November 1945. Riet kemudian membawa jenazah suaminya untuk dikuburkan di dekat rumahnya.
Seolah tidak ada waktu untuk berduka, malam harinya, Riet kembali bergabung dengan pejuang lain di Banyuurip. Ia merangkap tenaga kesehatan yang juga sibuk bekerja di dapur umum, serta dilibatkan dalam rapat-rapat strategis. Beberapa hari setelahnya, Inggris kembali menyerang Pos Banyuurip, memaksa pejuang dan pengungsi untuk berpindah tempat, hingga akhirnya harus mundur dari Surabaya.
Para pejuang bangsa telah berupaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan sehormat-hormatnya, sekalipun harus mengorbankan segala hal yang dimiliki. Awalnya, Inggris sesumbar bahwa Surabaya dapat ditaklukkan dalam waktu tiga hari. Nyatanya, perlawanan sengit yang dilancarkan seluruh komponen rakyat Indonesia yang ketika itu berada di Surabaya, menjadikan pertempuran Surabaya molor menjadi tiga pekan, hingga 3 Desember 1945.
Pasukan Inggris menyebut pertempuran Surabaya sebagai inferno atau neraka di timur Jawa, saking sengitnya perlawanan rakyat yang mereka hadapi. Dikutip dari Historia, Mayor R.B. Houston dari Batalyon Gurkha Rifles ke-10 dalam What Happened in Java: History of 23rd Division, mengungkapkan “Pasukan Indonesia hanya bisa diusir dari Surabaya setelah pengeboman artileri dan penembakan meriam dari kapal perang secara besar-besaran.”
M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1993), sebagaimana dikutip Tirto, mencatat bahwa dampak dari peristiwa bersejarah ini menewaskan setidaknya 6.000—16.000 orang dari pihak Indonesia. Sedangkan korban tewas dari pasukan Sekutu diperkirakan sejumlah 600—2.000 orang. Selain itu, menurut Stanley Woodburn Kirby dalam The War Against Japan (1965), pertempuran Surabaya menyebabkan tidak kurang dari 200.000 rakyat sipil terpaksa mengungsi dari Surabaya ke daerah-daerah yang lebih aman.
Kisah Lukitaningsih dan PPRI, Bu Dar “mortir”, juga Riet, hanyalah sekelumit kisah perjuangan yang mencatat peran penting perempuan dalam pertempuran besar di Surabaya. Mereka merayap dalam terang dan gelap untuk menolong para pejuang yang terluka serta menguburkan mereka yang gugur. Di antara desing peluru, mereka maju mengantarkan makanan kepada pejuang di garis depan. Mereka memastikan asap di dapur-dapur umum tetap mengepul agar prajurit tetap terpenuhi kebutuhan logistiknya. Di pertempuran Surabaya, para perempuan pejuang pun turut meninggalkan jiwa dan raga mereka di medan laga. (LMS)
Sumber:
Alvi Dwi Ningrum. 2014. Laskar Pemuda Putri Republik Indonesia dalam Revolusi di Surabaya Tahun 1945—1946. Diakses di https://repository.unair.ac.id/14680/16/16.%20Bab%203.pdf
https://historia.id/politik/articles/riwayat-radio-pemberontakan-bung-tomo-DAl8X/page/3
https://historia.id/militer/articles/pertempuran-surabaya-dari-mata-perempuan-v5EwA/page/2
https://historia.id/militer/articles/akhir-pertempuran-surabaya-P1Bb4/page/2
https://historia.id/politik/articles/dapur-umum-dapur-ngebul-senapan-ngepul-6kKa6/page/1
https://roodebrugsoerabaia.com/2015/05/mengenal-bu-dar-mortir/?v=b718adec73e0
https://www.thejakartapost.com/life/2017/05/02/celebrating-the-combat-cooks.html
https://tirto.id/hari-pahlawan-peran-besar-kaum-perempuan-di-pertempuran-surabaya-elbN
https://tirto.id/kronologi-pertempuran-surabaya-sejarah-latar-belakang-dampak-gaMi
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini