Sejak 26 Juli 2024, salah satu ajang olahraga terbesar di dunia telah dimulai. Olimpiade 2024 yang digelar di Paris, membawa kegembiraan, sukacita, dan solidaritas bagi para penggemar olahraga di seluruh dunia. Jutaan penggemar olahraga dari seluruh dunia akan hadir menyaksikan langsung atau menonton melalui layar kaca untuk mendukung para atlet yang mengenakan seragam dengan warna bendera nasional negara masing-masing. Dalam Olimpiade yang akan berlangsung hingga 11 Agustus 2024, para atlet tentunya akan saling berkompetisi, di samping menyampaikan pesan penting kepada dunia: berusaha membuat olahraga menyatukan orang-orang dari seluruh dunia.
Namun, bagi warga Palestina, terutama para korban agresi genosida Israel di Gaza, Olimpiade 2024 lebih terlihat seperti pengalihan perhatian dunia dari penderitaan mereka. Jutaan anak Palestina yang cacat, yatim piatu, mengungsi, dan trauma akibat agresi Israel bahkan tidak akan menyadari dan peduli pada kompetisi olahraga global yang berlangsung di Prancis tersebut. Mereka akan terlalu sibuk berusaha mencari air, makanan, dan tempat berteduh serta meratapi orang-orang terkasih yang dibunuh, rumah-rumah yang dihancurkan, dan masa depan mereka yang dicuri, dibandingkan untuk memperhatikan siapa yang berlari paling cepat atau melompat paling tinggi di Olimpiade Paris.
Mimpi-mimpi mereka meredup, terutama melihat fakta bahwa lebih dari 400 atlet di Gaza telah meninggal sejak dimulainya agresi pada bulan Oktober, berdasarkan angka dari Middle East Monitor pada akhir Juli lalu. Asosiasi Sepak Bola, dilansir dari Anadolu Agency, juga mencatat bahwa agresi telah membunuh 245 pemain sepak bola, termasuk 69 anak-anak dan 176 pemuda, serta sekitar 33 anggota pramuka dan 70 anggota serikat olahraga
Di antara para atlet yang dibunuh, terdapat atlet Olimpiade dan pembawa bendera pertama Palestina, Majed Abu Maraheel, yang meninggal pada bulan Juni karena gagal ginjal dan diperparah oleh blokade bantuan di kamp pengungsi. Maraheel telah berkompetisi di lomba lari 10.000 meter di Olimpiade Atlanta tahun 1996. Pada Januari, pelatih tim sepak bola Olimpiade Palestina, Hani Al-Mossader, terbunuh akibat serangan udara Israel. Pada bulan yang sama, Nagham Abu Samra, juara karate yang seharusnya juga berpartisipasi dalam Olimpiade Paris, meninggal di sebuah rumah sakit di Mesir setelah meninggal karena luka-luka pasca kakinya diamputasi.
Pada bulan Maret, Mohammed Barakat, yang dijuluki “legenda Khan Younis,” terbunuh dalam serangan yang menargetkannya di Gaza selatan. Hazem Al-Ghalban juga terbunuh akibat pengeboman Israel di Khan Younis, ia adalah bek berusia 26 tahun yang telah mencetak tujuh gol selama kariernya. Shadi Abu-Alarraj, penjaga gawang terkenal untuk Klub Pemuda Khan Younis, juga dibunuh hanya sepekan sebelum pembukaan Olimpiade Paris. Dan sedihnya, agresi belum juga usai, yang artinya nyawa para atlet di Gaza masih sangat terancam.
Paris di satu sisi adalah mimpi yang menjadi kenyataan bagi banyak atlet berprestasi dari seluruh dunia yang tampil di panggung olahraga terbesar tersebut. Namun, setelah lebih dari sebelas bulan agresi Israel di Gaza, Valerie Tarazi, salah satu atlet Palestina-Amerika, mengatakan bahwa partisipasinya dalam ajang olahraga bergengsi tersebut lebih merupakan tindakan mengenang para martir. Sebagai seorang anak dari diaspora Palestina yang tumbuh di negara yang sangat jauh dari tanah airnya, Tarazi, yang akan berkompetisi dalam kategori renang 200 m, mengatakan bahwa ini adalah salah satu cara “merayakan” hubungannya dengan keluarganya di Gaza.
Valerie mengatakan bahwa berita tentang pengeboman di Gaza sangat berdampak buruk bagi atlet Palestina, terutama yang akan bertanding seperti dirinya. Ia mengatakan empat anggota keluarga besarnya terbunuh ketika sebuah gereja diserang oleh bom Israel Desember lalu. “Ini berdampak buruk bagi kami,” katanya, mengacu pada meningkatnya jumlah korban tewas di Gaza yang kini nyaris mencapai 40.000 jiwa. “Mereka adalah teman-teman kami, keluarga kami, rekan satu tim kami, atau anggota tim nasional,” katanya. “Sedikit rasa sakit yang saya rasakan sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang harus mereka lalui setiap hari.”
Tidak Ada Olimpiade di Surga untuk Atlet Palestina
Sejak 7 Oktober, Jalur Gaza telah menjadi lokasi tragedi horor yang belum pernah terjadi sebelumnya, ketika jutaan orang terkurung di penjara terbesar di dunia yang satu per satu lokasinya dijatuhi bom, tanpa menyisakan satu meter pun tempat yang aman. Nyaris 40.000 orang telah kehilangan nyawa, termasuk lebih dari 15.000 anak-anak, dan hampir 90.000 lainnya menderita luka-luka.
Mereka yang masih bertahan hidup pun nasibnya tidak lebih baik. Ada yang harus menahan sakitnya operasi tanpa anestesi, kehilangan anggota tubuh, serta menyaksikan banyak anak-anak yang orang tua dan keluarga mereka terbunuh satu per satu. Serangan Israel juga telah menghancurkan sebagian besar sekolah dan rumah sakit, juga stadion olahraga dan universitas. Gaza yang dulunya merupakan rumah bagi lebih dari dua juta orang, kini sebagian besar hanya menyisakan puing-puing.
Di tengah kekacauan agresi, seorang atlet berprestasi, Tamer Qaoud, sempat berani bermimpi untuk bisa mengikuti Olimpiade Paris. Akan tetapi, Tamer mengatakan bahwa dia tidak dapat meninggalkan Gaza dengan kondisi rumahnya di Gaza yang telah dihancurkan, membuat ia dan keluarganya dipaksa pindah dua kali selama agresi tanpa kepastian mereka akan aman. Mereka sekarang tinggal di sebuah tenda pengungsian di Deir el-Balah, di tengah Jalur Gaza. “Mimpi saya adalah mencapai Olimpiade,” ia mengatakan kepada BBC. “Sayangnya, karena agresi dan keadaan, kami tidak dapat meninggalkan Gaza.”
Tamer hanya bisa berlatih berlari seadanya hingga setahun yang lalu dan capaian waktu terbaiknya masih jauh di luar batas kualifikasi Olimpiade. Akan tetapi, peluang dan semangat sekecil apa pun yang mungkin ia miliki untuk bisa berkompetisi di Paris, dengan cepat menjadi sirna. “Saya ingin bersaing dengan atlet terbaik dunia, seperti Jakob,” katanya, mengacu pada juara dunia lari 1.500 meter putra saat ini, Jakob Ingebrigtsen. “Saya ingin berlari bersamanya, untuk merasakan bagaimana rasanya bersaing dengan atlet terbaik dunia,” ia mengatakan mimpinya di tengah tenda, debu, dan pohon kurma di Deir el-Balah. Meski harapannya setiap hari semakin meredup, namun ia memilih untuk tetap berlatih, mengenakan seragam Palestina putihnya, disaksikan oleh sekelompok kecil anak-anak yang kebingungan.
Tempat latihan lama Tamer, Stadion Yarmouk di Kota Gaza, telah berubah menjadi tempat pembuangan sampah dan tempat berkumpulnya keluarga-keluarga Palestina yang mengungsi, yang mencari perlindungan di antara tribun. Sebelumnya, Pemantau hak asasi manusia Euro-Med menyoroti bahwa tentara Israel sempat mengubah Stadion Yarmouk di Kota Gaza menjadi pusat penahanan “untuk menahan dan mempermalukan ratusan warga Palestina, termasuk anak-anak, yang ditampilkan telanjang atau ditelanjangi dalam rekaman yang diterbitkan oleh media Israel pada bulan Desember 2023.”
Anadolu Agency mencatat bahwa puluhan fasilitas olahraga, termasuk pusat kebugaran, aula pelatihan, lapangan, dan stadion, telah rusak atau dihancurkan sejak 7 Oktober. Sebanyak 42 fasilitas telah dihancurkan di Gaza, sementara tujuh fasilitas lainnya hancur di Tepi Barat, kata Asosiasi Sepak Bola Palestina. Israel juga telah menghancurkan sekolah-sekolah sepak bola, termasuk Akademi Al-Wahda dan Akademi Champions, yang merupakan salah satu proyek sepak bola paling menjanjikan di Gaza.
Stadion-stadion di Gaza yang awalnya berdiri gagah, diubah oleh pasukan Israel menjadi pusat penahanan. Hanya tersisa satu stadion, yakni Stadion al-Dorra, dari 10 stadion di daerah kantong itu. Laporan yang diterbitkan pada bulan Mei lalu bahkan menunjukkan bahwa fasilitas yang dibuldozer dan dihancurkan termasuk “300 lapangan lima sisi, 22 fasilitas kolam renang, 12 aula olahraga tertutup untuk basket, voli, dan bola tangan, 6 stadion tenis, serta 28 pusat olahraga dan kebugaran.”
Olimpiade Dunia, Atau Olimpiade Apartheid?
Dalam konteks yang belum pernah terjadi sebelumnya, Olimpiade Paris seharusnya tidak boleh dilanjutkan, seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan berpartisipasinya Israel dalam ajang olahraga global ini. Menurut Piagam Olimpiade, Olimpiade berupaya menciptakan cara hidup yang didasarkan pada, antara lain, “penghormatan terhadap hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan prinsip-prinsip etika fundamental universal”.
Selain itu, telah diketahui secara umum bahwa Israel secara terang-terangan melanggar hak asasi manusia dan “prinsip etika fundamental universal” tanpa konsekuensi apa pun sejak mereka “mendirikan negara” di atas tanah yang bukan hak mereka. Selama 76 tahun lebih, Israel telah menerapkan aturan apartheid terhadap warga Palestina dan membuktikan ketidakmampuannya dalam mematuhi hukum humaniter internasional, juga tentunya nilai-nilai dasar Olimpiade.
Olimpiade Paris telah diliputi kontroversi sejak awal, terutama karena kemunculan tim Israel bahkan saat negara penjajah tersebut melakukan genosida yang sangat nyata di Gaza. Jutaan orang telah menandatangani petisi yang menyerukan Komite Olimpiade Internasional (IOC) untuk melarang Israel–yang atlet-atlet dan pendukungnya hampir semuanya bertugas atau mendukung tugas pasukan brutal pembunuh anak-anak– untuk berpartisipasi dalam olimpiade karena kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mereka lakukan selama bertahun-tahun.
Petisi tersebut bukanlah inisiatif yang berlebihan, mengingat atlet Rusia dan Belarus juga telah dilarang mengikuti Olimpiade Paris karena invasi Rusia ke Ukraina, dan kemungkinan sabotase Rusia memicu kekhawatiran menjelang Olimpiade Paris. Banyak yang telah menyoroti standar ganda panitia Olimpiade yang berani untuk mengecualikan Rusia, namun masih mengizinkan Israel untuk ikut serta. Dan jika dilihat ke belakang, Rusia bukanlah satu-satunya negara yang dikecualikan dari Olimpiade. Afrika Selatan, negara yang dulunya menganut apartheid, juga sempat dilarang untuk berpartisipasi dalam Olimpiade tahun 1964 dan 1968. Bahkan, pada bulan Mei 1970, negara itu dikeluarkan sama sekali dari daftar peserta Olimpiade. Pengecualian Afrika Selatan dari Olimpiade merupakan konsekuensi dari pelanggaran aturan pertama Piagam Olimpiade, yang secara tegas melarang diskriminasi terhadap negara atau individu mana pun berdasarkan ras, agama, atau afiliasi politik. Negara tersebut baru diterima kembali dalam Olimpiade setelah jatuhnya apartheid pada tahun 1991.
Di tengah kenyataan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Gaza, masih saja ada sebagian orang yang mengatakan bahwa Israel harus diizinkan untuk berpartisipasi karena “politik dan olahraga harus dipandang secara terpisah,” dan yang lainnya mengklaim Israel tidak boleh dihukum karena “mempertahankan diri dari Hamas”. Faktanya, tidak ada argumen yang kuat dan bisa dibenarkan atas pembunuhan massal anak-anak, penghancuran sekolah secara sistematis, dan penghancuran rumah sakit, bahkan penargetan terhadap atlet dan penghancuran sarana-sarana olahraga.
Tindakan tersebut bukanlah “tindakan membela diri” atau sekadar perselisihan politik yang dapat dikesampingkan saat bermain dalam ajang olahraga. Hal itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak boleh diabaikan atau dimaafkan dalam konteks apa pun, dan setiap pihak yang terlibat dalam kejahatan semacam itu seharusnya dikecam dan dikucilkan secara global, tanpa standar ganda.
Bukan Olahraga, Melainkan Palestina yang Menyatukan Dunia
Saat ini, Olimpiade telah berlangsung hingga hampir mencapai hari terakhir, dan tampaknya para pejabat masih tetap keras hati menolak untuk menegakkan nilai-nilai Olimpiade dan mengecualikan Israel pada Olimpiade tahun ini. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk terus menyoroti kejahatan Israel yang masih terus berlanjut terhadap Palestina. Jika mereka menjadikan Olimpiade ini sebagai ajang untuk memamerkan hipokrisi dunia terhadap Palestina, maka kita balas dengan menunjukkan dukungan tanpa henti untuk Palestina.
Selama Olimpiade berlangsung, beredar video penonton di Paris yang lantang berbicara tentang Palestina dengan mengumandangkan nyanyian dan protes, atau membawa spanduk dukungan untuk Palestina. Para atlet juga dengan bangga memanfaatkan perhatian yang tertuju pada mereka untuk menunjukkan dukungan dan perhatian mereka ke Gaza. Mereka menggelar protes dengan cara mereka sendiri, seperti mengenakan keffiyeh di hadapan kamera yang menyorot.
Olimpiade tahun ini memang dalam prinsipnya telah kehilangan makna dan menjadi sekadar tontonan kosong yang dibuat untuk menghibur massa dan meningkatkan perekonomian. Namun demikian, di sisi lain, ajang ini juga merupakan momen untuk menyaksikan siapa yang masih punya nurani dan siapa yang hatinya telah mati. Pada kenyataannya, dalam Olimpiade Paris 2024 ini, sebenarnya bukan olahraga, melainkan Palestina, yang telah menyatukan orang-orang dari seluruh belahan dunia.
Kembali ke kolam renang di Paris, perenang Palestina lainnya, Yazan al-Bawwab, mengatakan bahwa ia bangga menjadi utusan untuk negara yang bahkan untuk bertahan hidup saja merupakan tantangan, apalagi untuk berlatih olahraga. Di samping itu, Yazan al-Bawwab mengatakan dengan tegas bahwa ia mengenakan seragam Olimpiade Palestinanya dengan bangga “Kami tidak memiliki kolam renang (berstandar internasional) di Palestina,” katanya. “Kami tidak memiliki infrastruktur.”
Seperti Tarazi, al-Bawwab lahir dan dibesarkan di luar negeri, tetapi ia memilih untuk mengenakan seragam dan identitasnya dengan penuh percaya diri. “Prancis tidak mengakui Palestina sebagai sebuah negara,” kata al-Bawwab dengan nada menantang, mengulang kalimat tersebut untuk penekanan. “Tapi saya di sini, mengibarkan bendera (Palestina).”
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber :
https://www.bbc.com/news/articles/cz475vdd97qo
https://www.middleeastmonitor.com/20240729-france-wins-olympic-gold-for-hypocrisy/
https://www.sportspolitika.news/p/list-athletes-gaza-killed-israel-war
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini