4. Pembantaian Al-Nuseirat
Untuk membebaskan empat sandera mereka, Israel dengan darah dingin menghabisi 300 nyawa warga sipil Palestina, setidaknya itulah yang terjadi dalam pembantaian Kamp Pengungsi Nuseirat di Gaza pada 8 Juni 2024 lalu. Pembantaian Al-Nuseirat dianggap oleh Israel sebagai “harga yang pantas” untuk membebaskan empat sandera Hamas yang ditangkap pada 7 Oktober 2023, tepat pada hari pertama agresi. Keempat sandera tersebut yaitu Noa Argamani (25), Almog Meir Jan (21), Andrey Kozlov (27), dan Shlomi Ziv (40).
Serangan dimulai sekitar pukul 11 pagi, menurut para saksi. Mereka menyatakan bahwa sebelum terjadi serangan ada beberapa truk dan mobil sipil yang memasuki lingkungan di dekat pasar di Kamp Al-Nuseirat. Satu kendaraan terlihat seperti membawa perabotan agar tampak seperti sedang mengangkut barang-barang milik pengungsi, sementara kendaraan yang lain memakai logo perusahaan dagang, dan ada juga yang tampak seperti kendaraan sipil biasa.
Sebelum warga sipil menyadari “konvoi tipuan” Israel tersebut, Israel membantai kamp Al-Nuseirat dengan brutal. Sementara itu, untuk memberikan perlindungan dari udara, pasukan Israel mulai membombardir warga Palestina dari atas, menghantam pasar yang ramai dengan ledakan besar untuk menyebarkan kepanikan sebanyak mungkin, serta menimbulkan lebih banyak korban. Saat situasi tidak menentu, konvoi kendaraan tersebut memisahkan diri, mereka berpisah menuju ke masing-masing lokasi tempat sandera berada.
Al-Jazeera melaporkan bahwa tiga sandera ditahan di satu lokasi, sedangkan satu sandera lainnya berada di lokasi yang berbeda. Israel juga mengirim kendaraan lapis baja yang bergerak dari Jalan Salah al-Din di antara Kamp Nuseirat dan Bureij untuk mengambil kembali para sandera. Kemudian, sejumlah tentara Israel mendarat dengan helikopter di pantai Gaza, tidak jauh dari dermaga yang dibangun AS. Keempat sandera itu dengan segera melompat ke helikopter militer Israel dan lepas landas, meninggalkan pembantaian di belakang mereka yang masih berlanjut.
Video : https://youtu.be/2il2B_pncHo?si=gvH5gpeH_eTSlSy0
Warga sipil Palestina korban pembantaian yang terluka segera dibawa ke Rumah Sakit Al-Awda dan Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di Deir el-Balah, meski fasilitas medis tersebut sudah sangat kewalahan karena kurangnya pasokan medis dan bahan bakar, serta staf medis yang banyak berguguran. Beberapa petugas medis yang tersisa di rumah sakit berdiri di tengah-tengah banyaknya orang yang tergeletak di lantai, yang semuanya dalam kondisi menderita, bersimbah darah, dan menjerit. Petugas medis bahkan digambarkan tidak dapat lagi bergerak karena begitu banyak pasien yang tergeletak di setiap inci persegi lantai keramik rumah sakit.
Meski tenaga medis telah berusaha keras, mereka tidak bisa menyelamatkan nyawa 274 warga sipil, termasuk 64 anak-anak yang terbunuh dalam pembantaian yang berlangsung kurang dari satu jam tersebut. Hal yang bisa mereka usahakan adalah merawat 700 nyawa korban terluka pasca pembantaian Al-Nuseirat, berdasarkan angka dari Kementerian Kesehatan Gaza. Mirisnya, kebanyakan korban pembantaian Al-Nuseirat adalah para pengungsi yang sebelumnya optimis bahwa Al-Nuseirat adalah wilayah yang “seharusnya aman dari pengeboman” karena terdapat fasilitas medis untuk operasi dari UNRWA dan Rumah Sakit Al-Awda.
Dr Tanya Haj-Hassan, seorang dokter perawatan intensif anak di Doctors Without Borders (MSF), menggambarkan Rumah Sakit Al-Aqsa sebagai “pertumpahan darah total”, seraya menambahkan bahwa rumah sakit itu tampak “seperti rumah jagal” setelah Israel membombardir kamp pengungsi Al-Nuseirat. “Itu adalah pembantaian paling mengerikan yang pernah saya lihat, dari sekian banyak pembantaian oleh Israel yang saya saksikan selama agresi ini,” tambah Ahmad Labbad, pengungsi yang menyaksikan pembantaian tersebut.
5. Pembantaian Al-Mawasi
“Kepalanya ada di sana! Kepalanya ada di sana!” “Siapa yang tahu siapa anak ini? Siapa yang tahu keluarganya? Di mana orang tuanya?” “Saya menemukan potongan-potongan tubuh putri saya di pohon!” Kalimat-kalimat tersebut bukanlah potongan dialog dari drama atau film action, melainkan kalimat yang keluar dari warga Gaza yang menjadi korban pembantaian Israel di Al-Mawasi, sebuah daerah di pesisir pantai Gaza yang sebelumnya disebut oleh Israel sebagai “Zona Aman”.
Al-Mawasi adalah kamp pengungsian yang terletak di pesisir pantai di sebelah barat Khan Younis yang menjadi tempat tinggal bagi lebih dari 80.000 pengungsi. Ditetapkan sebagai “Zona Aman” oleh Israel, wilayah ini sebenarnya sangat tidak mencerminkan sebutan tersebut, sebab apa yang bisa membuat orang-orang di dalamnya aman ketika yang ada di sana hanyalah lautan tenda di pinggir pantai? Sama sekali tak ada tempat untuk berlindung di daerah tersebut ketika Israel membantai pengungsi di Al-Mawasi pada 13 Juli 2024.
Pada pukul 10 pagi, ketika orang-orang hendak memulai hari mereka, militer Israel menargetkan daerah tersebut dengan serangan udara berturut-turut. Pesawat tempur Israel menyerang tenda-tenda yang menampung warga Palestina yang mengungsi dan unit penyulingan air di Al-Mawasi, menimbulkan kepanikan besar. Tareq Abu Azzoum dari Al-Jazeera mengatakan bahwa Israel menjatuhkan “lima bom dan lima rudal” ke Al-Mawasi pagi itu. Menurut Kementerian Kesehatan di Gaza, serangan tersebut membunuh 90 orang dan melukai lebih dari 300 orang lainnya, dengan setengah dari mereka adalah anak-anak dan perempuan.
Para korban segera dibawa ke Kompleks Medis Nasser di Khan Younis, yang sebenarnya sangat kekurangan staf dan peralatan penting di tengah kekacauan tersebut. Petugas penyelamat mengatakan tentara Israel bahkan juga menyerang kru medis yang sedang dalam perjalanan untuk membantu para korban pembantaian Al-Mawasi. Lembaga amal Medical Aid for Palestinians juga mendokumentasikan video warga Palestina di Al-Mawasi yang menggali dengan tangan untuk menyelamatkan para korban yang terkubur di pasir setelah serangan Israel.
Orang-orang yang menyaksikan pembantaian tersebut menggambarkan serangan itu sebagai “pembantaian yang mengerikan”, seraya menambahkan bahwa tenda-tenda mereka dirobohkan oleh kekuatan serangan itu dan mayat-mayat serta bagian-bagian tubuh para korban berserakan di tanah. “Saya tidak tahu harus berkata apa, situasinya tragis. Saya tidak melebih-lebihkan. Kami menyelenggarakan pemakaman setiap 15 menit setelah meninggalkan rumah sakit. Ini telah berlangsung sejak insiden itu. Satu per satu, orang-orang terbunuh,” kata Mohammed Aghaalkurdi, seorang anggota lembaga amal di Rumah Sakit Nasser.
6. Pembantaian At Tabi’en
Sumaya Abu Ajwa bangun untuk melaksanakan salat Subuh bersama kedua putri angkatnya, Nuseiba (16) dan Retaj (14) pada 10 Agustus 2024 dini hari. Ibu mereka tidak menyangka bahwa itu adalah terakhir kali ia bisa melihat anak-anak perempuan kesayangannya yang sedang berada di salah satu sisi Sekolah At-Tabi’en ketika rudal Israel menghantam. Selanjutnya, yang bisa Sumaya ingat adalah ia menemukan Retaj yang bersimbah darah, sedangkan Nuseiba ditemukan beberapa saat setelahnya, dengan kondisi badan terbelah dua.
Sebelumnya, Sumaya mengingat bahwa ia pernah membahas untuk meninggalkan Al-Tabi’en bersama gadis-gadis itu, tetapi Nuseiba enggan pergi. Sumaya mengatakan bahwa Nuseiba menolak untuk pergi karena ia sangat senang menghadiri kelas-kelas Al-Quran di sana dan bangga dengan kemajuannya dalam menghafal Al-Qur’an. “Saya memberitahu padanya bahwa saya tinggal bersama mereka selama agresi dan tidak akan meninggalkan mereka, kami akan bertahan hidup bersama atau mati bersama, tetapi sekarang mereka telah pergi meninggalkan kami. Mereka mendahului kami.”
Pejabat Gaza mengatakan bahwa sekolah At-Tabi’en di Kota Gaza menampung 6.000 warga Palestina yang mengungsi ketika Israel mengebomnya saat Subuh tanggal 10 Agustus 2024. Mereka mengatakan bahwa Israel membunuh lebih dari 100 orang dalam serangan itu, termasuk sedikitnya 11 anak-anak, meskipun kurang lebih hanya 75 mayat yang bisa diidentifikasi karena sebagian besar mayat nyaris hancur total akibat serangan tersebut, sehingga tidak dapat dikenali lagi.
CNN melaporkan bahwa Israel menggunakan bom GBU-39 dalam serangan itu, dan secara keseluruhan menggunakan tiga bom buatan AS. Euro-Med Human Rights Monitor mengatakan dalam laporan awal bahwa ketiga bom buatan AS itu memiliki “kapasitas luar biasa untuk membakar, melelehkan, dan menghancurkan tubuh.” GBU-39 adalah bom seberat 250 pon yang dibuat oleh Boeing yang telah digunakan Israel berkali-kali di Gaza selama agresi genosida. Menurut panduan militer, bom seberat 250 pon memiliki peluang 10 persen untuk membunuh atau melumpuhkan siapa pun dalam radius 115 kaki dari tempat ia dijatuhkan.
Karena bom telah mencabik-cabik tubuh para korban dengan sangat parah, para dokter harus mengumpulkan potongan tubuh dalam kantong dan menganggap setiap 70 kilogram potongan tubuh adalah milik satu orang yang terbunuh. Mereka kemudian mendistribusikan kantong-kantong ini kepada orang-orang yang anggota keluarganya hilang setelah serangan tersebut. Mondoweiss melaporkan, seorang pria mengatakan bahwa yang tersisa dari putranya yang berusia 6 tahun hanyalah kantong plastik berisi 18 kilogram berisi sisa-sisa tubuh manusia yang diberikan kepadanya oleh para dokter di rumah sakit. “Saya tidak tahu apakah ini putra saya atau bukan, saya tidak tahu apa yang saya bawa di kantong ini. Mereka bilang ini adalah putra saya, tapi saya tidak tahu apa-apa, dan saya tidak melihat sesuatu yang menyerupai putra saya di kantong ini,” ujar Hassan Ahmad, yang kehilangan putranya dalam pembantaian tersebut.
Video :
https://youtu.be/8aEFtU7i7GM?si=KauL5OftOiFvp–X
https://youtu.be/bDR6SLn7hAk?si=GVYtzK005tiHPiMH
Beberapa penyintas dari tenaga medis dan tim pertahanan sipil juga menceritakan kehororan yang mereka saksikan di sekolah At-Tabi’en setelah pembantaian terjadi. Konsultan bedah vaskular satu-satunya di Gaza Utara, Tayseer al-Tanna, mengatakan “Luka bakar para korban tidak seperti yang pernah saya lihat sebelumnya, itu menutupi 50…70… hingga 90 persen tubuh korban. Banyak yang kehilangan anggota tubuh, dan banyak yang meninggal saat operasi karena luka yang mereka derita sangat parah.”
Mo’men Silmi, seorang pekerja pertahanan sipil yang merupakan orang pertama yang masuk ke sekolah setelah pembantaian mengatakan bahwa kondisinya “mengerikan” hingga orang-orang yang berada di luar takut untuk masuk. Ketika Mo’men dan timnya masuk, mereka menemukan lokasi serangan yang sepenuhnya terbakar, di lantai atas dan bawah. “Kami naik ke atas dan pemandangan yang saya lihat di sana sangat mengerikan. Kebanyakan orang telah terbakar, terpotong-potong, isi perutnya keluar, dan mereka semua adalah perempuan dan anak-anak. Tidak ada pria, bahkan remaja di sana.”
Noah al-Sharnoubi, salah satu petugas penyelamat, bahkan mengatakan bahwa semua petugas penyelamat di lokasi itu menangis pada saat proses evakuasi, karena beratnya dampak yang ditimbulkan oleh pembantaian itu. “Orang-orang beriman ini dibunuh saat mereka sedang salat; dan di antara mereka ada anak-anak, perempuan, dan lansia.”
Berapa Pembantaian Lagi Hingga Genosida Berakhir?
Sebelas bulan lamanya warga Gaza seolah hidup hanya untuk menyaksikan satu demi satu pembantaian, berlari dari satu serangan ke serangan lainnya yang terjadi berulang kali. Tiada sejengkal pun tempat yang aman di Jalur Gaza saat ini. Tiada perisai yang bisa menahan peluru Israel, bahkan rompi pers jurnalis sekalipun, juga tidak ada dinding dan atap yang bisa melindungi dari ledakan rudal dan bom Israel, meski itu sekolah maupun rumah sakit.
Di Jalur Gaza, segalanya begitu mahal harganya. Satu gigitan roti setara ratusan nyawa, satu rakaat salat harus diganti dengan kehilangan orang-orang tercinta. Tiada hari yang dilalui oleh warga tanpa adanya salat jenazah, tiada waktu yang terlewat tanpa rasa takut dan air mata. Hari demi hari, berpindah dari satu kamp pengungsian ke kamp pengungsian lainnya, tanpa makanan dan air bersih, tanpa listrik dan fasilitas medis, warga Gaza sudah kehabisan kata untuk mengeluh, kecuali untuk mempertanyakan satu hal ini kepada dunia:
“Harus ada berapa pembantaian lagi, hingga kalian mengakhiri genosida?”
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
https://mondoweiss.net/2024/07/testimonies-from-the-mawasi-massacre-90-people-buried-in-the-sand/
https://electronicintifada.net/content/survivors-tell-al-mawasi-massacre-horror/47776
https://www.aljazeera.com/news/2024/6/11/nuseirat-anatomy-of-israels-massacre-in-gaza
https://www.aljazeera.com/news/2024/6/8/many-casualties-as-israel-escalates-attacks-across-gaza
https://www.newarab.com/features/massacre-midday-no-warning-israel-attack-nuseirat
https://www.aljazeera.com/news/2024/8/10/israel-strike-on-gaza-school-kills-more-than-100
https://www.aljazeera.com/news/2024/8/10/bloody-massacre-reactions-to-israeli-attack-on-gaza-school