Ketika memilih sasaran tembaknya, Israel tidak pernah menembak secara acak. Setiap penduduk yang terbunuh ataupun terluka, setiap bangunan yang dihancurkan, memang telah ditargetkan secara pasti. Demikian pula ketika Israel menghancurkan sekolah-sekolah maupun institusi pendidikan lainnya yang ada di Gaza. Genosida Israel yang dilakukan terhadap rakyat Palestina di Gaza,diiringi dengan scholasticide atau penghancuran secara sistematis terhadap sekolah. Israel ingin memusnahkan hak penduduk Gaza terhadap pendidikan dengan menghancurkan sekolah-sekolah dan institusi pendidikan lain yang ada di Gaza.
Menurut Kementerian Pendidikan di Gaza, terdapat lebih dari 800.000 siswa dari berbagai jenjang pendidikan yang harus kehilangan akses pendidikan sejak 7 Oktober. Sebanyak 40.000 di antaranya tidak dapat mengikuti ujian kelulusan SMA. Sementara itu, setidaknya 85% fasilitas pendidikan tidak dapat lagi digunakan akibat dijadikan sasaran penghancuran Israel, sehingga menimbulkan tantangan signifikan terhadap upaya untuk melanjutkan proses pendidikan setelah agresi berakhir.
Israel telah membunuh 6.000 orang pelajar dan melukai 10.000 lainnya. Sementara itu, sebanyak 264 guru dan staf pendidikan terbunuh dan 960 lainnya terluka. Kementerian pendidikan juga menyatakan bahwa 346 sekolah negeri dan 65 sekolah UNRWA telah hancur dan dirusak. Bahkan pada 17 Januari 2024 lalu, Gaza telah kehilangan universitas terakhirnya. Universitas Israa yang terletak di selatan Gaza dihancurkan dengan 315 ranjau yang ditanam Israel. Sebelum dihancurkan, universitas tersebut dijadikan pangkalan militer Israel. Lebih dari 1000 mahasiswa telah meninggal dan ribuan lainnya terluka ataupun berada di bawah reruntuhan.
Sejak 6 November 2023, akibat intensitas penghancuran Israel ke Gaza, tidak ada satu pun anak di Gaza yang dapat bersekolah. Seorang mahasiswa kedokteran tahun keempat di Universitas Al-Azhar Gaza, Israa Aoum mengatakan, “Kami kehilangan teman, kami kehilangan dokter, kami kehilangan asisten pengajar, kami kehilangan banyak hal dalam agresi ini.”
Seorang dosen dari Fakultas Kedokteran di Universitas Islam Gaza, Fahid Al-Hadad mengatakan bahwa ia telah kehilangan koleksi buku-bukunya yang telah dikumpulkannya selama 10 tahun terakhir. Fahid yang juga merupakan seorang Kepala Departemen Unit Gawat Darurat RS Al-Aqsa menyatakan harapannya untuk bisa kembali mengajar.
Pendidikan adalah Bentuk dari Perlawanan
“Pendidikan adalah bentuk dari perlawanan. Ketika anak-anak dididik, mereka diberdayakan. Mereka belajar untuk berharap, bermimpi, dan percaya pada masa depan yang lebih baik,”
Ahmed Abo Rizik, 27 tahun, guru bahasa Inggris di Gaza
Salah seorang pakar PBB mengatakan bahwa yang sedang Israel lakukan saat ini terhadap Gaza adalah penghancuran secara sistemik sistem pendidikan, atau ‘scholasticide’. Istilah scholasticide merujuk kepada penghancuran sistemik pendidikan melalui penangkapan, penahanan, atau pembunuhan guru, siswa dan staf serta penghancuran infrastruktur pendidikan. Penghancuran sekolah tidak hanya dapat dilihat sebagai penghancuran fisik sebuah bangunan. Namun, ketika sebuah sekolah dihancurkan, maka hancur pulalah harapan dan mimpi anak-anak. Dunia berutang pada rakyat Gaza, karena dengan sengaja membiarkan tercerabutnya hak-hak pendidikan rakyat Gaza melalui scholasticide.
Tidak hanya sekolah, Israel juga menghancurkan 195 situs-situs kuno, 227 masjid, dan 3 gereja. Meskipun bukan tempat formal untuk melaksanakan pendidikan, namun masjid dan gereja menjadi salah satu tempat penting bagi berlangsungnya pendidikan informal bagi masyarakat Gaza. Masjid, khususnya, merupakan pusat pembelajaran Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman. Penghancuran masjid tidak hanya diterjemahkan sebagai penghancuran terhadap tempat peribadatan–yang dijamin keamanannya oleh hukum internasional–tetapi juga sebagai upaya penghancuran nilai-nilai religius penduduk Gaza.
Mereka yang Mengungsi di Sekolah, dan Tetap Menjadi Korban….
Tidak ada tempat yang aman di Gaza; tidak di wilayah utara, tengah, ataupun selatan. Seluruh wilayah Gaza secara bergantian menjadi sasaran serangan bom-bom Israel, demikian halnya dengan masjid, gereja, rumah sakit hingga sekolah. Hukum internasional yang melindungi institusi tersebut seakan omong kosong belaka bagi Israel yang dengan sengaja menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai sasaran tembak.
Sekolah-sekolah yang seharusnya dapat menjadi tumpuan harapan pengungsi dalam mencari perlindungan, justru menjadi sasaran utama penyerangan. Bahkan sekolah-sekolah milik PBB yang berada di bawah naungan UNRWA juga tak luput dari sasaran tembak. Sejak 7 Oktober, tercatat 120 institusi pendidikan milik UNRWA terkena serangan Israel. Hingga saat ini, setidaknya 133 sekolah yang tersisa di Gaza dijadikan tempat tinggal sementara oleh pengungsi internal Gaza yang mencapai lebih dari 1,9 juta jiwa.
Kondisi yang memprihatinkan juga harus dihadapi oleh penduduk Palestina yang mengungsi di sekolah. Dalam kondisi akses terhadap makanan yang amat terbatas, mereka harus tinggal berdesak-desakkan, di tengah ancaman serangan Israel. “Kami berharap bahwa adanya afiliasi PBB akan menjaga kami,” ujar jurnalis Mohammed Mhwawish yang mengungsi di salah satu sekolah PBB bersama keluarganya. Namun, nyatanya serangan demi serangan terus dilancarkan Israel, yang tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga membekaskan trauma dalam diri mereka.
“Bagi sebagian orang, berkumpul dengan berbagai orang yang telah mengalami trauma yang sama adalah hal yang baik,” ujarnya. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku bagi Mohammed. Anaknya yang bernama Rafik berhenti berbicara bahkan menangis. Ia tidak menampilkan reaksi emosi, dan bahkan berhenti untuk mengingat bagaimana menjadi anak kecil. Trauma ini mulai dialaminya ketika Israel mengebom rumahnya.
Pada 27 Juli lalu, Israel kembali menyerang sebuah sekolah di wilayah Deir al-Balah yang terletak di Gaza tengah. Sebanyak 30 orang dan lebih dari 100 orang terluka, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan perempuan. Tidak lama kemudian,Israel kembali mengulang kekejiannya dengan membombardir sekolah Hassan Salameh dan Al-Nasr di Kota Gaza.
Juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, Mahmoud Bassal, mengatakan kepada Al Jazeera, “Sisa tubuh anak-anak berserakan di lantai dan di ruang kelas.” Kejadian ini menambah daftar panjang penghancuran sekolah-sekolah di Gaza oleh Israel sejak 6 Juli 2024 menjadi 11 sekolah, dengan korban jiwa mencapai 150 orang.
Sampai Kapan?
Dunia telah lama berutang kepada anak-anak Gaza. Sejak 2006, ketika Gaza diblokade, tak ada suara yang cukup lantang bersuara untuk Gaza. Ketika genosida dilancarkan Israel sejak 10 bulan lalu, tidak ada tangan-tangan yang mampu menghentikan kekejian Israel hingga saat ini. Sebaliknya, bau darah semakin menyeruak, memenuhi tiap-tiap sudut rumah, sekolah, dan setiap bangunan
Jika dahulu kebebasan rakyat Gaza dicerabut, hingga Gaza berubah menjadi penjara terbuka, kini bangsanya dihabisi, rakyatnya dilaparkan, bahkan harapan dan mimpinya pun dipudarkan. Melalui scholasticide, Israel memupuskan impian anak-anak Gaza, hingga mereka tak mampu lagi untuk bermimpi. Sekolah yang tadinya menjadi sumber harapan bagi anak Gaza, kini menjadi tempat menunggu mati.
Sampai kapan utang ini akan terus ditumpuk?
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
Sumber:
https://www.aljazeera.com/news/2024/1/24/how-israel-has-destroyed-gazas-schools-and-universities
https://edition.cnn.com/2024/07/27/middleeast/israel-gaza-deir-al-balah-school-intl/index.html
https://news.un.org/en/story/2024/04/1148716
https://www.ohchr.org/en/press-releases/2024/04/un-experts-deeply-concerned-over-scholasticide-gaza
https://thisweekinpalestine.com/education-in-gaza/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini