Bulan suci Ramadan semakin dekat, pihak keamanan Israel mulai mempersiapkan diri untuk apa yang mereka anggap sebagai bulan paling sulit setiap tahunnya. Terlebih lagi, pada tahun ini, Ramadan datang di tengah-tengah perang yang sedang berlangsung melawan di Jalur Gaza.
Bagaimanapun juga, Ramadan akan tiba di pada situasi eskalasi dan permusuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh kelompok pemukim ilegal dan ekstremis sayap kanan Israel menyusul peristiwa 7 Oktober, yang belum bisa diatasi atau ditangani oleh Israel hingga saat ini.
“Persiapan” Israel untuk Ramadan tahun ini menjadi hal paling sensitif sejak dimulainya penjajahan terhadap masjid suci pada tahun 1967. Namun, kita tahu dari pengalaman sebelumnya, bahwa ketika memasuki bulan suci Ramadan di Masjid Al-Aqsa, penjajah Israel biasanya menghadapi tantangan pada dua tingkatan.
Tingkatan pertama diwakili oleh para pemuda Al-Quds, biasanya juga bersama pemuda Palestina dari wilayah 1948 yang seharusnya dapat mengakses Masjid Al-Aqsa pada waktu-waktu lain dalam setahun karena mereka memegang kartu identitas Israel. Mereka seringkali menjadi beban keamanan terbesar bagi pihak keamanan Israel di masjid tersebut, terutama para pemuda Palestina dari Al-Quds, yang menganggap diri mereka selalu dalam konfrontasi dengan penjajah.
Warga Palestina di Tepi Barat biasanya tidak diizinkan mengakses Masjid Al-Aqsa kecuali selama Ramadan. Mereka yang diperbolehkan beribadah adalah yang memiliki izin keamanan dan berusia tertentu, terutama pada hari Jumat. Satu-satunya masalah yang mereka timbulkan bagi pihak otoritas Israel adalah jumlah mereka yang besar dan pemuda Al-Quds seringkali memanfaatkan situasi tersebut.
Ketika jumlah orang di Masjid Al-Aqsa dibatasi, pihak keamanan Israel dapat mengendalikan masjid, mengontrol pergerakan, menghentikan gesekan atau bentrokan, dan membubarkan orang dengan mudah. Namun, peningkatan jumlah orang di dalam masjid dianggap sebagai tantangan keamanan utama karena polisi Israel tidak dapat mengontrol pergerakan orang secara efektif, seperti yang terjadi pada Ramadan 2021.
Sebuah kebocoran media menunjukkan bahwa ada perbedaan pendapat antara tentara dan polisi Israel mengenai izin bagi warga Palestina di Tepi Barat untuk mengakses Masjid Al-Aqsa selama bulan suci mendatang. Hal ini dilaporkan surat kabar Israel Yedioth Ahronoth beberapa hari yang lalu.
Menurut jurnalis Israel Itamar Eichner, polisi penjajah yang berada di bawah kuasa Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben-Gvir ingin menerapkan kebijakan “nol warga Palestina” dan mencegah semua penduduk Palestina di Tepi Barat yang diduduki memasuki Masjid Al-Aqsa selama Ramadan. Namun, tentara Israel meyakini bahwa sejumlah warga Tepi Barat harus diizinkan mencapai Al-Aqsa untuk mengurangi tekanan kuat di wilayah Palestina yang dijajah.
Informasi ini dibocorkan dengan sengaja karena tujuannya jelas-jelas untuk membatasi akses penduduk Tepi Barat ke Al-Quds (Yerusalem) pada tahun ini, meskipun ada klaim dari Yedioth Ahronoth mengenai ketidaksepakatan antara polisi dan tentara. Perbedaan pendapat ini bukan soal prinsipnya, tapi jumlah jamaahnya, yaitu haruskah Israel mengizinkan warga Tepi Barat yang jumlahnya sangat terbatas untuk beribadah di Al-Aqsa, atau melarang mereka semua beribadah di sana? Bocoran tersebut dimaksudkan untuk mempersiapkan warga Palestina apabila tidak diperbolehkan untuk beribadah di Masjid Al-Aqsa selama Ramadan.
Bulan suci umat Islam pada tahun ini bertepatan dengan sejumlah festival Yahudi yang biasanya menjadi alasan serbuan pemukim kolonial Israel dan pasukan keamanan mereka ke Masjid Al-Aqsa. Pertama adalah Purim, yang jatuh pada pertengahan Ramadan. Meskipun biasanya bulan ini bukan merupakan musim terjadinya serbuan besar-besaran, namun kenyataan bahwa Purim jatuh bertepatan dengan bulan Ramadan dan konteks agresi di Gaza menjadikan bulan ini semakin penting bagi kelompok Temple Mount Yahudi ekstremis, gerakan zionisme keagamaan sayap kanan sekaligus gerakan Kahanis neofasis, dengan Ben-Gvir menjadi salah satu pilar terpentingnya.
Ramadan dan musim festival Yahudi akan menjadi kesempatan untuk menampilkan kekuatan Ben-Gvir di Masjid Al-Aqsa, dan untuk menunjukkan kemampuannya dalam memaksakan kedaulatan Israel atas Tempat Suci umat Islam dengan cara yang bahkan Benjamin Netanyahu sendiri tidak mampu melakukannya. Mungkin ini akan menjadi kesempatan emas bagi Ben-Gvir untuk menampilkan dirinya sebagai pemimpin sayap kanan Israel, hal yang telah ia coba lakukan sejak pengangkatannya sebagai menteri, terutama ketika dimulainya genosida di Gaza.
Oleh karena itu, beberapa pekan ke depan akan menjadi waktu yang sangat penting, karena pemerintah sayap kanan Israel juga melakukan persiapan untuk hari raya Yahudi berikutnya, yaitu Pesach atau Paskah Yahudi yang jatuh segera setelah akhir Ramadan. Kelompok ekstremis Temple Mount akan berupaya melakukan pengorbanan hewan di dalam Masjid Al-Aqsa dengan cara yang lebih serius dibandingkan dengan sebelumnya.
Tantangan utama yang dihadapi Israel adalah mengurangi jumlah umat Islam di Masjid Al-Aqsa selama bulan Ramadan, sekaligus memungkinkan serangan Purim sedemikian rupa sehingga dianggap sukses. Jika semuanya berjalan sesuai rencana Israel, maka akan timbul keinginan untuk melakukan ritual pengorbanan hewan di dalam masjid, yang akan menjadi ritual keagamaan terakhir yang diperlukan untuk melakukan perubahan status quo di Al-Aqsa dengan mengubahnya menjadi sebuah kuil Yahudi.
Rencananya adalah dengan merebut sebagian Masjid Al-Aqsa sebagai langkah awal untuk mengubahnya menjadi kuil, atau dengan menguasai sepenuhnya setidaknya setengah dari area situs suci tersebut, situs tersuci ketiga di dunia Muslim. Israel telah bermimpi melakukan hal ini selama lebih dari 55 tahun, dan kelompok perlawanan sangat menyadari fakta ini.
Target tersebut menempatkan tanggung jawab besar atas Al-Aqsa di tangan warga Al-Quds dan rakyat Palestina di Tepi Barat, karena kemampuan Israel untuk melaksanakan rencana ini bergantung pada bagaimana mereka menghadapi larangan Israel dalam mengakses Masjid Al-Aqsa selama bulan Ramadan, ketika keimanan dan praktik keagamaan pada umumnya berada pada titik terkuatnya.
Israel mengkhawatirkan peningkatan semangat ini, karena hal tersebut mendorong warga Palestina sepanjang Ramadan untuk mengintensifkan persiapan psikologis dan spiritual mereka dalam menentang tindakan Israel terhadap masjid suci. Israel tidak menginginkan hal ini, karena mereka tahu bahwa percikan besar apa pun di Yerusalem dapat memicu intifada baru atau mengarah pada perluasan perang di Gaza ke tingkat yang tidak dapat dibayangkan oleh Israel maupun sekutunya.
Sumber :
https://www.middleeastmonitor.com
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini