“Demi Allah SWT, sesungguhnya engkau (Makkah) adalah negeri yang paling baik di sisi Allah dan negeri yang paling dicintai Allah SWT. Andaikan bukan karena pendudukmu yang mengusirku, aku tidak akan berpindah.” (HR. Ad-Daruquthni)
Ribuan tahun yang lalu, kalimat tersebut terucap dari bibir manusia paling mulia, Rasulullah saw. Beliau mengucapkan kalimat tersebut sembari menghadapkan wajahnya ke tanah kelahirannya, Makkah, saat hendak melakukan perjalanan hijrah ke Madinah. Ribuan tahun telah berlalu, namun peristiwa hijrah masih diingat oleh umat Islam sebagai peristiwa yang amat bersejarah, sebab peristiwa ini merupakan momentum yang sangat penting bagi umat Islam. Hari ketika terjadi hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah kemudian ditetapkan sebagai penanda Tahun Baru Islam (Hijriah).
Tahun Baru Hijriah dibuka dengan bulan Muharram, salah satu di antara empat asyhur al-hurum atau empat bulan haram yaitu Muharam, Rajab, Zulkaidah, dan Zulhijah. Bulan-bulan tersebut merupakan bulan haram karena memiliki keistimewaan dibanding bulan-bulan lainnya, salah satunya adalah larangan untuk melakukan perbuatan haram seperti membunuh atau perbuatan keji lainnya. Dengan berbagai keutamaannya, kedatangan bulan Muharam biasanya selalu disambut dengan sukacita oleh umat Islam di seluruh dunia, kecuali di tahun ini–ketika Palestina, Bumi Para Nabi, tidak henti dialiri darah dari Tepi Barat hingga ke Gaza.
Muharam pada tahun ini hadir di tengah kelam, saat genosida di Gaza telah berlangsung selama lebih dari 10 bulan lamanya. Di Tepi Barat, Al-Quds, dan wilayah-wilayah lainnya pun juga sama, penduduknya semakin banyak yang menjadi korban penahanan administratif, penghancuran rumah, penindasan, bahkan pembunuhan. Di Palestina, hari-hari besar Islam “dirayakan” dengan air mata, mulai dari Idulfitri, Iduladha, dan kini Tahun Baru Hijriah, semuanya hadir di tengah kelamnya penjajahan yang tak berjeda.
Tak Ada Tempat untuk ‘Hijrah’ di Gaza

Jika ribuan tahun lalu Rasulullah saw bersama para sahabat berhijrah dari Makkah ke Madinah karena kondisi di Makkah sudah sangat tidak kondusif untuk berdakwah. Maka hari ini, kondisinya amat sangat berbeda di Palestina, terutama di Gaza. Di Jalur Gaza, seluruh penduduknya terkurung sempurna di dalam penjara terbuka terbesar di dunia, yang kini dibombardir habis-habisan oleh Zionis selama lebih dari sepuluh bulan lamanya.
“Tidak ada seorang pun yang memiliki tempat untuk pergi,” demikian Alaa Al-Nimr, seorang ibu dari 3 anak yang berusia 34 tahun, mengatakan kepada Al-Jazeera. Alaa dan keluarganya telah mengungsi tidak kurang dari 11 kali, hingga ia bahkan tidak bisa mengingat detailnya dengan jelas. Namun, ia masih mengingat dengan jelas kengerian yang ia saksikan di Rumah Sakit Arab Al-Ahli baru-baru ini. Ia menyaksikan para korban luka, staf medis, semua orang yang berada di sana semuanya berlarian dengan histeris saat perintah evakuasi diberikan.
Ketika orang-orang melarikan diri, quadcopter melayang di atas kepala mereka, menembak tanpa ampun semua yang ada di bawahnya. “Saya menangis ketika melihat orang-orang berlarian di sekitar saya, ada bom dari atas kami dan tank di belakang kami, di mana-mana. Ke mana kami harus pergi?”
Sepuluh bulan lebih agresi telah membuat Gaza menjadi tempat yang tidak pernah terbayangkan. Seluruh kengerian berkumpul menjadi satu. Sejak 7 Oktober 2023 hingga 11 Juli 2024, Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan bahwa Israel telah membunuh 38.345 jiwa di Jalur Gaza dan melukai 88.295 orang lainnya.
Penelitian yang diterbitkan oleh Jurnal Lancet bahkan memperkirakan bahwa jumlah korban agresi Gaza yang sesungguhnya tidak kurang dari 186.000 jiwa. Studi tersebut menunjukkan bahwa jumlah korban terbunuh secara keseluruhan pasti lebih tinggi karena jumlah korban resmi dari Kementerian Kesehatan tidak memperhitungkan ribuan korban yang mati terkubur di bawah reruntuhan dan kematian tidak langsung akibat rusaknya fasilitas kesehatan, sistem distribusi makanan, dan infrastruktur publik lainnya.
“Dalam serangan baru-baru ini, kematian tidak langsung berkisar antara tiga hingga 15 kali lipat dari jumlah kematian langsung,” demikian jurnal tersebut menyebutkan. Agresi juga menimbulkan implikasi kesehatan tidak langsung, selain dampak langsung dari kekerasan akibat serangan, kata studi tersebut. Bahkan, jika agresi Gaza berakhir, dampak dari agresi akan terus menyebabkan banyak kematian tidak langsung dalam beberapa bulan hingga beberapa tahun mendatang melalui faktor-faktor lain seperti penyakit.
Setelah menerapkan “perkiraan konservatif” yaitu empat kematian tidak langsung untuk setiap satu kematian langsung, jurnal tersebut menegaskan bahwa jumlah yang mereka sebutkan bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal. Jumlah tersebut mewakili hampir 8 persen dari 2,3 juta populasi Gaza sebelum agresi, dan bisa jadi akan terus bertambah jika agresi tidak segera dihentikan.
Tiada Pilihan Selain Dedaunan

“Hanya daun murbei ini yang tersedia, semoga anak-anak menerimanya,” demikian seorang ibu Palestina mengatakan, sembari mengaduk dedaunan pohon murbei yang ia petik di dalam panci. Hanya itu yang dapat mereka temukan di tengah kelaparan parah di Gaza utara, saat Israel melarang truk-truk bantuan memasuki kawasan tersebut. Demi memberi makan anak-anaknya yang kelaparan, ia rela melakukan apa saja, namun yang dapat ia temukan hanyalah daun murbei yang bahkan belum pernah mereka makan sebelum agresi terjadi.
Program Pangan Dunia (WFP) PBB mengatakan bahwa saat ini, tidak kurang dari 500.000 penduduk Gaza menghadapi kelaparan yang sangat parah. WFP mengatakan bahwa mereka telah memberikan bantuan kemanusiaan kepada sekitar satu juta warga Palestina setiap bulannya, namun dihambatnya akses bantuan oleh militer Israel untuk memasuki Gaza membuat upaya mereka tidaklah cukup untuk bisa membantu 2,3 juta orang di daerah kantong yang terkepung tersebut.
Menurut badan pemantau yang didukung PBB, Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC), istilah “kelaparan” mengacu pada kelangkaan pangan yang meluas dan parah di suatu populasi. Suatu wilayah yang penduduknya dinyatakan menderita kelaparan diberi skor “IPC Fase 5”, yang merupakan fase tertinggi dari skala Kerawanan Pangan Akut menurut IPC. Ada tiga kondisi yang harus ada untuk menentukan terjadinya kelaparan:
- Setidaknya 20 persen penduduk di wilayah tersebut menghadapi tingkat kelaparan yang ekstrem;
- 30 persen anak-anak di wilayah tersebut terlalu kurus dibandingkan tinggi badan mereka;
- Angka kematian meningkat dua kali lipat dari rata-rata, melampaui dua kematian per 10.000 setiap hari pada orang dewasa dan empat kematian per 10.000 setiap hari pada anak-anak.

Dalam evaluasi terbarunya yang dilakukan pada bulan Juni, IPC mengatakan bahwa Gaza berada pada “risiko tinggi” kelaparan karena agresi yang terus berlanjut dan akses bantuan dibatasi. Meskipun seluruh wilayah diklasifikasikan dalam situasi darurat (IPC Fase 4), lebih dari 495.000 orang (22 persen populasi) masih menghadapi tingkat kerawanan pangan akut yang sangat parah (IPC Fase 5),” kata IPC. “Pada fase ini, rumah tangga mengalami kekurangan pangan, kelaparan, dan kehabisan kapasitas untuk bertahan hidup.”
Karena kelaparan di Gaza sudah berada di tingkat yang tidak terbayangkan, sebagai pengganti makanan yang tersedia, sejumlah warga Gaza terpaksa bertahan hidup dengan hanya meminum air limbah dan mengonsumsi pakan ternak, menurut Hanan Balkhy, Direktur Regional Mediterania Timur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Otoritas Kesehatan Gaza juga mengatakan bahwa setidaknya 33 anak telah meninggal karena kekurangan gizi sejak agresi dimulai pada 7 Oktober, dan banyak dari mereka tinggal di Gaza bagian utara.
Ke Mana Pun Melangkah, Tidak Ada Harapan untuk Hidup

Jika bertahun-tahun lalu Rasulullah saw berhijrah sekali dari Makkah menuju Madinah, maka Rana, seorang ibu dari 3 anak di Gaza, telah “berhijrah” sedikitnya 6 kali sejak agresi Gaza dimulai. Ia pertama kali mengungsi dari wilayah Al-Jalaa menuju Tal Al-Hawa pada 9 Oktober 2023 dalam kondisi hamil enam bulan, bersama suaminya dan dua anaknya yang masih kecil, masing-masing berusia 6 dan 8 tahun saat itu. Mereka saat itu terpaksa mengungsi ke rumah orang tua suami Rana, sebab rumah tetangga mereka diledakkan oleh serangan udara Israel.
Hanya dalam hitungan hari, Rana dan keluarganya kembali dipaksa untuk mengungsi yang kedua kalinya saat militer Israel menjatuhkan selebaran yang berisi perintah agar penduduk segera pergi dari wilayah Tal Al-Hawa. Pada tanggal 13 Oktober 2023, Rana dan keluarganya kembali mengungsi ke Khan Younis. Sesampainya di Khan Younis, Rana dan keluarganya mendapati wilayah tersebut amat sangat mengerikan karena bom terus menerus dijatuhkan. Merasa kawasan tersebut tidak lebih baik, maka Rana dan keluarganya kembali berjalan ke Kota Gaza.
Pada 28 Oktober 2023, militer Israel kembali mengancam tetangga Rana di Tal Al-Hawa, mengatakan bahwa mereka akan meledakkan rumah tetangga Rana. Ancaman tersebut membuat Rana dan keluarganya kembali meninggalkan rumah mereka di Tal Al-Hawa, menuju Pusat Kota Gaza. Mereka kemudian menetap di rumah kerabat Rana hingga tank-tank Israel juga mengepung daerah tersebut. Akhirnya pada 14 November 2023, Rana dan keluarganya berjalan kaki ke Kamp Pengungsian Al-Bureij. Di sana, mereka menumpang di tenda keluarga yang tidak mereka kenal, namun berbaik hati bersedia menerima mereka.
Pada akhir tahun, 25 Desember 2023, militer Israel kembali menjatuhkan selebaran yang memaksa orang-orang di Al-Bureij untuk mengungsi. Rana dan keluarganya, bersama para pengungsi lainnya dari Al-Bureij, kemudian berjalan ke satu-satunya wilayah yang tersisa di Gaza yaitu Rafah. Pada awal tahun 2024, Rana dan keluarganya pergi ke Khan Younis karena Rana akan melahirkan. Ia melahirkan bayi ketiganya di Rumah Sakit Al-Khair di Khan Younis, sebelum kembali ke Rafah bersama bayinya yang baru lahir. Di Rafah, Rana dan keluarganya menghadapi kesulitan yang semakin lama semakin parah, terutama untuk Rana yang sedang pemulihan pasca melahirkan dan bayinya yang baru lahir.
Di Rafah, tidak ada obat pereda nyeri untuk Rana dan tidak ada susu serta popok untuk bayinya. Kebutuhan-kebutuhan primer seperti makanan dan air bersih juga tidak tersedia di sana. Dan pada Maret 2024, Israel memaksa semua orang Palestina yang berada di Rafah untuk meninggalkan area tersebut. Maka ke mana lagi mereka bisa pergi?
Tiada “Hijrah” di Gaza, Kecuali ke Surga

Lebih dari sepuluh bulan dunia telah menyaksikan Gaza menjadi korban agresi yang tak berjeda. Gaza, kota kecil yang cantik di tepian pantai itu, kini telah menjelma menjadi kehororan yang tidak pernah bisa dibayangkan oleh siapa pun. Suara deburan ombak dan tawa anak-anak saat menyambut para nelayan pulang melaut kini digantikan oleh ledakan dan reruntuhan yang silih berganti, diiringi oleh jerit tangis anak-anak yang kehilangan orang tua, pasangan yang kehilangan belahan jiwa, dan semua orang yang kehilangan segala yang dulunya mereka punya.
Tapi Gaza bukanlah tempat untuk orang-orang yang lemah dan putus asa. Layaknya perkataan Rasulullah saat hendak meninggalkan Makkah menuju Madinah, penduduk Gaza juga meneladani hal yang sama, mereka dengan tegas mengungkapkan, “Kami tak akan pernah berpindah, kecuali terpaksa.” Dan hingga kini, saat penduduk Gaza memiliki beribu alasan untuk pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka, mereka tetap bertahan.
Muharam yang kelam tahun ini tidaklah menjadi pembuka dari rangkaian penjajahan di Gaza dan Palestina, melainkan merupakan penanda genosida yang telah mencapai titik batasnya setelah berlangsung sekian lama. Di Gaza, tidak ada lagi makanan maupun air, tiada rumah untuk tempat bernaung, tiada tempat yang aman untuk berlindung. Semakin lama semakin banyak penduduk yang tewas dibantai, diculik hingga hilang tak berjejak, serta yang meninggal mengenaskan akibat kelaparan dan wabah penyakit. Hanya soal waktu, jika genosida ini tidak kunjung dihentikan, maka kelamnya Muharam tahun ini akan berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya, tanpa ada yang mengetahui sampai kapan penjajahan ini akan terus dibiarkan
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber :
https://www.aljazeera.com/news/2024/7/8/gaza-toll-could-exceed-186000-lancet-study-says
https://www.aljazeera.com/news/2024/7/10/is-there-famine-in-gaza-heres-everything-you-need-to-know
https://www.migrationpolicy.org/article/palestinian-refugees-dispossession
https://visualizingpalestine.org/visual/six-times-displaced/
https://www.ochaopt.org/updates
https://www.ochaopt.org/content/reported-impact-snapshot-gaza-strip-3-july-2024
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini