Israel telah memulai langkah-langkah untuk melakukan pembersihan etnis di Gaza. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, memerintahkan militer untuk mempersiapkan pemindahan “sukarela” warga Palestina dari wilayah yang diblokade tersebut. Langkah ini mengikuti usulan kontroversial mantan Presiden AS, Donald Trump, yang menyarankan pemindahan massal penduduk Gaza.
Menurut laporan, Katz telah menginstruksikan militer untuk mengembangkan rencana yang memungkinkan keberangkatan “sukarela” warga Palestina melalui jalur darat, laut, dan udara ke negara mana pun yang bersedia menerima mereka. Langkah ini secara efektif mendukung usulan Trump, yang oleh para kritikus disebut sebagai pembersihan etnis yang disamarkan sebagai intervensi kemanusiaan.
Trump mengumumkan rencananya dalam konferensi pers di Gedung Putih bersama Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa AS akan “mengambil alih” dan “memiliki” Gaza. Pengumuman ini menuai kecaman luas, meskipun kemudian sebagian pernyataan ditarik kembali oleh pemerintahannya. Melalui Menteri Luar Negeri Marco Rubio, AS mengklarifikasi bahwa pemindahan penduduk Gaza hanya bersifat sementara.
Netanyahu memuji Trump sebagai “sahabat terbesar” Israel dan memuji usulan tersebut dengan menyatakan bahwa warga Palestina “dapat pergi, lalu kembali, mereka bisa pindah (sementara) dan kembali lagi” setelah rekonstruksi Gaza.
Para kritikus menyoroti bahwa upaya menampilkan pembersihan etnis sebagai tindakan kemanusiaan telah mengabaikan sejarah serta ideologi rasis Zionisme yang mengusir warga Palestina dari tanah mereka. Sejak Nakba 1948, Israel secara sistematis mencegah para pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah air mereka, demi mempertahankan supremasi Yahudi di wilayah tersebut.
PBB dengan tegas mengecam usulan Trump. Sekretaris Jenderal Antonio Guterres memperingatkan bahwa pemindahan paksa semacam ini dapat dikategorikan sebagai pembersihan etnis. Presiden Palestina, Mahmud Abbas, menolak rencana tersebut sebagai “pelanggaran serius” terhadap hukum internasional, sementara Hamas mengecamnya sebagai tindakan “rasis” dan “agresif.”
Negara-negara Arab juga menolak rencana ini. Kementerian Luar Negeri Arab Saudi menegaskan “penolakan tegas terhadap setiap pelanggaran terhadap hak-hak sah rakyat Palestina, baik melalui strategi permukiman Israel, aneksasi tanah, maupun upaya mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka.”
Istana Kerajaan Yordania menyatakan bahwa Raja Abdullah memperingatkan bahaya upaya pemindahan warga Palestina, dengan menegaskan bahwa “solusi apa pun tidak boleh mengorbankan keamanan dan stabilitas Yordania serta kawasan.” Ia juga menyerukan peningkatan upaya negara-negara Arab untuk mendukung ketahanan rakyat Palestina di tanah mereka, mempertahankan gencatan senjata di Gaza, dan memperkuat respons kemanusiaan di wilayah tersebut.
Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, menekankan perlunya mempercepat proyek pemulihan di Gaza, memastikan distribusi bantuan, dan membersihkan puing-puing tanpa memindahkan warga Palestina dari daerah tersebut.
Kementerian Luar Negeri Oman juga menegaskan “penolakan tegas terhadap segala upaya untuk memindahkan penduduk Gaza dan penduduk dari Wilayah Palestina yang Diduduki.” Oman menekankan pentingnya “menghormati hak-hak sah rakyat Palestina untuk mendirikan negara merdeka di tanah mereka sendiri.”
Sementara itu, Human Rights Watch memperingatkan bahwa rencana Trump dapat membawa AS dari keterlibatan tidak langsung dalam kejahatan perang menjadi pelaku langsung kekejaman. Organisasi ini juga menekankan bahwa penghancuran Gaza adalah bagian dari taktik sistematis Israel yang bertujuan membuat sebagian wilayah Jalur Gaza tidak layak huni.
Sumber:
https://www.middleeastmonitor.com
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini