Setiap tahun, Hari Tawanan Palestina yang jatuh pada 17 April menjadi satu hari yang khusus didedikasikan bagi ribuan tawanan Palestina di penjara-penjara Israel. Dari tahun ke tahun, para pejuang hak asasi manusia seringkali menggunakan momen Hari Tawanan Palestina untuk menyerukan penegakan hak asasi manusia bagi para tawanan dan menuntut agar tawanan yang ditangkap tanpa tuduhan atau dakwaan, segera dibebaskan. Setiap tahunnya, Hari Tawanan Palestina menjadi momentum bagi orang-orang di seluruh dunia yang peduli pada kemanusiaan untuk menyerukan keadilan bagi para tawanan Palestina di penjara-penjara Israel.
Dipilihnya tanggal 17 April sebagai Hari Tawanan Palestina telah diakui oleh Dewan Nasional Palestina pada 1974. Hari Tawanan Palestina ditetapkan secara khusus sebagai hari nasional yang didedikasikan untuk pembebasan tawanan dan dukungan bagi hak-hak mereka. Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan pembebasan tawanan Palestina, Mahmoud Bakr Hijazi, dalam pertukaran tawanan pertama antara Palestina dan Israel pada tahun 1971. Hijazi, yang telah menjalani hukuman penjara 30 tahun atas tudingan mencoba meledakkan Institut Air Nehusha pada 1965, dibebaskan oleh Israel dengan imbalan pemukim Israel berusia 59 tahun bernama Shmuel Rozenvasser.
Pada momen Hari Tawanan Palestina tahun ini, orang-orang di seluruh dunia yang peduli dengan hak asasi manusia kembali diingatkan bahwa ada ribuan tawanan Palestina yang hingga detik ini masih menghadapi kondisi keras di penjara-penjara Israel. Tanpa pandang bulu, Israel setiap harinya menangkap warga Palestina, mulai dari anak-anak, perempuan, lansia, bahkan penyandang disabilitas pun tidak lepas dari penangkapan sewenang-wenang Israel. Oleh karena itu, Hari Tawanan Palestina tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja, sebab faktanya, Israel belum merasa “cukup” dengan menangkap dan memenjarakan para tawanan, sehingga terus menambah penderitaan tawanan dengan berbagai bentuk penyiksaan, larangan bertemu keluarga, dan banyak pelanggaran hak-hak asasi manusia yang menyebabkan tawanan menderita luka fisik dan mental, atau bahkan kehilangan nyawa di balik jeruji penjara.
Ahmad Manasra dan Masa Kecil Tawanan Anak yang Dirampas oleh Israel
Semuanya bermula ketika Ahmad Manasra dan sepupunya Hassan Manasra yang berasal dari Al-Quds (Yerusalem) dituding oleh Israel telah menikam dua orang Israel di dekat permukiman ilegal Pisgat Ze’ev di Al-Quds (Yerusalem) bagian timur pada tahun 2015. Hassan, yang berusia 15 tahun pada saat itu, ditembak mati oleh seorang pria Israel, sementara Ahmad dipukuli habis-habisan oleh sekelompok pemukim Israel dan ditabrak oleh seorang pengemudi Israel, yang membuatnya menderita patah tulang tengkorak dan pendarahan internal.
Setelah puas menghina dan menyiksa Ahmad di jalan, pemukim Israel tersebut menangkapnya dan Ahmad didakwa dengan percobaan pembunuhan meskipun faktanya ia tidak menikam siapa pun – hal tersebut telah diakui oleh pengadilan. Ahmad kemudian didakwa dengan percobaan pembunuhan dan dijatuhi hukuman 12 tahun penjara, akan tetapi hukumannya diringankan menjadi sembilan tahun saat mengajukan banding.
Penangkapan Ahmad Manasra telah menjadi bukti bahwa Israel adalah satu-satunya entitas di dunia yang secara terang-terangan menangkap dan memenjarakan anak-anak tanpa alasan. Saat Ahmad Manasra ditangkap pada usia 13 tahun, hukum yang berlaku saat itu baru mengizinkan seorang anak dipenjara ketika usianya telah genap 14 tahun. Akan tetapi, demi menjebloskan Ahmad ke penjara, Israel merevisi hukum tersebut dengan membuat undang-undang baru yang memungkinkan anak-anak berusia minimal 12 tahun untuk dapat dianggap bertanggung jawab secara pidana, yang berarti mereka dapat diadili di pengadilan sebagaimana orang dewasa dan diberi hukuman penjara. Undang-undang baru tersebut disahkan pada 2 Agustus 2016 oleh Israel, sehingga memungkinkan pihak berwenang Israel untuk memenjarakan Ahmad Manasra.
Sejak itu, penderitaan Ahmad Manasra di penjara Israel dimulai. Ahmad yang saat itu masih anak-anak dilarang untuk bertemu dengan orang tuanya. Kalau pun ada kesempatan untuk bertemu, Ahmad dilarang untuk memeluk, mencium, atau bahkan sekadar menyentuh anggota keluarganya. Selama masa penahanannya, Ahmad hanya pernah diberi izin sebentar untuk menyentuh tangan ibunya melalui lubang yang ada di dinding ruangan.
Pada bulan November 2021, Israel untuk pertama kalinya memindahkan Ahmad ke sel isolasi, menjauhkannya dari tawanan-tawanan Palestina lainnya. Dalam sebuah wawancara, keluarga dan pengacaranya mengatakan bahwa Ahmad dikunci di sebuah sel berukuran kecil selama 23 jam sehari, yang membuatnya menderita paranoia dan delusi yang mengakibatkan Ahmad tidak bisa tidur. Pengacaranya, Khaled Zabarqa, mengatakan bahwa Ahmad juga telah mencoba untuk menyakiti dirinya sendiri karena tertekan. Keluarganya menambahkan bahwa Ahmad dipindahkan ke sayap psikiatri penjara lain setiap beberapa bulan, kemudian dokter akan memberinya suntikan untuk menstabilkannya.
Pada Desember 2021, seorang dokter eksternal diizinkan untuk mengunjungi Ahmad untuk pertama kalinya sejak dipenjara. Dokter dari Doctors Without Borders (Medecins Sans Frontieres atau MSF) mengeluarkan laporan medis yang menyatakan bahwa Ahmad menderita skizofrenia. Mereka memperingatkan pada saat itu bahwa apabila masa penahanan Ahmad Manasra dilanjutkan, hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan permanen terhadap kesehatan mentalnya. Namun demikian, meskipun para aktivis dan lembaga HAM menyerukan pembebasan Ahmad Manasra segera, Israel tetap menolak untuk membebaskannya dan tidak mengubah masa penahanannya.
Beberapa waktu lalu, tepatnya pada 10 April 2025, Ahmad Manasra untuk pertama kalinya keluar dari jeruji penjara setelah menyelesaikan masa tahanannya. Namun, upaya Israel untuk mempersulit Ahmad Manasra tidak selesai sampai di sana. Menurut keterangan pengacaranya, Khaled Zabarqa, otoritas penjara Israel membebaskan Ahmad Manasra jauh dari penjara Nafha, tempat orang tuanya telah menunggu. Zabarqa mengatakan bahwa otoritas penjara Israel membebaskan Ahmad “jauh dari Penjara Nafha untuk mencegah keluarga menyambut kebebasan Ahmad. Israel meninggalkannya sendirian di daerah kosong”.
Menurut wartawan foto dan aktivis Palestina yang berbasis di Al-Quds (Yerusalem), Abdalalofas Bassam, Ahmad Manasra dibebaskan “jauh dari penjara, meskipun [pihak berwenang penjara] mengetahui keluarganya sedang menunggu di gerbang penjara”. Seorang pejalan kaki kemudian menemukan Ahmad di daerah Beersheba di wilayah Naqab selatan kemudian segera menghubungi keluarganya, yang segera menjemput Ahmad setelah mendapat kabar tersebut.
Pembebasan Ahmad Manasra tidak menuntaskan penderitaan tawanan-tawanan Palestina di penjara Israel, khususnya tawanan anak-anak. Pada 5 April 2025, Masyarakat Tawanan Palestina (PPS) dan Komisi Urusan Tawanan menyampaikan melalui laman website Addameer bahwa setidaknya 350 anak-anak Palestina saat ini masih ditahan oleh Israel di berbagai penjara dan kamp militer di seluruh wilayah Palestina, termasuk lebih dari 100 anak yang dipenjara tanpa pengadilan atau didakwa di bawah sistem pengadilan militer Israel yang melanggar hukum.
Tidak berbeda dari tawanan dewasa, anak-anak Palestina juga menghadapi banyak bentuk penyiksaan dan pelanggaran hak, termasuk penyiksaan, kelaparan yang disengaja, perampasan perawatan medis dan penganiayaan sistematis. Tidak kurang dari 1.200 kasus penangkapan anak telah tercatat di Tepi Barat dan Yerusalem sejak genosida Gaza dimulai pada Oktober 2023. Adapun di Gaza, Israel telah memblokir pengacara Palestina dan kelompok tawanan untuk bisa mendapatkan akses informasi tentang jumlah kasus penangkapan serta jumlah tawanan yang ada di penjara.
Tawanan Palestina dan Penderitaan yang Tak Berujung
Baru-baru ini, seorang remaja berusia 17 tahun menjadi orang Palestina pertama di bawah usia 18 tahun yang dilaporkan meninggal di penjara Israel. Walid Ahmad, remaja usia 17 tahun dari Tepi Barat, adalah seorang siswa sekolah menengah yang sehat dan tidak memiliki keluhan kesehatan sebelum pasukan Israel menangkapnya pada bulan September lalu karena dituding melemparkan batu ke arah tentara. Khalid Ahmad, ayah Walid, mengatakan putranya adalah seorang remaja yang sangat suka bermain sepak bola sebelum diculik dari rumahnya di Tepi Barat pada dini hari.
Enam bulan kemudian, setelah Walid melewati setidaknya empat pengadilan dan konferensi video yang setiap sesinya hanya berlangsung sekitar tiga menit, ia terjatuh pada 23 Maret 2025 di halaman penjara dan meninggal seketika. Keluarganya menduga Walid tertular disentri amuba dari kondisi buruk di penjara, infeksi yang menyebabkan diare, muntah, dan pusing – dan bisa berakibat fatal jika tidak diobati. Sebelumnya pada Februari, empat bulan setelah Walid ditahan, ayahnya telah memperhatikan bahwa putranya berada dalam kondisi kesehatan yang buruk. “Tubuhnya melemah karena kekurangan gizi di penjara pada umumnya,” kata Ahmad. Putranya menyampaikan bahwa ia terkena kudis – ruam kulit menular yang disebabkan oleh tungau yang menyebabkan gatal-gatal yang intens. Sang ayah menceritakan bahwa setelah itu, Walid dengan dewasa mengatakan kepadanya, “Jangan khawatirkan aku.”
Enam bulan setelah penangkapannya, keluarga mendengar kabar bahwa ada seorang anak berusia 17 tahun telah meninggal di penjara. Satu setengah jam kemudian, mereka mendapat kabar bahwa itu adalah Walid, putra mereka. “Kami merasakan hal yang sama seperti semua orang tua dan keluarga para tawanan lainnya,” kata Khalid Ahmad. Kami hanya dapat berkata, “Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan sesungguhnya kita akan kembali.”
Pengacara Walid, Firas al-Jabrini, mengatakan pihak berwenang Israel menolak permintaannya untuk mengunjungi kliennya di penjara. Namun beberapa tawanan yang ditahan bersama Walid memberikan informasi kepadanya bahwa Walid memang menderita diare parah, muntah, sakit kepala dan pusing, kata pengacara itu. Dia mengatakan mereka menduga penyakit itu menyebar karena air kotor, serta keju dan yogurt yang dibawa penjaga penjara di pagi hari dan dibiarkan sepanjang hari sementara para tawanan berpuasa pada bulan suci Ramadan.
Penjara Megiddo, tempat Walid ditahan, “adalah penjara paling keras bagi anak di bawah umur,” kata al-Jabrini. Dia mengatakan bahwa kamar yang dirancang untuk enam tawanan seringkali digunakan untuk menampung 16 tawanan, sehingga sejumlah tawanan terpaksa tidur di lantai. Banyak juga tawanan yang mengeluh tentang kudis dan eksim. Mengenai penyebab wafatnya Walid, otopsi yang dilakukan oleh dokter menunjukkan bahwa kelaparan menjadi penyebab utama remaja tersebut meregang nyawa. Walid menderita kekurangan gizi yang ekstrem, dan juga menunjukkan tanda-tanda peradangan usus besar dan kudis, menurut sebuah laporan dari Dr. Daniel Solomon yang melakukan otopsi pada jasad Walid.
Kasus Walid Ahmad bukanlah satu-satunya kasus penganiayaan yang mengakibatkan tawanan Palestina kehilangan nyawa di balik jeruji penjara Israel. Namun, tetap saja berita wafatnya Walid cukup menyita perhatian mengingat ia merupakan tawanan termuda yang meninggal di penjara Israel, yang tercatat sejak dimulainya genosida Israel di Jalur Gaza pada Oktober 2023. Hingga saat ini, masih ada ribuan tawanan lagi yang masih mendekam di penjara dan menderita akibat penganiayaan, kelaparan yang disengaja, serta larangan akses kesehatan oleh otoritas penjara Israel yang mengakibatkan nyawa mereka terancam. Jika praktik penahanan sewenang-wenang ini tetap dibiarkan berlanjut, dunia sama saja mengizinkan Israel untuk menghabisi tawanan Palestina satu per satu di dalam penjara.
Ahmad Manasra, Walid Ahmad, dan juga tawanan-tawanan Palestina lainnya yang nama dan kisahnya tidak bisa disebutkan satu per satu juga merupakan manusia seperti kita. Mereka memiliki keluarga, sahabat, serta kehidupan masing-masing sebelum ditangkap dan terpaksa menghabiskan usia di balik jeruji penjara Israel. Anak-anak, perempuan, juga penyandang disabilitas tidak diperlakukan berbeda di dalam penjara. Semuanya menghadapi kondisi yang sulit dan mengalami perampasan hak asasi manusia selama masa penahanan mereka, bahkan tak sedikit yang dipenjara tanpa alasan yang jelas selama puluhan tahun. Pada kesempatan Hari Tawanan Palestina tahun ini, dunia harus menyadari bahwa solusi yang sesungguhnya untuk menuntut keadilan bagi para tawanan adalah dengan membebaskan mereka semua dari penjara, agar mereka bisa melanjutkan kehidupan sebagai manusia yang bebas dan merdeka. Seluruh tawanan harus bebas agar tidak ada lagi anak-anak yang kehilangan masa kecil di penjara, tidak ada orang tua yang dipisahkan dari anak-anak mereka, dan tidak boleh lagi ada nyawa yang dibiarkan hilang secara tidak manusiawi di balik jeruji penjara.
#FreeThemAll
#FreePalestine
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI dan saat ini sedang menempuh pendidikan magister di program studi linguistik, FIB UI.
Sumber:
https://www.aljazeera.com/news/2023/4/17/what-is-palestinian-prisoners-day
https://www.addameer.org/statistics
https://www.addameer.org/news/5536
https://www.trt.global/world/article/a645cd41b161
https://www.newarab.com/news/ahmed-manasra-free-after-near-decade-israeli-detention
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini