Bulan Juli merupakan bulan keadilan. Tepatnya pada 17 Juli, dunia memperingati Hari Peradilan Pidana Internasional atau Hari Keadilan Internasional setiap tahunnya. Peringatan ini menyoroti bagaimana pengadilan internasional telah dan akan terus membawa keadilan bagi para korban kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hari ini juga merupakan peringatan penerapan Statuta Roma secara global yang memastikan negara-negara anggota Mahkamah Pidana Internasional memenuhi harapan di dalam statuta tersebut.
Sejak berabad-abad lalu, dunia telah menyaksikan tatanan baru, batas-batas baru, dan tantangan-tantangan baru. Sejumlah aturan tercipta hanya untuk kalangan tertentu, membuat garis batas yang abstrak. Konflik dan perang terjadi di mana-mana, pihak yang kuat secara brutal menindas pihak yang lemah. Warga sipil menjadi korban tanpa pandang bulu: anak-anak, perempuan, lansia, dan penyandang disabilitas tidak memiliki suara dan ruang di dunia ini. Oleh karena itu, dunia merasakan kebutuhan akan keadilan internasional.
Dari kebutuhan tersebut, pengadilan Nuremberg kemudian hadir di Jerman. Pengadilan ini menjadi tonggak sejarah dalam pendirian pengadilan internasional yang permanen. Selanjutnya, banyak pihak mengusulkan perjanjian untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan berat secara internasional.
Harapan tersebut akhirnya terwujud. Pada 17 Juli 1998, tepatnya dalam konferensi diplomatik di Roma, Italia, di depan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Statuta Roma mendapat pengesahan dari 120 negara. Statuta Roma berisi rincian mengenai definisi dan jenis-jenis dari empat bentuk kejahatan inti yaitu kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Statuta Roma juga menjelaskan mengenai struktur dan fungsi pengadilan dan menekankan bahwa Pengadilan Internasional hanya dapat menyelidiki dan menuntut suatu kasus apabila kejahatan terjadi di negara yang “tidak mampu” atau “tidak bersedia” menyelesaikannya sendiri.
Pengesahan Statuta Roma mengarah pada pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada tahun 2002 yang merupakan pengadilan permanen untuk menyelidiki dan mengadili orang-orang yang melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Hari tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Keadilan Internasional.
Akan tetapi, bagi warga Palestina, Hari Keadilan Internasional hanyalah bagian dari hari-hari ketidakadilan yang mereka rasakan setiap harinya di bawah penjajahan Israel. Pada kenyataannya, keadilan masih menjadi layaknya dongeng di bumi Palestina. Setiap hari, bahkan setiap detiknya, berbagai jenis kejahatan terjadi tanpa henti di Palestina. Dunia kemudian menganggapnya sebagai “hal biasa”, sehingga mereka terlupa, bahwa ini adalah ketidakadilan yang sangat nyata.
Baca juga Ironi Hari Keadilan Internasional; Palestina Belum juga Mendapatkan Keadilan
Israel dan Keangkuhannya Menantang Hukum Internasional
“Alih-alih mengadopsi hukum internasional sebagai pedoman moral, Israel dengan sinis menggunakannya sebagai panduan untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis.” (B’Tselem, 2017)
Bertahun-tahun lamanya, hukum Internasional telah menetapkan kerangka normatif yang seharusnya mengikat perilaku Israel di wilayah jajahannya. Ketentuan tersebut dituangkan dalam dua cabang hukum yaitu hukum humaniter internasional (HHI) dan hukum hak asasi manusia (HAM) internasional. Konvensi yang pada awalnya disepakati menyatakan bahwa kedua cabang tersebut tidak berlaku secara bersamaan; HHI berlaku pada saat konflik bersenjata dan penjajahan, sedangkan HAM berlaku pada masa damai.
Namun, seiring waktu berjalan, konvensi hukum tersebut mengalami perubahan, sehingga membuat perbedaan ini menjadi kabur. Oleh karena itu, konvensi yang berlaku saat ini menyatakan bahwa HAM juga tetap berlaku selama konflik bersenjata dan penjajahan, bersamaan dengan HHI. Ini terjadi karena perlindungan yang diberikan HHI kepada warga sipil dan korban perang dipandang lebih terbatas dibandingkan dengan perlindungan yang diberikan berdasarkan hukum HAM, sehingga pandangan ini secara signifikan memperluas perlindungan yang diberikan kepada warga sipil selama konflik bersenjata. Dalam kasus yang jarang terjadi, ketika HHI dan HAM tidak mencapai kesepakatan dalam situasi konflik bersenjata, konvensi ini mengatur agar ketentuan HHI lebih diutamakan.
HHI menetapkan aturan-aturan yang berlaku bagi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata, dengan berupaya meminimalkan, sebisa mungkin, kerugian terhadap warga sipil dan kombatan yang tidak lagi mengambil bagian dalam pergolakan, seperti korban luka dan tawanan perang. Untuk tujuan ini, ketentuan HHI membatasi metode dan senjata yang boleh digunakan oleh masing-masing pihak. Misalnya, HHI menetapkan bahwa hanya sasaran militer yang boleh diserang (prinsip pembedaan), itu pun hanya dengan syarat bahwa kerugian terhadap warga sipil diperkirakan tidak melebihi keuntungan militer yang diharapkan (prinsip proporsionalitas).
HHI juga menetapkan aturan-aturan yang berlaku bagi suatu kekuasaan penjajah. Aturan tersebut menyatakan bahwa penjajahan, menurut definisi, hanya bersifat sementara dan bahwa penjajah tidak pernah berdaulat di wilayah yang dijajah. Sifat penjajahan yang jangka waktunya sementara menimbulkan pembatasan-pembatasan yang diberlakukan terhadap penjajah, dan terutama peraturan bahwa penjajah tidak boleh melakukan perubahan permanen di wilayah jajahan, dengan pengecualian perubahan yang dilakukan adalah untuk kepentingan penduduk setempat atau untuk memenuhi kebutuhan militer penting penjajah.
Di antara batasan yang diatur dalam aturan ini adalah bahwa penjajah tidak boleh mengubah hukum yang berlaku di wilayah jajahan, membangun permukiman permanen di sana, atau mengeksploitasi sumber daya alam. HHI juga menetapkan bahwa orang-orang yang tinggal di wilayah jajahan sebelum dijajah dianggap sebagai “orang-orang yang dilindungi” dan tidak boleh dikenakan hukuman atau kekerasan kolektif, harta benda pribadi mereka tidak boleh disita, kehormatan mereka tidak boleh dilanggar, dan mereka boleh tidak diusir dari rumahnya. Selain ketentuan tersebut, penjajah juga harus menjunjung tinggi ketentuan hukum hak asasi manusia (HAM) internasional dalam perilakunya di wilayah jajahan yang mencakup hak-hak dasar untuk hidup sebagai manusia yang beradab.
Pada tahun 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak, tanpa perbedaan apa pun. Selain itu, Deklarasi Universal HAM juga menyatakan hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi, juga melarang perbudakan, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang. Deklarasi ini juga mengakui hak universal atas persamaan di depan hukum, jaminan sosial dan standar hidup yang layak, hak untuk membentuk keluarga tanpa batasan apapun berdasarkan ras, kebangsaan, atau agama, dan hak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan kebebasan beragama.
Dari poin-poin hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia internasional tersebut, adakah satu poin saja yang Israel patuhi?
Di Mana Keadilan, Ketika Seluruh Kejahatan Terjadi di Palestina?
“Kejahatan mengandung empat elemen – perilaku, niat, konteks, dan kesadaran akan konteks. Jika keempatnya hadir, maka kejahatan telah dilakukan.” (B’Tselem, 2024)
Kebalnya Israel terhadap hukum internasional, terutama dalam agresi Gaza saat ini, telah menunjukkan kelemahan utama sistem peradilan internasional yaitu tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang efektif, berdasarkan pernyataan yang disebutkan oleh laman B’Tselem. Mekanisme-mekanisme yang ada tidak hanya berlarut-larut dan berbelit-belit, namun sebagian besar hanya menangani kasus-kasus individual saja, bukan pada akar pembuat aturan dan kebijakan, sebagaimana yang terjadi di Palestina. Ribuan kisah pengungsi, anak-anak pengungsi, dan keturunan-keturunannya telah berseliweran di media massa selama bertahun-tahun, tanpa penyelesaian ke ujung akar permasalahan: penjajahan Zionis.
Selain itu, tekanan politik dan perebutan kekuasaan internasional seringkali juga ikut memengaruhi bagaimana prioritas ditetapkan dan kasus mana yang dipilih untuk dproses. Oleh karena itu, sejauh mana negara-negara, termasuk Israel yang status “negara”nya didapatkan dari hasil mencuri, bisa mematuhi ketentuan-ketentuan hukum internasional, sangat bergantung pada niat baik mereka dan tekanan internasional serta teguran diplomatik, yang diberikan oleh negara-negara lain atau lembaga-lembaga internasional. Pada kasus Palestina, silakan diperhatikan dan dijawab sendiri apa yang telah dilakukan negara-negara Arab, terutama Mesir yang berseberangan dengan Gaza, untuk membantu Gaza dan Palestina?
Meskipun demikian, di tengah keterbatasan hukum internasional yang terlihat memiliki kelemahan yang fatal, perjanjian ini setidaknya berusaha menetapkan peraturan yang dirancang untuk meminimalkan sejauh mungkin pelanggaran hak asasi manusia oleh otoritas negara. Oleh karena itu, keberadaan dan idealisme yang dijanjikannya tak bisa dianggap tak penting, sebab seluruh dunia akan merujuk ke sana untuk mendefinisikan apa yang disebut keadilan. Meskipun hingga detik ini, Israel terus-menerus menghindari untuk memenuhi persyaratan minimum yang menjadi kewajibannya untuk ditegakkan di wilayah yang mereka jajah: tanah Palestina.
Dilansir dari B’Tselem, disebutkan bahwa selama ini Israel berpendapat bahwa mereka tidak terikat oleh hukum hak asasi manusia internasional di wilayah penjajahan, karena wilayah tersebut secara resmi bukan wilayah kedaulatan Israel. Meskipun benar bahwa Israel bukanlah penguasa di wilayah jajahan, fakta ini tidak mengurangi kewajibannya untuk menegakkan ketentuan internasional mengenai hak asasi manusia di sana. Para ahli hukum internasional pun tidak setuju dengan posisi Israel mengenai masalah ini, dan hal ini juga telah berulang kali ditolak oleh Mahkamah Internasional (ICJ) dan seluruh komite PBB yang mengawasi pelaksanaan berbagai konvensi hak asasi manusia. Badan-badan internasional ini berkali-kali menegaskan bahwa negara harus menjunjung tinggi ketentuan hak asasi manusia di mana pun ketentuan tersebut berada dalam kendali mereka.
Setelah mengaku berlepas tangan dari hukum HAM internasional. Terkait HHI, Israel juga telah mengajukan berbagai argumen selama bertahun-tahun sebagai upaya terselubung untuk menolak menegakkan ketentuan-ketentuannya. Pada tahun-tahun awal penjajahan, Israel berpendapat bahwa wilayah Palestina sama sekali tidak dijajah, karena sebelum Israel menguasainya, wilayah tersebut belum diakui sebagai wilayah kedaulatan negara lain, tanpa menyebutkan keberadaan penduduk yang telah menetap di sana dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, menurut argumen Israel, mereka dikecualikan dari penegakan aturan yang mengatur penjajahan. Israel menyatakan bahwa, meskipun tidak diwajibkan oleh undang-undang, Israel tetap akan menjunjung “ketentuan kemanusiaan” dari Konvensi Jenewa Keempat yang membahas perlindungan warga sipil. Yang luput diperhatikan, Israel tidak pernah sama sekali menyatakan ketentuan mana yang dianggapnya bersifat “kemanusiaan”.
Selama bertahun-tahun Israel juga berpendapat bahwa tindakannya di wilayah jajahan adalah “sah” dan sesuai dengan ketentuan hukum internasional: Pembangunan permukiman di Tepi Barat yang menjamur, juga pencurian ribuan rumah hektar lahan milik penduduk sipil Palestina adalah sah karena dilakukan dengan pengecualian sempit yang memperbolehkan penghancuran properti pribadi jika terjadi “kebutuhan militer”. Contoh argumen lain yang mereka kemukakan, penahanan administratif terhadap ribuan warga Palestina adalah sah karena mencegah kejahatan pada masa depan dan “alasan keamanan” mendasari pemenjaraan penduduk sipil, tak terkecuali anak-anak. Dan yang terburuk, Israel menyebutkan bahwa pembunuhan ribuan warga Palestina selama agresi yang berulang di Jalur Gaza adalah sah karena mereka selalu dibunuh sesuai dengan prinsip-prinsip dasar HHI – prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas. Dan hebatnya lagi, argumen-argumen ini hampir selalu diterima oleh Pengadilan Tinggi Israel, menunjukkan anomali dalam sistem yang telah mengakar hingga ke lembaga yang “adil” merupakan nama tengahnya.
Terlepas dari keangkuhan Israel, ketentuan hukum internasional bukanlah sekadar teori hukum. Perlindungan tersebut dirumuskan untuk memberikan setidaknya sedikit perlindungan bahkan dalam keadaan perang atau penjajahan terhadap orang-orang yang tidak berdaya. Berbagai penafsiran yang diberikan Israel terhadap aturan-aturan ini untuk membenarkan kerugian fatal yang ditimbulkannya terhadap penduduk sipil di wilayah jajahan sama sekali tidak sejalan dengan tujuan ini, dan sebaliknya memiliki tujuan yang sangat berlawanan, yaitu untuk memberikan kedok legalitas atas tindakan kriminal yang selamanya tidak dapat dibenarkan.
Roti yang Dicelup Darah: Saat Kelaparan Dijadikan Senjata Genosida
“Apa yang terjadi di Lapangan a-Nabulsi pada tanggal 29 Februari 2024 adalah sesuatu yang tidak akan pernah saya lupakan. Saya pergi ke sana bersama ribuan orang lainnya untuk mengambil karung tepung, dan ketika kami mendekati truk, kami diserang dengan brutal. Banyak orang terluka akibat penembakan itu, dan ada pula yang terbunuh. Sungguh pemandangan yang mengejutkan. Darah merembes ke dalam tepung, dan ungkapan “roti dicelupkan ke dalam darah” menjadi kenyataan. Orang-orang pergi ke sana hanya untuk mendapatkan makanan untuk keluarganya. Ada yang kembali dalam keadaan terluka dan yang lainnya tidak kembali sama sekali. Yang saya inginkan hanyalah bertahan dari kelaparan yang membunuh kita semua di Gaza utara. Setidaknya selamatkan anak-anak kami yang sudah lama kelaparan di sini.” (Ahmad Abu Ful, 40, Kamp Pengungsi Jabalya)
Agresi Gaza merupakan contoh paling nyata untuk menggambarkan bagaimana hukum internasional seakan buta melihat pelanggaran-pelanggaran besar Israel, bahkan dalam hal-hal dasar seperti hak untuk hidup dan makan dengan layak. Berdasarkan laporan dari badan-badan internasional mengenai situasi di Gaza dan kesaksian yang dikumpulkan oleh para peneliti lapangan B’Tselem, dibuatlah kesimpulan bahwa selama berbulan-bulan, Israel telah melakukan kejahatan kelaparan berdasarkan hukum internasional di Jalur Gaza. Definisi kejahatan kelaparan sendiri menurut Statuta Roma adalah: “Dengan sengaja menggunakan kelaparan warga sipil sebagai metode peperangan dengan merampas benda-benda yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka, termasuk dengan sengaja menghalangi pasokan bantuan…” (Statuta Roma ICC, pasal 8(2)(b)(xxv))
Laporan Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC), sebuah inisiatif yang melibatkan lebih dari 15 organisasi bantuan kemanusiaan internasional yang dipimpin oleh PBB dan diterbitkan pada akhir Maret 2024, telah menetapkan bahwa Jalur Gaza jelas-jelas berada di ambang kelaparan. Hal ini merupakan Fase 5 dari IPC, yang menunjukkan separuh penduduk Gaza menderita kerawanan pangan yang sangat parah. Menurut standar internasional yang berlaku, suatu daerah berada dalam kondisi kelaparan ketika setidaknya 20% rumah tangga menghadapi kesenjangan pangan yang ekstrem, dan setidaknya 30% anak-anak menderita kekurangan gizi yang parah.
Menurut laporan tersebut, pada Februari dan Maret 2024, seluruh Jalur Gaza berada di Fase 4 skala kelaparan, dan beberapa rumah tangga sudah berada di Fase 5 kerawanan pangan akut; mencakup 55% rumah tangga di wilayah utara, 25% di wilayah tengah Gaza, dan 25% di selatan. Laporan tersebut memperkirakan bahwa situasinya akan semakin memburuk dalam beberapa bulan mendatang, dengan proyeksi 70% rumah tangga di wilayah utara, 50% di Gaza tengah, dan 45% di selatan mencapai Fase 5.
Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), pada Maret 2024, sebanyak 2,2 juta orang (hampir 100% populasi) di Gaza mengalami kerawanan pangan Fase 3 atau lebih buruk lagi, sebanyak 1,17 juta berada di Fase 4, dan hampir setengah juta orang mengalami tingkat kerawanan pangan tertinggi, atau Fase 5.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan bahwa 10 anak meninggal di rumah sakit akibat kelaparan. OCHA juga melaporkan bahwa 32 orang, 28 di antaranya anak-anak, meninggal karena kekurangan gizi atau dehidrasi sejak dimulainya agresi di Jalur Gaza. Dilaporkan juga bahwa sekitar 16% anak-anak di bawah usia dua tahun di Gaza utara menderita kekurangan gizi parah, dan 5% terjadi di Rafah. Laporan situasi kemanusiaan yang dikeluarkan oleh Dana Anak-Anak PBB (UNICEF) mencatat bahwa dalam seminggu saja, antara tanggal 29 Februari dan 6 Maret, hotline UNICEF menerima lebih dari 1.000 panggilan telepon tentang kekurangan pangan atau kelaparan, terutama di Gaza utara.
Selain dampak buruk jangka pendek, kelaparan juga mempunyai dampak jangka panjang yang sangat buruk. Malnutrisi dan efek sampingnya mempunyai konsekuensi yang luas terhadap perkembangan neurologis dan kognitif anak, terutama pada dua tahun pertama kehidupannya. Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dan anak yang menderita gizi buruk memiliki IQ yang lebih rendah, serta prestasi akademik dan penalaran yang lebih rendah. Kelaparan juga merupakan faktor yang berkontribusi signifikan terhadap peningkatan masalah perilaku dan psikologis pada anak-anak.
Selain itu, malnutrisi pada tahun-tahun pertama kehidupan juga mengganggu perkembangan sistem muskuloskeletal, serta perkembangan bakteri usus, yang jika kekurangan nutrisi meningkatkan risiko penyakit kronis di usia dewasa. Malnutrisi selama kehamilan menghambat perkembangan kognitif dan meningkatkan risiko diabetes dan obesitas di kemudian hari. Kelaparan dan malnutrisi bahkan dapat berkontribusi terhadap berkembangnya gangguan kesehatan pada generasi mendatang, antara lain penyakit kardiovaskular, diabetes, obesitas, dan meningkatnya kecenderungan penularan penyakit menular dan infeksi, seperti tuberkulosis. Dengan kata lain, Israel bukan hanya menggunakan kejahatan kelaparan untuk menargetkan penduduk Gaza, namun juga untuk menghabisi, atau setidaknya menurunkan kualitas generasi-generasi Palestina pada masa yang akan datang.
Di tengah keterbatasan untuk memperoleh pangan, penduduk Jalur Gaza kini hampir sepenuhnya bergantung pada bantuan negara dan organisasi internasional. Namun, truk bantuan harus melalui proses yang panjang dan sulit untuk mencapai tujuannya di Gaza. Sebagian besar pasokan bantuan disimpan di al-Arish, Mesir. Dari sana, mereka diangkut ke Gaza dengan truk melalui salah satu dari dua penyeberangan, keduanya terletak di bagian selatan Jalur Gaza.
Akan tetapi, akses menuju penyeberangan ini sulit dan memakan waktu, dengan banyak pemberhentian di sepanjang jalan. Kargo truk diperiksa berkali-kali, biasanya di Rafah dan di Nitzana atau di Karem Abu Salem (Kerem Shalom), sehingga menyebabkan penundaan yang sangat lama. Kargo kemudian dibongkar di penyeberangan untuk kemudian dimuat ke truk lain dan dibawa ke fasilitas penyimpanan di dalam Jalur Gaza. Dari sana, bantuan tersebut baru didistribusikan ke berbagai wilayah Gaza, dengan catatan harus berkoordinasi dengan Israel. Karena pembatasan yang diberlakukan Israel dan kerusakan parah pada infrastruktur yang disebabkan oleh pengeboman Israel, hanya sebagian kecil dari bantuan yang sampai ke Jalur Gaza, terutama di bagian utara.
Selain makanan, Israel juga menghalangi penduduk Palestina untuk memperoleh sumber kehidupan paling krusial, yaitu air bersih. Menurut Euro-Med Monitor, masyarakat di Jalur Gaza hanya memiliki akses terhadap 1,5 liter air per orang per hari untuk semua kebutuhan, termasuk minum, memasak, dan kebersihan pribadi, sedangkan ambang batas air darurat internasional yang ditetapkan adalah 15 liter per orang per hari—sepuluh kali lipat dari jumlah yang dimiliki warga Gaza saat ini. Setidaknya lebih 20 orang telah meninggal karena dehidrasi dan kekurangan gizi, dan jumlah ini akan terus meningkat seiring dengan menyebarnya penyakit diare karena kurangnya air bersih, membuat banyak orang tidak dapat mempertahankan jumlah kalori yang mereka konsumsi.
Akar penyebab krisis air di Palestina bukanlah kurangnya investasi, melainkan realitas politik yang memperlihatkan bahwa Israel, sebagai kekuatan penjajah, telah mengelola air dengan cara menghalangi akses yang adil bagi warga Palestina. Para ahli dan kelompok hak asasi manusia menyebut hal ini sebagai “apartheid air.” Mereka mengatakan bahwa taktik Israel di Gaza, seperti memutus pasokan air ke wilayah tersebut, hanyalah contoh terbaru dari penggunaan sumber daya vital tersebut sebagai senjata. Kenyataannya, praktik apartheid air telah berlangsung bertahun-tahun, dan tidak hanya menargetkan Jalur Gaza, melainkan seluruh wilayah Palestina.
Sebagai contoh, di Tepi Barat, perjanjian yang dimuat dalam Perjanjian Oslo yang memberi Israel kendali atas semua sumber daya air masih diberlakukan, meskipun perjanjian tersebut hanya dirancang sebagai perjanjian transisi lima tahun. Dengan menggunakan kekuatan ini, Israel menggunakan sebagian besar air yang dipompa dari cekungan air tanah utama di Tepi Barat dan membatasi akses warga Palestina menjadi hanya sekitar 20%. Israel menggunakan semua sumber air dari Sungai Yordan dan tidak menyisakan satu pun untuk komunitas Palestina. Hal ini juga telah menciptakan sistem ketergantungan yang dipaksakan, membuat kota-kota di Tepi Barat tidak punya pilihan selain mengimpor air dari Israel melalui jaringan nasionalnya, yang dibangun di Tepi Barat untuk mendukung permukiman ilegal.
Palestina: Tempat di mana Keadilan Tak Lagi Punya Makna
Mengenai kejahatan kemanusiaan di Jalur Gaza, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir mengatakan, “Selama Gerakan Perlawanan Palestina menolak melepaskan sandera yang mereka tahan, satu-satunya hal yang harus masuk ke Gaza adalah ratusan ton bahan peledak Angkatan Udara, dan bukan satu gram pun bantuan kemanusiaan.” Pernyataan keji tersebut kemudian ditambahkan oleh Menteri Pertahanan Yoav Gallant, “Kami memberlakukan pengepungan penuh di Kota Gaza. Tidak ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada bahan bakar. Semuanya tertutup. Kami memerangi binatang buas dan kami bertindak sesuai dengan hal tersebut.”
Dua pernyataan pejabat Israel di atas barulah segelintir dari kalimat dan perbuatan tak bermoral yang mereka lakukan di Palestina, terutama Gaza, hingga saat ini. Dan mirisnya, tidak ada satu pun tindakan dari Mahkamah Internasional yang setidaknya memberikan efek jera pada mereka. Sebaliknya, Israel justru dengan bangga semakin menunjukkan kejahatan mereka secara terang-terangan, bahkan terhadap bayi dan anak-anak yang belum paham benar apa yang disebut sebagai keadilan.
Bukan tidak mungkin, padaa waktu-waktu mendatang, anak-anak Palestina akan hilang rasa dan hilang makna ketika mendengar kata keadilan. Kata itu akan terasa amat asing dan jauh dari mereka, tak terjangkau meski hanya di alam maya. Bagaimana tidak, saat ini, para pemukim Israel menggunakan air tiga kali lebih banyak per hari dibandingkan warga Palestina, di kala penduduk Gaza hanya memiliki pilihan air limbah atau air hujan. Orang-orang Israel juga masih bisa memilih jenis makanan apa yang akan mereka konsumsi setiap hari, sedangkan penduduk Palestina hanya memiliki pilihan dedaunan atau pakan ternak. Keadilan juga terasa amat sangat kabur ketika anak-anak Palestina menyadari bahwa yatim piatu adalah hal biasa di antara mereka, ditangkap dan dianiaya adalah makanan mereka, di saat anak-anak lain di dunia bersekolah dan bermain tanpa perlu memikirkan masalah dunia.
Pun jika suatu saat nanti keadilan akan berhasil ditegakkan di tanah Palestina, patut dipertanyakan akankah ia bermakna nyata, atau sekadar ungkapan manis penguasa dunia untuk meninabobokan masyarakat dari bisingnya ketidakadilan di bumi Palestina.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
https://www.btselem.org/international_law
https://www.btselem.org/publications/202404_manufacturing_famine
https://www.aljazeera.com/news/2023/11/7/one-month-of-no-water-food-and-healthcare-for-gaza
https://www.btselem.org/statistics/minors_in_custody
https://www.ochaopt.org/data/demolition
https://www.yesmagazine.org/social-justice/2024/04/08/water-israel-gaza-west-bank air
https://globalnutritionreport.org/resources/nutrition-profiles/asia/western-asia/israel/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini