Air adalah kebutuhan mendasar yang dibutuhkan oleh setiap makhluk yang bernyawa. Bagi manusia, tiada hari yang berlalu tanpa adanya kebutuhan terhadap air. Sejak lahir hingga meninggal dunia, manusia selalu membutuhkan air. Mandi, menggosok gigi, memasak, mencuci, dan menyiram tanaman adalah beberapa aktivitas yang umumnya dilakukan setiap hari di masing-masing rumah tangga, belum termasuk kebutuhan air di industri besar untuk memasok kebutuhan pasar. Dengan kata lain, hidup manusia tidak pernah terlepas dari air.
Lantas, bagaimanakah jadinya jika hak manusia terhadap air bersih dirampas? Pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab oleh penduduk Palestina, yang hak mereka atas air bersih sudah sejak lama dirampas oleh penjajah Israel. Di Palestina, air bersih yang mengalir adalah sebuah kemewahan yang mungkin mereka sudah lupa kapan terakhir kali menikmatinya. Setiap tahunnya, pada 22 Maret, seluruh dunia memperingati Hari Air Sedunia. Namun, bagi penduduk Palestina, yang ada hanyalah Hari Air Terkontaminasi Sedunia, sebab hanya itu yang mereka temukan untuk mencukupi kebutuhan air mereka hingga saat ini.
Gaza: Air Hanya Cukup untuk Mandi Sepuluh Hari Sekali

Faten (28) dan Karam (39), sepasang suami istri yang tinggal di Gaza utara, selalu memulai pagi mereka dengan membawa ember untuk diisi dari pipa umum atau sumber air lain yang dapat mereka temukan hari itu. Terkadang, orang tua Karam ikut bersama mereka untuk mengangkut ember dan mencari air, sesuatu yang biasanya tidak pernah terjadi dalam masyarakat tradisional Gaza. Umumnya, lansia tidak melakukan tugas-tugas yang melelahkan fisik. Namun, genosida telah memutarbalikkan semua hal.
Dengan sumber daya yang menipis dan kelangsungan hidup yang dipertaruhkan, semua orang, termasuk lansia dan anak-anak kecil, terpaksa berkontribusi. Dua saudara Karam yang tinggal di tenda-tenda di dekatnya juga memikul tanggung jawab untuk mengumpulkan air. Akan tetapi, ketika air habis, seluruh anggota keluarga akan berpencar ke segala arah untuk mencari lebih banyak air.
Faten dan Karam memiliki lima anak, sedangkan Orang tua Karam – Dalal (60) dan Nasser (65) – memiliki delapan anak, dua di antaranya masih tinggal bersama mereka. Sejak rumah mereka hancur, Faten dan keluarganya mendirikan tenda-tenda yang berdekatan di atas reruntuhan yang dulunya merupakan rumah keluarga besar mereka di Beit Lahiya. Di depan tenda mereka ada dapur – tidak lebih dari beberapa papan kayu untuk meletakkan peralatan memasak dan persediaan makanan yang sedikit.
Di samping dapur, terdapat kamar mandi – sebuah lubang berlapis batu yang digali di pasir yang berfungsi sebagai kakus dengan lebih banyak batu yang menandai area mandi kecil – seluruh bagian “kamar mandi” ditutup oleh selimut yang menutupi tongkat yang ditancapkan tegak di tanah. Di mana-mana ditumpuk kendi dan ember untuk menampung air, yang telah menjadi perjuangan sehari-hari keluarga tersebut.
Kekurangan air yang parah telah melanda daerah tersebut, yang menjadi lebih parah sejak penduduk yang mengungsi mulai kembali ke rumah mereka ketika gencatan senjata sementara dimulai pada 19 Januari 2025. Organisasi Inggris Oxfam pada akhir Februari 2025 mengatakan bahwa Israel telah menghancurkan lebih dari 80% jaringan air dan limbah di Jalur Gaza, yang menyebabkan kondisi bencana.
Oxfam menjelaskan bahwa Israel telah menghancurkan 1.650 kilometer jaringan air dan limbah. Organisasi tersebut mencatat bahwa penduduk di Gaza utara dan Kota Rafah di bagian selatan Jalur Gaza hanya hidup dengan 5,7 liter air per hari, atau kurang dari 7% dari tingkat persediaan air sebelum genosida. Mereka lebih lanjut menyatakan bahwa ini hampir tidak cukup untuk bahkan untuk satu kali menyiram toilet.
“Bagaimana orang dapat tinggal di tempat yang hancur? Tidak ada kebutuhan pokok, tidak ada infrastruktur, tidak ada air, tidak ada pembuangan limbah, tidak ada listrik,” kata Faten. “Terkadang, saya pikir lebih baik kami meninggal dalam genosida ini.” Faten menjelaskan bahwa kadang-kadang, truk air datang, dan semua orang di keluarga akan berlarian, berebut untuk mendapatkan tempat dalam antrean pengisian. Namun, ada waktu ketika keluarganya tidak mendapatkan tempat dalam antrean, dan kadang-kadang air terlanjur habis. Faten mencatat bahwa tidak ada yang menyediakan pasokan air yang stabil dan pemerintah kota tidak dapat memulihkan pipa di tengah kerusakan dan blokade bantuan.
“Kami membatasi air dengan ketat. Kami takut membuang setetes pun. Saya meneriaki menantu perempuan dan anak perempuan saya setiap hari tentang penggunaan air,” kata Dalal. “Saya menetapkan aturan yang ketat. Tidak lebih dari satu orang yang boleh mandi per hari. Mandi dibatasi hanya sekali setiap 10 hari. Hanya satu keluarga yang boleh mencuci pakaian per hari,” kata Dalal, ibu Karam, sambil duduk di dekat api unggun.
“Kami dulu punya tangki air 5.000 liter [1.320 galon] di rumah dan listrik untuk memompa air,” kenang Faten. “Kami tidak pernah hidup seperti ini sebelumnya. Saya biasa memandikan anak-anak saya setiap hari atau dua hari sekali. Namun, sekarang hal itu hampir mustahil.” Karam juga menambahkan bahwa ia harus berhati-hati saat mencuci tangan dan wajah anak-anaknya karena punggungnya patah akibat terus-menerus mengangkut air.”
“Memiliki air mengalir dari keran terasa seperti mimpi yang mustahil. Kamar mandi yang layak dengan air mengalir juga merupakan mimpi,” kata Faten. “Pipa, selang, dan keran dengan air yang mengalir adalah mimpi kami saat ini.”
Tidak Ada Air Kecuali Air Asin Atau Air Kotor di Gaza

Sama seperti warga Gaza lainnya, Faten, dengan segala keterbatasan dan kesulitan yang ia alami bersama keluarganya, tidak memiliki pilihan selain berjuang bertahan hidup. Beberapa waktu lalu, hujan badai yang melanda Gaza menjadi harapan bagi Faten dan banyak keluarga lainnya. “Saat badai melanda, truk-truk air menghilang, jadi kami mulai menampung air hujan di semua wadah, ember, dan bak yang dapat kami temukan.”
Faten mengatakan, awalnya orang-orang ragu dengan tindakan yang ia lakukan tersebut, mengingat air hujan sebenarnya kurang layak untuk dijadikan air minum, namun ia mengatakan mereka tak memiliki pilihan lain. “Awalnya, orang-orang di sekitar kami skeptis, tetapi tak lama kemudian mereka mengikuti kami. Kami menggunakan air hujan untuk segala hal. Itu menjadi alternatif yang sempurna,” katanya.
Pada pertengahan Maret 2025, pemerintah Kota Gaza menyatakan bahwa Mekorot, perusahaan air Israel, mengendalikan hampir 70% air Gaza. Oleh karena itu, setiap kali Israel membatasi pasokan air, akan timbul konsekuensi yang menghancurkan, membahayakan nyawa, memperburuk kesehatan masyarakat, dan meningkatkan penyebaran penyakit. Mekorot, perusahaan air Israel, telah mengubah air menjadi alat ancaman terhadap penduduk Gaza.
PBB memperkirakan bahwa rata-rata warga di seluruh Gaza Tidak dapat memenuhi standar darurat PBB atas air, yaitu sebanyak 15 liter. Sebanyak 70 persen warga Gaza hanya dapat menggunakan air asin dan terkontaminasi. Berdasarkan laporan dari UNICEF, 90 persen penduduk Gaza tidak bisa mengakses air bahkan dalam jumlah yang sedikit, sehingga tidak memiliki pilihan lain selain meminum air yang asin atau terkontaminasi.
Di tempat lain di Gaza, tepatnya di lingkungan Al-Rimal, Mahmoud Al-Zard (42), seorang ayah dari lima orang anak, juga memiliki keseharian yang hampir serupa dengan Faten. Setiap pagi, ia akan berkeliling dari satu toko roti ke toko lainnya, mencari sumber air untuk memberi anak-anaknya makan dan minum.
Zard mengatakan bahwa selama tiga pekan berturut-turut, Israel telah menutup penyeberangan Karim Abu Salem (Kerem Shalom), melumpuhkan aliran bantuan kemanusiaan, makanan, air dan pasokan medis ke Gaza. Sekitar dua pekan yang lalu, Israel bahkan memutus satu-satunya jalur listrik yang menggerakkan pabrik desalinasi Gaza, memperburuk krisis air yang sudah mengerikan.
Menemukan air minum yang bersih telah menjadi tantangan yang melelahkan. Dengan infrastruktur air yang rusak dan pemadaman listrik yang konstan, mengamankan air untuk kebutuhan sehari-hari telah menjadi ujian. Al-Zard mengatakan bahwa ia harus berjalan lebih dari dua kilometer setiap hari untuk mengisi wadah plastik dari tangki air yang dikelola badan amal.
“Air di Gaza asin dan tidak dapat diminum. Bahkan ketika kami menemukan air tawar, kami harus berusaha keras untuk mendapatkannya. Listrik terputus hampir sepanjang hari, jadi kami harus mengisi galon secara manual,” katanya. Kadang-kadang, ketika tangkinya kering, al-Zard terpaksa membeli air dengan harga tinggi dari vendor swasta. “Kami sudah mulai menjatah air. Kami mandi sepekan sekali, dan prioritasnya adalah minum dan memasak. Istri saya mengatakan kepada anak-anak untuk menggunakan air sesedikit mungkin saat mencuci tangan,” tambahnya.
Ekonom Tareq Al-Hajj memperkirakan bahwa situasi ekonomi Gaza dapat runtuh sepenuhnya dalam beberapa pekan: “Kenaikan harga roti dan air, dikombinasikan dengan penurunan ekonomi secara keseluruhan, telah mendorong lebih dari 1,5 juta warga Palestina di bawah garis kemiskinan. Jika penutupan berlanjut, Gaza akan menghadapi kelaparan yang nyata,” katanya kepada The New Arab.
Melihat tidak adanya solusi, warga Palestina di Gaza berusaha mencukupi kebutuhan harian mereka secara mandiri. Al-Zard sendiri telah mulai menanam sayuran seperti tomat, mentimun, dan terong di sebuah lahan kecil di dekat rumahnya. “Saya berharap tanaman ini akan membantu saya untuk memberi makan keluarga, meskipun sulit untuk merawatnya tanpa air,” katanya.
Tepi Barat: Warga Palestina Hanya Bisa Mengakses 20 Persen Persediaan Air

Tidak hanya di Gaza, kondisi serupa juga dihadapi oleh penduduk Palestina di wilayah Tepi Barat. Di kota Mazra’a al Gharbieh di Tepi Barat, Samhan Shreiteh (70) mengatakan bahwa setiap pagi, dia biasanya akan pergi ke mata air di dekatnya dan mengumpulkan air untuk keluarganya. Tapi sejak 8 Oktober 2023, sehari setelah genosida dimulai, dia bertemu dengan pemukim Israel yang membawa senjata ke mata air. “Mereka mendekati saya, mereka mengarahkan senjata ke arah saya, dan mereka berkata, ‘Pergi sekarang atau kami tembak,” katanya. Shreiteh mengatakan dia belum kembali ke mata air sejak hari itu – tetapi dia cukup dekat untuk melihat bahwa pemukim masih ada di sana.
Di Tepi Barat, mata air Al-Auja adalah salah satu sumber air penting bagi kota-kota Palestina di dekatnya, terutama untuk memenuhi kebutuhan peternakan dan penggembala domba Palestina. Namun, sejak genosida, pemukim Israel mendirikan pos pemeriksaan baru hanya beberapa ratus kaki dari mata air itu. Pos-pos seperti itu ilegal di bawah hukum internasional, tetapi semakin umum di Tepi Barat, karena Israel menutup mata – atau dalam beberapa kasus, mendesak pemukim untuk merebut lebih banyak tanah warga Palestina.
Pemukim yang mengambil alih sumber air bukanlah fenomena baru, tetapi telah meningkat secara drastis sejak genosida dimulai. Puluhan pos pemukim baru seperti yang berada di dekat Al-Auja telah dibangun sejak saat itu, seringkali di dekat atau di sekitar sumber air alami yang secara tradisional digunakan oleh orang-orang Palestina.
Kehilangan akses ke mata air terdekat berarti rumah tangga Shreiteh sekarang harus bergantung pada air yang mengalir melalui keran mereka di rumah. Suatu ketika, kerannya kering. Dia mengatakan tidak ada air selama 20 hari. Jadi Shreiteh harus membeli air dari layanan pengiriman air, kemudian disimpan dengan tangki dan ember di luar rumah. Untuk layanan ini, dia mengatakan dia membayar lima kali lipat dibandingkan sebelum genosida.
Sejak saat itu, Shreiteh dan keluarganya harus menghemat air. Mereka mencuci pakaian hanya sekali seminggu, mandi sangat dibatasi, mencuci piring hanya di penghujung hari, dan menyirami kebun hanya sekadar untuk membuat tanaman tetap hidup. “Saya dulu bekerja di kebun sepanjang hari untuk menyiram tanaman-tanaman saya,” katanya, berdiri di antara deretan pohon zaitun dan lemon di belakang rumahnya. “Tapi sekarang saya duduk di rumah. Saya hanya menyiraminya seminggu sekali, dan hanya jika kami mampu membeli air.”

Di sisi lain, di permukiman Israel, keran tidak pernah mengering, sebab salurana air mereka terhubung ke jaringan air Israel, sedangkan kota-kota Palestina dan kota-kota di Tepi Barat tidak. “Mereka (pemukim) memiliki air 24 jam sehari,” kata Shreiteh. Tahun 2024, NPR melaporkan bahwa Israel, termasuk pemukim yang tinggal di permukiman di Tepi Barat, rata-rata menggunakan 247 liter (65 galon) air per hari per orang – tiga kali lebih banyak dari 82,4 liter (22 galon) yang digunakan per orang Palestina di Tepi Barat. Studi yang sama juga menunjukkan bahwa hampir semua orang Israel, termasuk yang berada di permukiman, memiliki air mengalir setiap hari, sementara hanya sekitar sepertiga warga Palestina di Tepi Barat yang bisa merasakan fasilitas tersebut.
Bagi warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat, akses ke air bersih telah menjadi perjuangan selama bertahun-tahun. Aturan dari tahun 1990-an telah memungkinkan perbedaan jatah air antara orang Israel dan Palestina, dan tentunya dengan penjajahan Israel terhadap Tepi Barat membuat kebutuhan air bagi pemukim Israel diprioritaskan di atas warga Palestina. Aturan itu – yang seharusnya hanya berlangsung lima tahun, masih berlaku sampai sekarang – memberi Israel kendali atas 80% cadangan air Tepi Barat. Alokasi dalam perjanjian tersebut, yang tidak pernah berubah dalam 30 tahun, membuat kebutuhan air bagi warga Palestina di Tepi Barat tidak mencukupi.
Untuk memenuhi kebutuhan air di Tepi Barat, Otoritas Palestina dipaksa untuk membeli air dari Mekorot, perusahaan air nasional Israel, dengan biaya berkali-kali lipat. Selain itu, Palestina juga membutuhkan izin Israel untuk hampir semua pembangunan atau pemeliharaan saluran air di sebagian besar Tepi Barat. Ini membuat Otoritas Palestina tidak dapat membangun jaringan air untuk memungkinkan daerah-daerah yang cukup air dapat berbagi dengan yang miskin air – atau bahkan menyelesaikan tugas-tugas seperti memperbaiki pipa yang bocor.

Sejak genosida dimulai pada 7 Oktober 2023, air menjadi lebih sulit didapat. Di daerah pedesaan, pemukim Israel seringkali mengambil alih mata air. Banyak warga Palestina yang tinggal di kota-kota Tepi Barat mengatakan bahwa sejak genosida Gaza, air keran mengalir lebih jarang – kadang-kadang bahkan hanya sebulan sekali. Pejabat air di seluruh Tepi Barat memperkirakan bahwa air telah dipotong sekitar 35% sejak 7 Oktober oleh Israel, membuat kebutuhan akan air bersih menjadi semakin sulit.
Menurut laporan OCHA mengenai Water, Sanitation, and Hygiene (WASH), operasi terbaru Israel di Tepi Barat telah menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur WASH, yang memengaruhi puluhan ribu penduduk. Di Jenin, lebih dari 3,3 kilometer jaringan pembuangan limbah dan 21,4 kilometer jaringan pipa air telah rusak parah, terutama di dalam Kamp Pengungsi Jenin dan daerah sekitarnya. Kotamadya Jenin melaporkan bahwa lebih dari 5.000 meter jalan yang rusak telah berdampak lebih lanjut pada jaringan air dan limbah, menyebabkan sekitar 5.000 saluran air tidak terhubung ke sistem.
Di Tulkarm, kerusakan berat terjadi di kamp-kamp pengungsi Tulkarm dan Nur Shams, ketika 8,4 kilometer jaringan limbah dan air serta 15 kilometer pipa air dirusak oleh Israel. Kerusakan ini telah mengganggu sekitar 27.000 orang untuk mendapatkan air bersih, dengan setidaknya 7.000 orang masih belum terhubung ke sistem air meskipun ada upaya kota yang mendesak untuk memulihkan layanan.
Di Tubas, penilaian terhadap akses untuk WASH yang dilakukan di Kamp Pengungsi Tammun dan El Fara’a mengidentifikasi lebih dari empat kilometer infrastruktur air dan sanitasi yang rusak, memengaruhi sekitar 10.000 orang. Kerusakan pada layanan penting ini, dikombinasikan dengan krisis pengungsian yang sedang berlangsung, telah meningkatkan risiko penyakit yang ditularkan melalui air dan masalah kesehatan masyarakat lainnya, terutama di daerah-daerah yang penduduknya memiliki akses terbatas ke air bersih dan sanitasi yang memadai.
Di pusat kota Ramallah, seorang penjaga toko, Adham Nasser, duduk di luar toko kecilnya. Dia tinggal di sebuah desa di luar kota dan mengatakan keluarganya tidak memiliki air yang mengalir selama lebih dari sebulan. Dia mengatakan mereka harus membeli air kemasan untuk semua kebutuhan air mereka, termasuk mandi. Ketika ditanya apa yang akan dia lakukan jika air tidak segera mengalir, dia menjawab: “Kami akan menunggu kemurahan hati Tuhan.”
Nasser khawatir bahwa di masa depan tidak akan ada air mengalir untuk mereka sama sekali. “Tapi orang-orang sekarat di Gaza,” katanya sambil menghela nafas. “Jadi, biarkan mereka memotong air kita.”
Tidak Ada Suasana Ramadhan dan Idul Fitri Tanpa Air

Krisis air dan kebutuhan-kebutuhan penting telah membatalkan tradisi Ramadan di Gaza. Di tengah ancaman serangan dan kematian, Ramadhan kini menjadi menakutkan. “Bulan Ramadan adalah bulan kunjungan dan kemurahan hati. Sebelum berbuka puasa, jalanan akan hidup dengan keramaian. Tetangga akan saling bertukar makanan, dan keluarga akan berkumpul untuk berdoa dan makan bersama,” kenang al-Zard.
Saat ini, kekurangan kebutuhan pokok telah melumpuhkan segala bentuk koneksi sosial yang paling sederhana di Gaza. Biaya transportasi sangat mahal, dan keluarga telah menjadi terisolasi. “Kami tidak saling mengunjungi lagi. Orang-orang terlalu lelah karena harus berdiri mengantre untuk mendapatkan roti dan air. Sulit berpikir untuk menjamu tamu,” tambah al-Zard. Selain itu, ia melanjutkan, “Kami biasa berdoa bersama. Sekarang, kami berdoa di rumah. Terlalu sulit untuk berjalan ke masjid tanpa bahan bakar atau makanan.”
Air adalah kebutuhan dasar bagi setiap manusia untuk bertahan hidup. Akan tetapi, di Palestina, krisis air akibat tindakan yang disengaja oleh Israel tidak hanya merampas kebutuhan hidup yang paling dasar, tetapi juga mematikan harapan akan kehidupan dan tradisi di bulan Ramadan. Perampasan hak warga Palestina atas air bersih tak hanya merampas nyawa mereka, namun juga merampas keluarga dan kehidupan sosial. Segala rutinitas yang menggunakan air terpaksa dibatasi, setiap hari semua orang hanya fokus untuk bisa memenuhi kebutuhan air bagi keluarga mereka yang belum tentu bisa terpenuhi. Hari Air Sedunia ini bukanlah untuk warga Palestina, sebab air sudah sejak lama dirampas dari kehidupan mereka.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI dan saat ini sedang menempuh pendidikan magister di program studi linguistik, FIB UI.
Sumber:
https://www.btselem.org/publications/202305_parched
https://www.ochaopt.org/content/humanitarian-situation-update-266-west-bank
https://www.npr.org/2024/09/25/g-s1-24207/palestinians-west-bank-water-israel
https://www.middleeastmonitor.com/20250113-israel-using-water-as-a-weapon-in-gaza-authorities-say/
https://www.csis.org/analysis/siege-gazas-water
https://www.pcbs.gov.ps/post.aspx?lang=en&ItemID=4716
https://english.palinfo.com/news/2025/02/19/334241/
https://english.palinfo.com/news/2025/01/22/332678/
https://english.palinfo.com/news/2025/01/13/332155/
https://www.newarab.com/news/palestinian-mans-struggle-bread-and-water-gaza
https://www.palestinechronicle.com/gaza-faces-catastrophic-water-crisis-as-israel-tightens-siege/
https://www.nytimes.com/2025/03/15/world/middleeast/gaza-aid-block.html
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini