Sepanjang sejarahnya, Gaza telah menjadi rumah bagi sejumlah peradaban. Kota di Palestina ini merupakan tempat persinggahan utama bagi para pedagang dan peziarah. Berbagai situs warisan sejarah berdiri di atas tanahnya sebagai bukti keragaman budaya, mulai dari Romawi dan Utsmani (Ottoman), hingga Tentara Salib dan Kesultanan Mamluk.
Namun, agresi demi agresi yang menghantam Gaza telah memberikan dampak buruk terhadap warisan sejarah Gaza, sementara agresi brutal Israel atas nama Operasi Pedang Besi yang terjadi sejak 7 Oktober 2023 hingga saat ini, telah menghancurkan dan menghapus sama sekali jejak sejarah di tanah Gaza.
Maka, pada hari ini, akan mudah untuk mengasosiasikan Gaza dengan kehancuran, puing-puing, dan penderitaan akibat genosida Israel. Anggapan itu tentu tidak sepenuhnya salah, sebab pada 3 November 2023, Program Pembangunan PBB dan Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA) mengumumkan bahwa 45 persen unit perumahan di Gaza telah hancur atau rusak sejak awal agresi Israel terbaru di Gaza. Angka ini terus bertambah dan menurut laporan Reliefweb pada 18 Januari 2024, angka kehancuran tersebut setidaknya telah menyentuh 60 persen.
Jejak sejarah kebanggaan penduduk Palestina yang turut menjadi target serangan Israel adalah Hammam al-Samra, sebuah pemandian kuno yang terletak di lingkungan al-Zaytoun, di Kota Tua Gaza. Pemandian ini merupakan satu-satunya yang tersisa dari lima pemandian kuno yang berada di Gaza. Empat pemandian lainnya, yaitu Pemandian al-Askar, al-Pasha, al-Suwaihi, dan al-Suk, telah hilang. Sayangnya, Hammam al-Samra, pemandian kuno terakhir itu telah dibom Israel pada Desember lalu, sehingga menyebabkan kehancuran totalnya.
Mengenai etimologi Hammam al-Samra, beberapa sejarawan mengatakan bahwa ‘Samra’ mengacu pada orang Samaria, sebuah komunitas Gaza kuno yang tinggal di wilayah tersebut hingga akhir abad ke-16. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa ‘Samra’ juga merujuk pada sesuatu yang berwarna gelap atau coklat. Jadi, namanya juga bisa berarti pemandian berwarna coklat– sebagaimana warna dinding yang tersusun dari tumpukan batu berwarna coklat.

Menurut Haji Salim Abdullah al-Wazeer, direktur pemandian tersebut, Hamam al-Samra setidaknya berusia seribu tahun. Tidak ada penanggalan pasti yang menunjukkan tanggal berdirinya Hammam al-Samra. Namun, diperkirakan bangunan tersebut berasal dari masa awal masuknya Islam ke Gaza, tetapi kemudian dibongkar seluruhnya dan mengalami banyak rekonstruksi. Menurut Profesor Farid al-Qeeq, seorang ahli tata kota di Universitas Islam Gaza, pemandian tersebut dihidupkan kembali oleh Alamuddin Sanjar al-Jawli ibn Abdullah, seorang Gubernur Gaza dari Kesultanan Mamluk.
Nama Alamuddin Sanjar tertatah di sebuah batu marmer di pintu masuk Hammam al-Samra: “Pemandian yang diberkati ini didirikan dan dihidupkan kembali oleh hamba Allah yang lemah, saudara dari (Kesultanan) Ayyubiyah, Sanjar ibn Abdullah al-Muayyidi, Penjaga Tabir di Kota Gaza yang dilindungi, semoga Allah menerima orang-orang yang beriman dan semoga Allah mengampuninya.” Tulisan di marmer tersebut juga menunjukkan bahwa rekonstruksi terjadi pada 1320 Masehi (719 H).
Tempat Melepas Penat, Mencari Sehat, dan Kembali Terhubung dengan Sejarah yang Bermartabat
Peneliti sejarah Palestina, Noura Deep mengatakan bahwa Hammam al-Samra merupakan bangunan bersejarah tertua kedua di Jalur Gaza setelah Masjid Agung Omari. “Hammam berusia 1.000 tahun dan menjadi satu-satunya pemandian yang bertahan di kota ini. Lantainya terbuat dari lempengan marmer. Terdiri dari beberapa ruangan dengan suhu bervariasi. Pemandian ini juga memiliki ruang istirahat yang disebut eyvan dan memiliki ruang uap.”
Hammam al-Samra dianggap sebagai salah satu contoh terbaik pemandian di Palestina. Pembangunannya ditandai dengan transisi bertahap dari ruangan panas ke ruangan hangat, dan kemudian ruangan dingin, beratap kubah dengan lubang bundar yang dijalin dengan kaca berwarna yang memungkinkan sinar matahari menembus untuk menerangi aula dengan cahaya alami yang memberikan keindahan tempat itu.

Di bagian bawah Hammam al-Samra terdapat perapian bawah tanah yang tidak terlihat. “Perapiannya masih berbahan bakar kayu, karena ini adalah bahan bakar paling aman yang tersedia di Gaza. Asapnya dialirkan melalui cerobong asap setinggi 15 meter,” ujar Salim al-Wazeer, direktur pemandian.
“Bagian kedua adalah tempat beristirahat. Di situlah pengunjung dapat duduk-duduk di tepi kolam, yang ditutupi kubah kotak-kotak, sehingga memungkinkan masuknya sinar matahari, sekaligus melindungi dari hujan. Sementara, di bagian yang lain terdapat ruang uap yang mencapai 55 derajat celcius,” lanjutnya.
Hammam al-Samra yang bersejarah ini merupakan tempat bagi warga Gaza untuk kembali terkoneksi dengan sejarahnya sekaligus untuk mengusir tekanan psikologis yang mendera mereka akibat perang, blokade, dan pengeboman Israel. Di tempat ini mereka dapat sejenak melupakan kondisi tragis yang mereka hadapi, melepas penat, meregangkan saraf, sekaligus mendapatkan manfaat bagi kesehatan fisik mereka.
Dalam sebuah wawancara, Salman Jundiah, seorang fisioterapis di pemandian tersebut mengatakan, “Orang-orang Gaza selalu menjadi sasaran perang dan kekerasan dari Israel, tetapi kami tidak memiliki banyak pilihan untuk menghibur diri kami. Laut dan pemandian ini adalah dua hal di antara yang sedikit.”
Direktur pemandian menambahkan bahwa mandi di tempat tersebut, apalagi dengan air hangat dan panas, dapat membuka pori-pori, meregangkan persendian, dan membuat tubuh rileks. Termasuk dapat menurunkan ketegangan, melancarkan peredaran darah, dan memperkuat kemampuan kognitif otak.
“Mandi di sini juga bisa bermanfaat bagi mereka yang mengalami gangguan punggung dan tulang belakang, membantu penderita rematik, mengaktifkan bagian tubuh yang jarang digerakkan, dan dapat mengendalikan toksin, serta memperkuat sistem kekebalan tubuh,” imbuhnya.

Berbagai manfaat yang ditawarkan oleh Hammam al-Samra menjadikannya sebagai tempat yang selalu ramai didatangi berbagai kalangan; ada yang sekadar berkunjung atau merenung, mandi, berendam sembari bercengkrama bersama keluarga atau kawan-kawan, juga menikmati pijatan dari tenaga medis profesional bagi mereka yang menderita sakit sendi atau rematik. Lelaki dan perempuan dapat menikmati pemandian bersejarah tersebut sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.
Kenangan yang Tersimpan di Balik Reruntuhan

Pada 8 Desember 2023, pemandian bersejarah ini menjadi sasaran penyerangan Israel. Penargetan yang disengaja terhadap sebuah bangunan bersejarah menimbulkan kekhawatiran mengenai motif di balik tindakan amoral ini. Penghancuran artefak budaya dan situs warisan atau yang dikenal dengan istilah “cultural cleansing”, secara akurat menggambarkan tindakan menghilangkan jejak budaya dan sejarah suatu bangsa. Hal ini bertujuan untuk menghapuskan nilai-nilai tak berwujud dan pengetahuan yang terkait dengan peninggalan sejarah tersebut.
Bothaina Hamdan, kepala bidang Humas di Kementerian Kebudayaan Palestina, menunjukkan bahwa kejahatan yang dilakukan Israel belum pernah terjadi sebelumnya. “Israel menargetkan warisan budaya kami (Palestina), dan ini sangat menakutkan,” kata Hamdan kepada The New Arab. “Kami memiliki sejarah panjang, jauh lebih tua dari usia Israel, dan mereka ingin menghapus kenangan akan tempat tinggal penduduk setempat.”
Penghancuran situs bersejarah atau warisan budaya suatu bangsa tidak dapat dipandang sederhana, sebab hal itu menunjukkan kemapanan emosional dan peradaban yang pernah dicapai oleh suatu bangsa. Namun, sehancur apa pun situs sejarah, ingatan sejarah tidak bisa benar-benar dicabut begitu saja dari suatu bangsa, sebab setiap kisah yang lahir akan diwariskan melalui cerita, begitu juga di Gaza.
Pemandian kuno tempat penduduk Gaza melepas penat dan berbagi semangat itu telah poranda. Tidak ada yang tersisa kecuali ingatan dan reruntuhan. Apa yang terjadi di Gaza saat ini adalah sebuah episode dari tragedi panjang yang traumatis. Namun, sebagaimana panggung drama, layar tidak akan turun sebelum drama usai–dan seperti episode yang telah berlalu, rakyat Palestina telah membuktikan keteguhan dan ketangguhan diri mereka; bahwa selain kehancuran, kisah di Gaza juga tentang kelahiran dan kebangkitan kembali sebuah peradaban. (LMS)
(Gambaran lebih lanjut mengenai interior dan kegiatan di dalam Masjid Hammam al-Samra dapat dilihat dalam video )
Referensi
Al-Qeeq, Farid. S. 2009. “A Sustainable Approach for Urban Integration of Hammam Samrah in the Historic City of Gaza”. International Journal of Architectural Research: Archnet-IJAR. Volume III, 171–185.
https://english.alarabiya.net/articles/2010%2F07%2F27%2F114947
https://gaza-palestine.com/archaeological-sites-in-gaza-strip/
https://gulfnews.com/world/mena/in-israels-war-even-gazas-heritage-is-obliterated-1.1372200
https://www.middleeasteye.net/news/israel-erases-gazas-religious-cultural-heritage
https://www.palestinechronicle.com/photo-essay-gazas-hamam-al-samra-a-thousand-year-later/
https://www.palestinechronicle.com/photo-essay-a-palestinian-zaffa-at-hammam-al-sammara/
https://www.thenationalnews.com/mena/inside-an-ancient-hamam-in-gaza-city-in-pictures-1.1177585
https://www.unescwa.org/news/war-gaza-unprecedented-and-devastating-impact