“Dia berteriak menangis untuk pertama kalinya.” Itulah yang Arwa Oweis gambarkan tentang kelahiran putrinya, Malek, di Rumah Sakit Al-Shifa’ di Gaza utara. Teriakan kedua, yang datang beberapa detik setelah yang pertama, adalah teriakan ketakutan.
Arwa, 20 tahun, dan suaminya Sameh Jindiyya, 25 tahun, tidak meninggalkan Kota Gaza ke selatan, karena mereka tidak bisa terpisah dari keluarga besar mereka. Sameh belum bekerja, dan ia tinggal bersama keluarganya di lingkungan Shuja’iyya. Ayah dan saudaranya adalah pegawai Otoritas Palestina, dan pendapatan mereka dapat mencukupi kebutuhan seluruh rumah tangga, termasuk untuk Sameh dan keluarganya. Sameh tahu bahwa melarikan diri ke selatan dan tinggal di tenda akan berarti kematian perlahan, terutama mengingat tidak adanya pendapatan bagi keluarga barunya, jadi dia memilih untuk tetap tinggal di Kota Gaza dan menghadapi sepenuhnya invasi darat Israel.
Sameh dan Arwa melarikan diri dari satu tempat perlindungan ke tempat perlindungan lainnya sebelum Arwa melahirkan. Mereka kemudian mencari perlindungan di Rumah Sakit Al-Shifa’ sebelum pengepungan dimulai. Tetapi kemudian RS Al-Shifa’ juga dikepung, diserbu, ditinggalkan oleh pasien, staf medis, dan pengungsi. Sameh dan Arwa berupaya untuk kembali ke Al-Shifa’ setelah tentara mundur dari sana dan akhirnya kembali ke rumah mereka setelah tentara Israel mundur dari wilayah al-Shuja’iyya.
Arwa melahirkan Malak di Rumah Sakit Al-Shifa’ dalam keadaan yang sangat mengerikan. Masalah yang dihadapi saat ini adalah ia membutuhkan nutrisi yang tepat untuk dapat menyusui putrinya, termasuk buah, sayuran, dan daging. Bahan makanan ini hampir tidak ada di Gaza, terutama di utara. Pilihan terbatas pada beras dan makaroni kering, yang hampir menjadi satu-satunya bahan pokok di Gaza selama berbulan-bulan.
Pilihan terakhir Sameh adalah mencoba menangkap burung, tetapi upayanya tidak selalu berhasil. Pada satu hari, dia mungkin membawa seekor merpati atau burung kecil untuk keluarganya, dan pada hari-hari lain, dia mungkin tidak bisa menangkap apa pun. Arwa mengatakan bahwa Malak selalu menangis karena ASI-nya tidak cukup, mungkin karena Arwa sendiri hampir tidak makan lebih dari satu kali sehari. Saat Sameh bangun pada pagi hari, dia berusaha mencari apa pun yang dapat dibawa untuk Arwa.
“Ini adalah situasi ketika seorang anak dilahirkan di Jalur Gaza,” kata Sameh kepada Mondoweiss. “Mereka menyambut kehidupan sekaligus diintai dengan kematian. Putri saya baru berusia beberapa hari, dan dia sudah mendengar lebih banyak pengeboman, bentrokan bersenjata, dan teriakan kematian daripada apa yang akan didengar orang tua di bagian dunia lain sepanjang hidup mereka, dan semua ini terjadi di rumah sakit–tempat orang mencari perlindungan,” kata Sameh.
“Kami dilahirkan di bawah kematian, kemudian menghabiskan sisa hidup untuk berjuang agar tidak mati kelaparan,” lanjutnya. “Lalu, pada akhirnya, kami mati di bawah reruntuhan, atau dihancurkan oleh tank, atau mati di jalan, dan dimakan oleh anjing.”
“Apa yang telah dilakukan putri saya, Malak, sehingga ia pantas menerima ini?” ia bertanya retoris. “Dia hanya menangis untuk ASI, sementara ibunya tidak bisa memberi ASI yang cukup.”
Berbagai laporan media telah menyatakan bahwa bantuan kemanusiaan dari UNRWA dan masyarakat internasional telah tiba di utara Gaza, termasuk Kota Gaza, Beit Hanoun, Beit Lahiya, dan Jabalia. Namun, situasi di lapangan benar-benar berbeda ketika mengumpulkan kesaksian dari orang-orang yang masih tinggal di Kota Gaza. Kebanyakan dari mereka masih berjuang untuk mendapatkan cukup makanan untuk keluarga mereka.
Bantuan kemanusiaan pertama yang tiba beberapa pekan lalu hanya dapat dilempar dari truk-truk di Lingkaran Al-Nabulsi dekat pantai di Jalan al-Rashid yang terletak di tepi selatan Kota Gaza, tiga kilometer dari tempat perlindungan terdekat, yaitu al-Shati, al-Shuja’iyya, al-Daraj, dan al-Zaytoun. Ketika Sameh menggambarkan situasinya, dia menyebutkan bahwa drone Israel juga menargetkan kerumunan orang di Kota Gaza yang menunggu kedatangan truk-truk bantuan tersebut.
“Siapa pun yang mencoba mencapai lokasi itu akan pulang ke rumah dengan berlumuran darah,” kata Sameh. Ia mengatakan bahwa sekelompok besar orang menjadi target misil drone dan peluru artileri di Lingkaran Kuwait saat mereka menunggu truk-truk kemanusiaan yang tidak pernah tiba.
Semua di Gaza telah habis. Tidak ada pasar yang menjual barang makanan. Orang-orang telah beralih ke sistem tukar menukar untuk makanan mereka, dan beberapa mencari makanan di reruntuhan bangunan yang hancur oleh bom. Apa yang dilakukan orang untuk bertahan hidup itu sendiri merupakan bencana.
Sumber:
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini