Setelah 470 hari penuh dengan ketabahan dan ketangguhan, akhirnya pada 19 Januari 2025 terjadi gencatan senjata antara Gaza dan Israel. Bahagia, harapan, kecemasan, dan kesedihan bercampur menjadi satu. Bagaimana tidak, kebahagiaan tentunya begitu membuncah bagi seluruh kalangan, baik tua, muda, laki-laki ataupun perempuan, sebab setelah agresi 15 bulan lamanya, warga Gaza menemukan kedamaian, tanpa adanya desingan senjata atau bunyi ledakan yang menghiasi harinya. Hal ini juga memunculkan optimisme bahwa meski Gaza telah luluh lantak namun rakyat Gaza percaya bahwa masih ada harapan dari balik reruntuhan untuk membangun kembali Gaza.
Namun demikian, kecemasan tetap menyelimuti mereka; karakter penjajah yang selalu ingkar atas banyak perjanjian damai yang selama ini pernah dilangsungkan antara Palestina dan Israel mebimbulkan kecemasan apakah gencatan senjata ini hanya akan berlangsung sekejap mata dan dipenuhi pelanggaran, sebagaimana yang Israel lakukan terhadap Lebanon.
Raut kesedihan pun tidak dapat mereka sembunyikan, sebab bagaimana pun, gencatan senjata tidak akan membawa keluarga mereka yang telah syahid hidup kembali, anak yang diyatimkan tidak lagi dapat berkumpul dengan keluarganya, dan meski gencatan senjata memang membawa kedamaian, luka yang menganga akibat trauma, kehilangan dan kesendirian, tidak akan pernah terobati.
Genosida Israel ke Gaza telah membuat 19.000 anak menjadi yatim/piatu. Tidak hanya itu, sejak 7 Oktober 2023, Israel telah membunuh 17.492 anak-anak, dan angka itu masih akan terus bertambah karena masih ada 20.000 anak yang dinyatakan hilang karena terkubur di balik reruntuhan. Genosida juga telah menyebabkan setidaknya 4.000 anak-anak harus kehilangan anggota tubuhnya karena terkena serpihan bom ataupun tembakan.
Yang tersisa di Gaza: puing-puing dari bangunan yang hancur
Gaza kini seperti kota puing. Tak ada tersisa selain puing-puing dari bangunan yang telah hancur. Data menunjukkan bahwa 90% rumah penduduk Gaza telah rusak hingga hancur seluruhnya, selain itu, 60% bangunan yang ada di Gaza juga mengalami kondisi serupa. Israel juga menghancurkan institusi pendidikan dan kesehatan yang dilindungi oleh hukum internasional. Sebanyak 88% sekolah mengalami kerusakan dan kehancuran, serta hanya tersisa 50% rumah sakit yang berfungsi sebagian.
Kota-kota yang ada di Gaza juga mengalami kehancuran, mulai dari Gaza utara hingga Rafah yang berada di selatan. Wilayah Kota Gaza mengalami kehancuran terparah sebanyak 74%, dan selanjutnya wilayah Gaza utara sebesar 70%. Meski Rafah menderita kehancuran paling ringan dibanding kota-kota lainnya, namun tingkat kehancuran yang mencapai 48% juga tidak dapat dikatakan sedikit, mengingat peran penting Rafah sebagai gerbang utama bagi distribusi bantuan kemanusiaan.
Mereka yang Akhirnya Kembali
“Jangan pernah tinggalkan aku lagi,” tangis seorang gadis berusia 6 tahun akhirnya pecah. Ia memeluk erat ayahnya ketika bertemu untuk pertama kalinya setelah terpisah selama 15 bulan akibat genosida. Namun, bukan hanya mereka yang memiliki kisah tersebut. Masih ada ribuan bahkan ratusan ribu penduduk Gaza lainnya yang memiliki kisah serupa: terpaksa terpisah akibat genosida.
https://www.instagram.com/reel/DFbxRusyHH3/?utm_source=ig_web_copy_link
27 Januari 2025 menjadi momen bersejarah bagi penduduk Gaza secara khusus. Hari tersebut menjadi momen kepulangan akbar bagi penduduk yang dipaksa mengungsi ke wilayah selatan, menuju wilayah utara dan sekitarnya yang merupakan daerah asal mereka. Terhitung sebanyak 423.000 orang telah berpindah dari wilayah Gaza tengah dan selatan menuju ke utara. Mereka yang berpindah termasuk anak-anak tanpa pendamping, perempuan hamil, lansia, penyandang disabilitas, orang dengan penyakit kronis, hingga mereka yang masih membutuhkan perawatan medis. Namun, keadaan-keadaan tersebut tidak mampu menyurutkan semangat mereka.
Dalam sebuah momen yang tertangkap kamera wartawan, seorang anak yang berusia delapan tahun sedang menggendong adiknya yang berusia dua tahun. Keduanya tampak tak mengenakan alas kaki. Bukan karena tidak ingin, melainkan karena tidak punya.
“Apakah kamu menyayangi adikmu sehingga kau menggendongnya?” tanya sang wartawan. “Ya,” jawabnya singkat. “Apa yang kau harapkan?” wartawan tersebut kembali bertanya. Ia hanya diam. Lalu adiknya yang lain, yang berada di sampingnya menimpali, mengungkapkan keinginannya, kakaknya, yang juga keinginan banyak orang, “Aku ingin melihat Gaza, Beit Lahiya.”
https://www.instagram.com/reel/DFcQFC2CRkj/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA==
Dalam sebuah fragmen yang lain, seorang perempuan gaza yang bernama Kabir Rusoomi dari Beit Lahia juga mengungkapkan bahwa perjalannya menuju ke utara adalah untuk bertemu kembali dengan orang-orang tercintanya. Tidak hanya bertemu dengan mereka yang masih hidup, tetapi juga mereka yang telah wafat. “Utara adalah hati dan jiwa kami, utara adalah tanah kami yang hilang. Kami berharap dapat menyelimuti diri kami dengan tanah ini, tanah rumah kami, dan tanah yang pernah hilang dari rakyat kami,” ujarnya.
Ia juga tidak peduli dengan kehancuran yang telah Israel lakukan terhadap wilayah rumahnya. “Bahkan jika mereka [Israel] menghancurkannya, kami akan membangunnya kembali, jika mereka meratakannya, kami ingin menghidupkannya kembali, dan jika rakyat kami hilang, kami akan menebus mereka.”

Seluruh penduduk Gaza yang menuju utara tahu dengan pasti, bahwa tidak ada yang tersisa selain bongkahan-bongkahan batu dari tempat tinggal mereka. Tapi mereka tidak peduli, sebab rumah mereka lebih baik daripada tempat manapun di dunia.
Di antara puing bangunan, seorang pemuda membawa drum penampung air, dan pamannya berseru, “Tidak ada yang lebih indah dari ini.”
Dia yang Memisahkan dan Menjebak
Koridor Netzarim. Koridor inilah yang memisahkan antara Gaza utara dan selatan. Sebuah jalan seluas 6 kilometer dengan luas 2 kilometer yang membelah Gaza menjadi dua. Tidak hanya sebuah pembatas, koridor Netzarim juga menjadi tempat bagi tentara Israel untuk melancarkan operasi militernya. Netzarim diambil dari nama salah satu permukiman ilegal Israel yang berada di Gaza sebelum akhirnya Israel harus meninggalkan Gaza pada 2005.

Koridor ini membuat penduduk Gaza yang berada di utara terjebak dalam perang kelaparan yang diberlakukan Israel. Lebih dari 80 hari warga Gaza utara dilaparkan, diputus keterhubungannya dari dunia luar, hingga tidak mendapatkan bantuan kemanusiaan. Rumput, pakan ternak, hingga tepung kadaluarsa akhirnya menjadi pilihan satu-satunya bagi mereka yang berada di Gaza utara.
Runtuhnya koridor ini paska gencatan senjata menunjukkan kegagalan Israel dalam membelah Gaza dan kembali menginvasi Gaza. Koridor Netzarim adalah lambang kepongahan Israel yang hendak memperlihatkan bahwa mereka berhasil kembali menduduki Gaza. Namun iring-iringan kepulangan penduduk Gaza menuju utara, membuktikan bahwa Israel tidak mampu menginvasi Gaza, meski sejengkal. Israel boleh saja menyisakan Gaza menjadi puing-puing, tetapi itu tidak menjadikan penduduknya pergi dan berputus asa. Apa yang hancur dapat dibangun kembali, dan Gaza akan kembali bercahaya. Mari ambil bagian dalam membangun kembali Gaza dan menghadirkan kembali cahayanya.
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini