Sejak Selasa dini hari (9/5), Israel membombardir Jalur Gaza dengan serangan udara pada pukul 02.00 pagi, saat orang-orang sedang terlelap. Serangan tersebut mengawali agresi yang berlangsung hingga berhari-hari kemudian, memporak-porandakan berbagai wilayah di Jalur Gaza. Sebanyak 34 penduduk Gaza menjadi korban, termasuk 5 anak-anak. Ini adalah kisah anak-anak yang menjadi korban agresi Gaza, anak-anak yang dilahirkan dan harus berjuang bertahan hidup di “Penjara terbesar di dunia”.
Baca juga “Bukan Setetes Air, Namun Sebuah Lautan”
JANTUNG YANG TIDAK KUAT MENAHAN KETAKUTAN
“Jantung putra kecil saya tidak tahan dengan kengerian pengeboman itu”
Pada Senin malam (8/5), Tamim Daoud, seorang anak Palestina berusia empat tahun, tidur di rumahnya yang terletak di al-Remal, sebuah lingkungan di tengah Jalur Gaza. Tamim, yang dengan penuh semangat menunggu ulang tahun kelimanya bulan depan, tiba-tiba terbangun pada pukul 2 dini hari; bukan oleh suara lembut ibunya, melainkan oleh suara dentuman bom Israel.
“Putra saya sedang tidur ketika serangan udara Israel menargetkan sebuah bangunan perumahan di dekat rumah kami,” kata Mohammed, ayah Tamim, kepada Middle East Eye. “Dia bangun dengan sangat panik dan ketakutan.” Suara pengeboman memekakkan telinga, dan bahkan setelah serangan udara selesai, gedung rumah mereka masih bergetar. Jendela rumah mereka hancur berkeping-keping, lingkungan di sekitar rumah mereka porak-poranda.
Tamim yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi hanya bisa menangis tersedu-sedu. Dia mengalami serangan panik. Ibunya, Lina (29), yang sedang hamil delapan bulan, berusaha menenangkan putra kecilnya tersebut untuk kembali tidur, tetapi Tamim terus menangis hingga sesak napas, terengah-engah untuk menghirup udara. Setelah melewati serangan panik, ia berhasil tertidur kembali. Sekitar lima jam kemudian, Tamin terbangun dan mengalami serangan panik lagi.
“Aku segera membawanya ke rumah sakit,” kata ayahnya. “Tapi jantungnya berhenti berfungsi dalam perjalanan ke sana.” Di rumah sakit, Tamim segera mendapat perawatan medis, tetapi detak jantungnya sudah sangat lemah. “Putra saya dirawat di unit perawatan intensif. Para dokter memberitahu saya bahwa dia meninggal saat fajar,” kata Mohammed kepada MEE. Sang ayah berhenti berbicara sejenak, kemudian berkata, “Hati putra kecil saya tidak tahan dengan kengerian pengeboman itu.”
Namun, ternyata penderitaan Tamim Daoud tidak bermula saat agresi terjadi, melainkan sudah ia rasakan sejak dilahirkan. Lahir di Gaza, “penjara terbuka terbesar di dunia”, kehidupan singkat Tamim diliputi dengan kesulitan sejak awal ia membuka mata di dunia. Ketika baru berusia enam bulan, dia menjalani operasi jantung terbuka di Tepi Barat. Untuk menjaga kesehatan jantungnya yang lemah, ia harus mengonsumsi banyak obat-obatan, termasuk furosemide dan captopril.
Pada 17 Desember 2022, anak berusia empat tahun itu harus melakukan perjalanan ke “Israel” dalam rangka mengevaluasi kondisi kesehatannya. Untuk melakukan perjalanan masuk dan keluar Gaza, penduduk harus mengajukan izin keluar untuk bisa meninggalkan wilayah yang terkepung tersebut. “Karena nenek Tamim adalah satu-satunya orang yang telah diberikan izin keluar dari otoritas Israel untuk menemaninya, putraku akhirnya berangkat hanya dengan neneknya,” kata Mohammed.
Penilaian medis menyeluruh kemudian dilakukan dan Tamim Daoud dinyatakan telah mengalami perbaikan yang signifikan. Para dokter yang memeriksanya saat itu memutuskan untuk menghentikan pengobatan yang rutin ia lakukan sebelumnya. Namun, setelah perawatan dihentikan, kesehatan Tamim berangsur-angsur memburuk. Entah sengaja atau tidak, keputusan untuk menghentikan pengobatan Tamim merupakan sebuah kesalahan fatal. “Kami melanjutkan perawatan dan alhamdulillah kesehatannya menunjukkan peningkatan yang signifikan sekali lagi, tetapi Israel malah memutuskan untuk membunuh putra saya dengan darah dingin,” kata ayah Daoud kepada MEE.
Judy, anak perempuan yang usianya masih 8 tahun adalah satu-satunya saudara Tamim, selain bayi yang masih ada di kandungan ibunya. Kematian saudara laki-lakinya membuat Judy merasa hampa dan sendirian. “Saya mengkhawatirkan hari-hari mendatang dan bagaimana Judy akan mengatasi ketidakhadiran saudara laki-lakinya yang sekaligus teman dekatnya,” kata Mohammed. “Terlepas dari kesedihannya, Judy adalah sumber kekuatan bagi ibunya dan saya. Dia mendukung kami, karena dia juga takut kehilangan kami dan selalu cemas ketika ibunya menangis,” lanjutnya.
Lina, sang ibu, masih tidak percaya ketika mendengar anaknya meninggal. Dia terus bersikeras bahwa putranya masih hidup dan akan kembali ke pelukannya. Lina yang sedang hamil sangat berharap Tamim dapat menemui adik barunya. “Aku mengumpulkan kerabat untuk mendukung istriku sebelum memberitahu dia berita kematian Tamim,” kata Mohammed. “Kami masih tidak percaya bahwa dia tidak akan pernah bisa bertemu dengan saudara barunya yang akan segera dilahirkan.”
Baca juga “Kekejaman Blokade Israel, Gaza Kian Terpuruk”
REKREASI SEKOLAH KE SURGA
“Tidak mudah menjelaskan perihal kematian kepada anak-anak”
Mayar (11) dan Ali (8) pada Senin (8/5) masih bersemangat membeli permen dan makanan, menyiapkan pakaian mereka, dan tidur malam lebih awal. Mereka sangat antusias menanti untuk bangun pada keesokan harinya dan mengikuti perjalanan sekolah yang menyenangkan di Jalur Gaza.
Tapi siapa sangka, malam itu mereka tertidur untuk selamanya. Sekitar lima jam sebelum perjalanan yang mereka nanti-nantikan, serangan udara Israel menghantam rumah mereka, merenggut nyawa kedua saudara kandung tersebut dan ayah mereka.
Heartbreaking footage of Mayar Izz Al-Din, a little Palestinian girl, who along with her father and brother, was tragically killed in an Israeli airstrike on their home in Gaza last night, and her mother bidding farewell to her beloved ones while grieving over their loss. pic.twitter.com/vwITwy3z1X
— Quds News Network (@QudsNen) May 9, 2023
Keluarga itu sedang tidur ketika jet tempur Israel menargetkan seluruh lantai bangunan tempat tinggal Mayar dan Ali di lingkungan al-Remal di pusat Kota Gaza. Sebuah video yang beredar online menunjukkan sang ibu mengucapkan selamat tinggal kepada jenazah anak-anaknya dan suaminya yang terkapar di tanah. “Semoga Allah merahmatimu. Belahan jiwaku, anak-anakku,” ia mengatakan.
Kegiatan rekreasi sekolah yang seharusnya ceria tersebut dengan cepat berubah menjadi muram. Seluruh sekolah berduka, termasuk sahabat-sahabat Mayar dan Ali yang usianya masih belia. “Di pagi yang menyedihkan ini, dengan hati yang berduka, kami mengucapkan selamat tinggal kepada dua siswanya yang tidak bersalah, yang menjadi martir akibat pengeboman Zionis di Jalur Gaza,” Demikian pihak sekolah Mayar dan Ali menuliskan di Facebook. Di akun Facebook-nya, guru Mayar, Samah Jaafar juga membagikan video Mayar yang sedang bermain dan menari di sekolah. Ia memberinya julukan “Sang putri di kelasku”.
Mayar Ezzeddin, killed overnight along with her family in an Israeli airstrike on their home in Gaza. pic.twitter.com/EKBD8yyQqN
— Maha Hussaini (@MahaGaza) May 9, 2023
“Mayar adalah teman baik putri saya, Leen. Dia murid yang luar biasa dan Leen sangat mencintainya,” kata Aya Abu Taqia (35), kepada Middle East Eye. “Beberapa hari yang lalu, Leen sakit di sekolah. Dia memberitahu saya betapa Mayar sangat peduli dan sayang kepadanya. Mayar tetap bersamanya dan menghiburnya sampai kami tiba untuk menjemputnya.” “Mereka juga sangat bersemangat menunggu perjalanan ini. Kami telah membeli permen dan makanan karena Leen, Mayar, dan teman-temannya berencana membawa tikar piknik untuk duduk dan berbagi makanan. Saya belum pernah melihat mereka bersemangat seperti ini sebelumnya.”
“Saya takut Leen akan mengetahui berita kemarian temannya itu. Saya tidak ingin dia mengetahui berita itu secara tidak sengaja, sama seperti dia mengetahui tentang kesyahidan ayahnya, ”katanya. Ayah Leen, Osama Abu Taqia, terbunuh setelah serangan Israel pada Mei 2021 di Gaza, ketika dia mencoba menetralkan persenjataan Israel di Departemen Teknik Bahan Peledak di Gaza.
Aya Abu Taqia mengatakan kali ini dia menyimpan semua ponsel dan perangkat di kamarnya, dan memutuskan menunggu sampai putrinya bangun. “Saya kemudian memberitahu dia berita itu secara bertahap, sebelum memberitahunya bahwa seseorang yang dia kenal telah mati syahid. ‘Itu Mayar,’ kataku, kemudian dia pingsan sambil menangis.” “Leen kaget,” kata Aya Abu Taqia. “Tidak mudah menjelaskan perihal kematian kepada anak yang masih berusia 11 tahun.”
Sahabat Ali, adik Mayar, pun menunjukkan respon serupa ketika diberitahu kabar syahidnya Ali. “Saya belum memberitahu Jamal bahwa Ali dibunuh. Saya tidak tahu bagaimana saya akan memberitahunya. Hati kecilnya pasti tidak bisa menerima semua ini,” Yusra al-Aklouk, ibu dari Jamal, sahabat dan teman sekelas Ali, mengatakan.
Sepanjang pagi, Aklouk memikirkan bagaimana menyampaikan kabar tersebut kepada Jamal, yang telah mengalami kehilangan yang sangat banyak selama hidupnya. “Dia kehilangan ayah, kakek, dan pamannya [dalam agresi Israel pada Mei 2021]. Ini adalah pengalaman keempatnya kehilangan orang yang sangat dekat dengannya,” katanya kepada MEE. “Saya belum tidur semalaman, saya takut Jamal bangun dan memeriksa telepon saya, mencari tahu apa yang terjadi atau melihat foto temannya.”
Ali telah menjadi teman dekat Jamal sejak ayahnya terbunuh dan menjadi sumber penghiburan dan dukungan bagi Jamal. Aklouk mengatakan Ali dan ayahnya, Tareq Ezz el-Din, secara teratur membawakan hadiah untuk Jamal, membantunya mengatasi perasaan kehilangan. Ketika putranya bangun, Aklouk memutuskan untuk menyampaikan berita kematian Ali secara bertahap selama beberapa jam, berharap cara tersebut dapat meredam sakit hatinya.
“Saya ceritakan awalnya bahwa ada pengeboman di daerah sekitar rumah, lalu saya bilang pengeboman itu mengenai bangunan tempat tinggal Ali. Dia bertanya kepada saya tentang Ali, saya mengatakan kepadanya bahwa saya masih belum tahu,” katanya. Aklouk awalnya mengatakan bahwa Ali hanya terluka, kemudian perlahan ia memberitahu bahwa ayah Ali telah dibunuh. “Kemudian saya mengatakan kepadanya bahwa Ali juga mati syahid,” katanya.
“Dia menangis. Tapi kemudian dia sendiri yang mulai mengingatkan saya tentang semua hal yang selalu saya katakan kepadanya, bahwa kita akan bertemu [orang yang dicintai] di surga nanti.” Jamal, yang menghadapi gangguan stres pasca-trauma (PTSD) setelah kehilangan ayah dan kakeknya, mengatakan kepada ibunya bahwa dia menerima kenyataan itu.
Baca juga “Blokade 16 Tahun Gaza dan Efek Domino Kemiskinan Penduduknya”
TANGIS YANG TAK BERJEDA
Setelah lima hari agresi, pihak Palestina dan Israel menyetujui gencatan senjata yang dimediasi oleh Mesir pada 15 Mei 2023. Serangan udara secara resmi dihentikan, tetapi tidak serta-merta menghentikan tangisan penduduk Gaza. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal, hanya bisa mengais puing-puing rumah mereka yang rata dengan tanah, berharap menemukan barang-barang yang masih bisa diselamatkan. Tak terhitung pula berapa banyak orang yang kehilangan mata pencaharian, bertahan dengan segala cara untuk mendapatkan sesuap makanan.
Hampir di seluruh penjuru Jalur Gaza, para orang tua masih menangisi kepergian anak-anak mereka, anak-anak kecil menangisi hilangnya sahabat-sahabat mereka, dan tidak terhitung berapa banyak penduduk yang ditinggalkan oleh satu atau lebih anggota keluarga mereka. Mereka terus menangis, dengan tangis mereka tidak akan pernah berjeda, meski air mata terkuras habis dari raga.
Mereka menangisi blokade Gaza yang masih berlangsung selama lebih dari 17 tahun, menangis perbatasan-perbatasan yang tertutup rapat bagi mereka, pun menangisi agresi yang sewaktu-waktu bisa saja kembali menyapa. Mereka menangis bukan dengan air mata kesedihan, melainkan dengan air mata yang menyiratkan kekuatan dan ketegaran. Air mata mereka tidak diikuti dengan ratapan, melainkan dengan slogan-slogan perlawanan, serta diakhiri dengan doa bahwa suatu saat, air mata itu akan berubah menjadi air mata kebahagiaan tatkala menyaksikan negara mereka merdeka.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
https://www.dci-palestine.org/israeli_airstrikes_kill_4_palestinian_children_in_gaza
https://www.middleeasteye.net/news/gaza-children-tamim-daoud-died-panic-attack-israel-air-strike
https://www.middleeasteye.net/news/israel-gaza-killing-children-leaves-classmates-shock
https://www.middleeasteye.net/news/gaza-international-community-israeli-air-strikes-condemn
https://www.middleeasteye.net/news/gaza-children-killed-israeli-air-strikes-names-and-faces
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini