Putaran roda zaman seakan berhenti pada Ramadan. Selalu ada tradisi, budaya, ataupun karakteristik Ramadan yang abadi dalam memori sejarah; diturunkan dari generasi ke generasi, membawa ingatan-ingatan masa silam sebagai mata rantai warisan budaya yang terus dipertahankan.
Ingatan itu terekam dalam suasana di Palestina yang bersejarah; dalam kegiatan membersihkan masjid sebelum Ramadan, hiasan lampu warna-warni dan lentera Ramadan (fanous) yang dipasang sepanjang jalan. Orang-orang berkumpul di alun-alun kota, bergembira bersama anak-anak yang dipakaikan baju tradisional, juga menikmati syair yang diperdengarkan oleh seorang lelaki tua. Banyak dari kebiasaan Ramadan di Palestina telah menyatu dengan semangat zaman dan beradaptasi dengannya.
Misalnya, sebagaimana di negara Arab lainnya, Palestina dibangunkan dengan suara “Al-Mesaharati” dengan ritual yang mengiringi kedatangannya, seperti menabuh gendang dengan penuh semangat, berdoa kepada Allah SWT, juga syair-syair Ramadan untuk membangunkan orang yang tertidur dan membuat mereka merasakan keindahannya.
Tradisi khusus lain pada Ramadan adalah midfar al-iftar atau meriam Ramadan yang dibunyikan setiap magrib untuk menandai masuknya waktu iftar atau berbuka puasa[1]. Meriam iftar pertama kali digunakan pada 865 Hijriah oleh seorang Gubernur Utsmani di Kairo, Khosh Qadam. Dikisahkan bahwa Khosh Qadam diberi meriam sebagai hadiah yang kemudian diujicobakan saat berbuka puasa pada awal Ramadan.
Ketika meriam itu ditembakkan, seluruh Kairo pun bergema. Suara meriam tersebut dianggap sebagai terobosan genius yang mampu menjangkau seluruh tempat, bahkan yang jauh dengan masjid, sehingga semua orang dapat berbuka puasa tepat waktu[2]. Meriam iftar ini kemudian dijadikan sebuah tradisi di semua wilayah yang berada dalam pemerintahan Utsmani, termasuk Palestina.
“Menembakkan meriam adalah metode untuk mengumumkan waktu buka puasa, karena ketika itu tidak ada jam tangan dan jam dinding di rumah-rumah,” kata Dr. Mohamad Ouedi, profesor Sejarah Arab Modern di Institut Studi Diplomatik di Saudi Arabia. “Teknologi modern, seperti perangkat yang memperkuat suara, juga belum ada pada saat itu.”[3] Tradisi ini pun hidup dan menjadi bagian tak terpisahkan dari wilayah Utsmani, tak terkecuali Levantina (Syam) dan al-Quds (Yerusalem).
James Finn, seorang Konsul British pada pertengahan abad ke-19, bertugas tidak jauh dari Gerbang Jaffa. Ia menuliskan dalam catatannya bahwa awal Ramadan dan setiap kali puasa berakhir (masuk waktu berbuka), selalu diumumkan dengan tembakan meriam dari benteng yang berada di Gerbang Jaffa.[4]
Tradisi tersebut terus berlangsung, diturunkan dari generasi ke generasi, termasuk kepada keluarga Sandouka yang telah memelihara tradisi ini selama lebih dari 120 tahun. Rajai Sandouka bertugas untuk melepaskan bom suara, meniru tembakan meriam. Hal ini dilakukan oleh Sandouka setiap hari selama Ramadan untuk menandai waktu berbuka. Di Permakaman Islam yang menghadap Kota Tua al-Quds, Sandouka segera meledakkan bom suara setelah menerima sinyal dari Masjid al-Aqsa.
Sandouka dan meriam iftar di al-Quds.
Sumber: palinfo.com
Sandouka mengatakan bahwa kakeknya telah menembakkan meriam ketika al-Quds (Yerusalem) berada di bawah kekuasaan Utsmani, yang berlangsung hingga Perang Dunia Pertama. Meriam era Utsmani kemudian digantikan dengan yang saat ini berada di Pemakaman Islam, sejak al-Quds dan Tepi Barat berada di bawah kendali Yordania, antara 1948 dan 1967.
“Kakek saya biasa menembakkan meriam selama era Utsmani. Meriam yang digunakan kakek saya sekarang ada di Museum Islam di Masjid al-Aqsa, dan Yordania mengganti meriam iftar menjadi yang ini,” kata Sandouka. Namun, Israel yang menduduki al-Quds Timur sejak 1967, terus membatasi penggunaan meriam Ramadan tersebut bahkan melarangnya. Sandouka mengatakan bahwa sulit untuk mendapatkan izin membunyikan meriam iftar di al-Quds, dan di beberapa kota lainnya dilarang sama sekali.[5]
Saat ini, azan dari pengeras suara memang telah digunakan secara luas untuk menandai waktu berbuka, tetapi di al-Quds, umat Islam memilih untuk mengikuti tradisi dan mendengarkan suara tembakan meriam sebagai tanda waktu berbuka puasa, sebab suara tersebut juga menghadirkan kenangan keemasan masa lalu, ketika al-Quds masih menjadi rumah yang damai bagi para penduduknya.
Di Gaza, situasinya tidak jauh berbeda. Pendudukan telah membuat banyak tradisi menjadi kenangan yang jauh untuk direngkuh. Hazem, seorang blogger Palestina asal Gaza, menuliskan bagaimana kakek dan neneknya menceritakan keceriaan Ramadan yang dahulu mereka lalui.
Orang tua dan kakek-nenek kita masih membicarakan sesuatu yang disebut meriam berbuka puasa, dan begitu mereka mengingatnya, mereka berharap masa lalu akan kembali. Kakekku meneteskan air mata kepahitan saat dia berkata:
“Wahai cucuku, andai saja meriam berbuka puasa kembali. Ini akan membawa kebahagiaan ke setiap rumah dan kamar. Kami semua biasa berkumpul di rumah nenekmu dan duduk di sekitar perapian, merayakan malam Ramadan.
Wahai cucuku, andai saja meriam berbuka puasa kembali, tidak ada tawanan dan tidak ada penangkapan, tidak ada tembok penghalang dan tidak ada permukiman. Di lingkungan kami, bendera dan umbul-umbul berkibar tinggi, yang muda dan yang tua akan bernyanyi di negara kita, negara yang bebas.[6]”
Tradisi lain yang menandai waktu berbuka puasa di Palestina adalah hidangannya. Keluarga Palestina biasanya saling berkunjung selama Ramadan, membawakan hidangan untuk berbuka. Kurma adalah buah yang selalu ada, berbagai jenis kurma di Palestina akan berkumpul di atas satu meja. Selain itu, pasar-pasar di Palestina akan dipenuhi kalangan penjual manisan dan kue “qatayef”, hidangan penutup yang hampir selalu ada di meja keluarga Palestina pada Ramadan.[7]
Tradisi menikmati qatayef dimulai pada masa Dinasti Abasiyyah dan Fatimiyyah hingga menyebar ke seluruh wilayah kekuasaan Islam saat itu.[8] Bentuk qatayef mirip dengan panekuk mini. Adonan qatayef merupakan campuran tepung, susu, dan ragi. Setelah matang, qatayef dapat dimakan begitu saja atau ditambah dengan isian yang berbeda seperti kurma, kacang-kacangan, kismis, yogurt, krim, dan kenari giling yang dicampur dengan kelapa dan kayu manis.[9]
Umm Eyad Salha (55) dari Deir Balah di Gaza, berjualan Qatayef selama 20 tahun
Sumber: qudsnen.co
Sementara itu, minuman khas yang mengisi Ramadan di Palestina adalah Qamaruddin, yang terbuat dari buah aprikot. Awal penamaannya adalah ketika Khalifah Umayyah, al-Walid bin Abdul-Malik, memerintahkan pembagian minuman aprikot segera setelah melihat hilal Ramadan, sehingga ia menyebutnya Qamaruddin.[10] Kota Beit Jalla dan Ramallah merupakan penghasil aprikot terbaik di Palestina.
Ada banyak hal yang mengikat orang-orang Palestina dengan Ramadan, sejak dari penyambutannya, waktu sahur, waktu berbuka, hingga nanti Ramadan berakhir. Hal ini sebab dalam Islam Ramadan merupakan bulan suci yan dinanti-nanti. Kehadirannya disambut sepenuh hati dan kepergiannya diiringi dengan harapan agar nanti dapat bertemu kembali. Kini, situasi Ramadan di Palestina begitu sulit, tetapi tidak menghalangi orang-orang Palestina untuk memuliakannya dan menyambutnya sebagaimana kakek dan nenek moyang mereka dahulu.
Seorang kakek asal Gaza bernostalgia bagaimana nikmatnya ketika Ramadan mengetuk gerbang-gerbang Palestina,
Ketika Ramadan tiba, kau akan menemukan segala macam makanan lezat. Ada kunafa, yang dibuat dengan lemak alami; dan ada qatayef, diisi dengan almond. Pamanmu masih muda dan kau akan menemukan lentera (fanous) di sini dan mainan di sana. Seluruh lingkungan menyala dan bercahaya.
Kami biasa mengunjungi kerabat dan tetangga; semua orang tersenyum bahagia. Kami biasa begadang pada malam hari dan saling menceritakan kisah dan rahasia, tentang seorang ksatria, singa, dan seorang petualang.[11]
Kisah kakek tersebut tidak pernah usai sebab tenggorokannya terlalu berat untuk melanjutkan. Ramadan yang dulu dan kini dilaluinya sangat jauh berbeda. Al-Aqsa, masjid suci yang dulu menjadi tujuan utama dalam mengisi hari-hari Ramadan yang penuh kekhusyuan dan kegembiraan, kini terluka menyaksikan penyerangan, pelecehan, penyerbuan, penangkapan, dan perusakan. Begitu juga dengan jalan-jalan yang membentang di seluruh penjuru Palestina.
Namun, di Palestina lentera Ramadan masih dan akan terus menyala, al-Aqsa senantiasa dipeluk oleh penduduk Palestina yang selalu terjaga, suara Mesaharati masih menyeru untuk mencari berkah dan rahmat Allah sepanjang sahur, meriam Ramadan penanda iftar masih terdengar sekalipun samar, Qatayef dan qamaruddin pun masih tergelar di meja, memanggil keluarga Palestina yang terpencar-pencar untuk berkumpul menikmati hidangan serta berbagi bahagia. (LMS)
[1] https://www.arabnews.com/node/2058966/middle-east
[2] https://www.arabnews.com/node/303312
[3] https://english.alarabiya.net/special-reports/ramadan-2013/2013/07/21/Keeping-alive-the-tradition-of-the-Ramadan-Cannon-
[4] https://israelpalestineguide.wordpress.com/2013/07/23/jerusalems-ramadan-cannon-then-now/
[5] https://english.alarabiya.net/articles/2012%2F08%2F03%2F230159
[6] https://globalvoices.org/2009/08/29/gaza-waiting-for-the-iftar-cannon/
[7] https://www.halaltrip.com/other/blog/how-ramadan-is-celebrated-in-palestine/
[8] https://thearabweekly.com/qatayef-unbeatable-ramadan-sweet
[9] https://adararelief.com/al-jardali-pedagang-yang-telah-menjual-qatayef-selama-50-tahun/
[10] https://www.tellerreport.com/news/–historic-drinks-at-your-breakfast-table-in-ramadan-.BJzsjjb3V.html
[11] https://globalvoices.org/2009/08/29/gaza-waiting-for-the-iftar-cannon/
Sumber :
https://adararelief.com/al-jardali-pedagang-yang-telah-menjual-qatayef-selama-50-tahun/
https://adararelief.com/qamar-al-din-dan-licorice-minuman-penyegar-dahaga-saat-puasa-di-palestina/
https://www.arabnews.com/node/2058966/middle-east
https://english.alarabiya.net/articles/2012%2F08%2F03%2F230159
https://eng.majalla.com/node/130846/culture%E2%80%9Ciftar-cannon-fire%E2%80%9D
https://english.palinfo.com/news/2017/6/11/Ramadan-cannon-firing-tradition-of-unbreakable-sacredness
https://en.royanews.tv/news/14238/The-sweet-history-of-Qatayef
https://globalvoices.org/2009/08/29/gaza-waiting-for-the-iftar-cannon/
https://www.halaltrip.com/other/blog/how-ramadan-is-celebrated-in-palestine/
https://www.heritagetimes.in/why-do-we-really-hear-a-cannon-at-the-time-of-iftar/
https://israelpalestineguide.wordpress.com/2013/07/23/jerusalems-ramadan-cannon-then-now/
https://thearabweekly.com/qatayef-unbeatable-ramadan-sweet
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International untuk berita terbaru Palestina.
Tetaplah bersama Adara Relief International untuk anak dan perempuan Palestina.
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini seputar program bantuan untuk Palestina.
Donasi dengan mudah dan aman menggunakan QRIS. Scan QR Code di bawah ini dengan menggunakan aplikasi Gojek, OVO, Dana, Shopee, LinkAja atau QRIS.
Klik disini untuk cari tahu lebih lanjut tentang program donasi untuk anak-anak dan perempuan Palestina.