Awalnya, Rafah dikenal sebagai kota perbatasan antara Mesir dan Syam (Suriah, Lebanon, Palestina, dan Yordania), tetapi pada saat ini Rafah dikenal sebagai kota yang berada di tepi selatan Jalur Gaza, di sepanjang perbatasan antara Palestina dan Mesir. Kota ini berbatasan dengan Khan Younis di utara, Laut Mediterania di barat, dan Wilayah Beersheba di timur.
Rafah merupakan kota kuno yang didirikan pada abad ke-8 SM. Kota ini disebut “Robihwa” oleh bangsa Mesir Kuno, “Rafihu” oleh bangsa Asiria (berasal dari Mesopotamia). Bangsa Yunani dan Romawi menyebutnya “Raphia”, dan bangsa Arab menyebutnya “Rafah”. Pada tahun 635 Masehi, pasukan muslim di bawah kepemimpinan Amru bin Ash yang ditugaskan oleh Khalifah Umar bin Khattab, berhasil membebaskan Rafah dari kekuasaan Bizantium.
Seiring dengan pergantian kepemimpinan, Rafah terus berada dalam pengelolaan imperium Islam, termasuk Umayyah, Abbasiyah, hingga Ottoman atau Utsmani. Pada masa-masa tersebut, Rafah dikenal sebagai tempat persinggahan bagi para pedagang dan peziarah yang bepergian. Menurut para sejarawan abad ke-11, kota itu memiliki hotel, toko, pasar, dan masjid.
Pada tahun 1906, di bawah pendudukan Inggris di Mesir, garis pemisah ditarik antara Sinai di Mesir dan Palestina yang diperintah oleh Imperium Ottoman. Akibatnya, Kota Rafah yang terletak di perbatasan antara Mesir dan Gaza (Palestina) menjadi kota yang terbagi. Selama Perang Dunia Pertama (1914-1918), Ottoman mempertahankan Kota Gaza dengan kuat, meskipun pada akhirnya pada November 1917 terjadi Perang Beersheba (Perang Gaza ketiga) dan Inggris merebut Rafah dari tangan Ottoman. Gaza kemudian menjadi bagian dari Mandat Palestina di bawah kekuasaan Inggris yang berlangsung hingga tahun 1948.

Menurut statistik dari Mandat Inggris di Palestina, terdapat 599 orang di Rafah pada tahun 1922, dan jumlah ini meningkat menjadi 2.220 pada 1945. Semua penduduk ini diperkirakan beragama Islam. Populasi Rafah membengkak secara dramatis bersamaan dengan terjadinya Nakba (The Catastrophe/ Malapetaka) pada 1948. Ketika itu, sekira 750.000 warga Palestina dipaksa mengungsi dari kota-kota mereka oleh milisi Zionis untuk memberi jalan bagi kemunculan Israel, negara delusi yang baru didirikan di atas tanah Palestina.
Sebanyak 41.000 pengungsi pergi ke Rafah dan berlindung di sana. Pada tahun yang sama, perang perlawanan dari negara-negara Arab pun menyusul setelah pembentukan negara Israel. Setelah perang berakhir, Rafah – dan juga Jalur Gaza – kemudian berada di bawah kendali Mesir, sementara garis pemisahan tahun 1906 tetap berlaku.
Gelombang pengungsi yang memasuki Rafah membagi Rafah menjadi tiga area yang saling tumpang tindih; (1) Lingkungan yang sudah ada sebelum tahun 1948; lingkungan ini dinamai berdasarkan tanah milik keluarga penduduk asli Rafah, seperti Qishta, Sha’er, dan Al-Barahma). (2) Kamp pengungsian yang didirikan setelah tahun 1948 untuk menampung 41.000 pengungsi dari wilayah Palestina yang dijajah Israel. Kamp ini dibagi menjadi blok-blok berdasarkan abjad (Blok O, Blok P, Blok L, dst.) (3) Terakhir adalah Tel al-Sultan dan Blok Brazil, proyek permukiman yang dirancang Israel.
Pada 2004, Pemerintah Kota Rafah melaporkan bahwa total populasi wilayah tersebut adalah 145.000 jiwa, dengan delapan puluh empat persen dari populasinya adalah pengungsi. Jumlah populasi rafah meningkat menjadi 280.000 jiwa pada 2023. Namun, ketika agresi genosida Israel dimulai pada 7 Oktober 2023, Israel membombardir bagian utara Gaza dan memerintahkan penduduk Gaza untuk bergeser ke selatan, hingga ke Rafah. Akibatnya, populasi Rafah terus meningkat tajam hingga menyentuh angka 1,5 juta orang Palestina. Rafah, area padat penduduk seluas 64 km², dijejali oleh penduduk Gaza yang dipaksa mengungsi oleh Israel hingga ke ujung perbatasan selatan.
Gerbang kehidupan dan kematian bagi Gaza

Gaza pernah direbut oleh Mesir selama Perang Arab-Israel tahun 1948 dan tetap berada di bawah kendali Mesir hingga tahun 1967. Kendali atas Gaza berpindah ke Israel bersamaan dengan Naksa 1967 ketika Israel merebut sisa wilayah Palestina dalam Perang Enam Hari. Setelah perang tersebut, Israel merebut Sinai dan Gaza. Sementara itu, Rafah yang awalnya terbagi sejak masa Mandat Inggris, dipersatukan kembali oleh Israel dan perbatasan lama dirobohkan.
Pada Agustus 1967, Jalur Gaza dideklarasikan sebagai “zona militer tertutup” oleh pasukan Israel. Berdasarkan ketentuan deklarasi tersebut, pergerakan keluar dari Gaza hanya dapat dilakukan setelah diterbitkannya izin dari komandan militer daerah tersebut.
Pada 1978, melalui mediasi Jimmy Carter yang ketika itu menjabat sebagai Presiden Amerika, Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin menyelesaikan Perjanjian Camp David dan merundingkan perjanjian damai Mesir-Israel 1979 yang secara resmi mengakhiri permusuhan antara kedua negara. Pada 1982 Rafah dibagi lagi, kali ini dibatasi pagar kawat berduri, dengan separuh kota berada di bawah kekuasaan Israel dan separuh lainnya di Mesir. Sejak itu, Israel dan Mesir membuka Perbatasan Rafah, meskipun pergerakan orang dari Gaza ke Mesir tetap berada dalam kendali Israel hingga 2005.

Pada Agustus 2005, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon, memutuskan untuk menarik lebih dari 8.000 pemukim Yahudi dari Gaza. Di depan Knesset, Sharon menyatakan penarikan Israel dari Gaza bertujuan untuk memberikan tingkat keamanan yang maksimal bagi pemukim Israel dan memperkuat kendali Israel atas “jantung Alkitab” di Tepi Barat.
Tidak lama setelah itu, tepatnya pada November 2005, Perbatasan Rafah tidak lagi berada di bawah kendali Israel, tetapi dikendalikan oleh Mesir, Otoritas Palestina, dan Uni Eropa — pertama kalinya warga Palestina memperoleh kendali sebagian atas salah satu perbatasan internasional mereka. Sementara itu, dua perbatasan Gaza lainnya, yakni Beit Hanoun (Erez) dan Karem Abu Salem (Kerem Shalom) berada di bawah kendali penuh Israel.
Pada tahun 2006, Hamas memenangkan pemilihan umum Palestina dan memimpin pemerintahan di Gaza. Israel pun segera melakukan koordinasi dengan Mesir, negara sekutunya di Timur Tengah untuk memblokade Gaza, baik melalui darat, udara, maupun laut.
Pembatasan pergerakan orang dan barang ke dan/atau dari Gaza, yang diberlakukan oleh Israel dan Mesir, telah merusak kondisi kehidupan di daerah kantong tersebut. Keduanya mensyaratkan masuk dan keluarnya orang dari Gaza melalui Penyeberangan Rafah harus atas izin dari salah satu pemerintah.
Israel mengklaim blokade tersebut dilakukan untuk keamanannya sendiri. Namun, para ahli PBB mengatakan bahwa blokade tersebut, dan pengeboman hebat selama lima perang di Gaza dan agresi brutal terbaru, merupakan hukuman kolektif terhadap warga sipil, suatu kejahatan perang menurut hukum internasional. Joyce Msuya, seorang pejabat PBB di Kantor Koordinasi untuk Urusan Kemanusiaan (UN-OCHA), pada akhir 2024 mengatakan bahwa Gaza telah menjadi wilayah yang tidak layak huni. “Sebagian besar Gaza sekarang menjadi tanah kosong penuh reruntuhan. Apa perbedaan yang dibuat dan apa langkah pencegahan yang diambil jika lebih dari 70 persen rumah penduduk telah rusak atau hancur?” kata Msuya di New York, Selasa (12/11/2024) waktu setempat. “Kita menyaksikan tindakan-tindakan yang menunjukkan kejahatan internasional paling buruk.”
Sebelumnya, pada Juni 2022 Human Rights Watch (HRW) menilai bahwa pembatasan Israel yang ketat terhadap akses keluar penduduk Gaza, telah merampas kesempatan lebih dari dua juta penduduknya untuk memperbaiki hidup mereka. Sejalan dengan apa yang dilakukan Israel, keikutsertaan Mesir yang mengendalikan Perbatasan Rafah, telah menambah dampak buruk blokade terhadap hak asasi manusia.
“Israel, dengan bantuan Mesir, telah mengubah Gaza menjadi penjara terbuka,” kata Omar Shakir, Direktur Israel dan Palestina di Human Rights Watch. “Ketika banyak orang di seluruh dunia kembali bepergian setelah dua tahun dibatasi oleh pandemi Covid-19, lebih dari dua juta warga Palestina di Gaza masih menjalani karantina wilayah selama 15 tahun (kini 18 tahun-red).”

Tentu saja, penderitaan ini semakin menggila setelah diluncurkannya agresi genosida Israel pada Oktober 2023 lalu. Awalnya, terdapat 200–500 truk bantuan kemanusiaan per hari kerja yang diizinkan untuk memasuki Gaza sebelum 7 Oktober 2023. Jumlah tersebut dapat dikatakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk Gaza yang berjumlah 2.3 juta jiwa. Namun, sejak 7 Oktober 2023, Israel melarang sama sekali truk bantuan untuk memasuki Gaza hingga dua pekan setelahnya.
Israel kemudian mengizinkan 20 truk memasuki Jalur Gaza melalui Perbatasan Rafah pada 21 Oktober 2023, meskipun terdapat lebih dari 200 truk yang membawa sekitar 3.000 ton bantuan telah diposisikan di dekat perbatasan selama berhari-hari, siap untuk menuju Gaza. Sebanyak 20 truk tersebut memasuki Gaza dengan membawa obat-obatan, perlengkapan medis, dan sejumlah kecil persediaan makanan kaleng. Tidak ada bahan bakar yang diizinkan masuk meskipun sangat dibutuhkan untuk menjaga layanan krusial, terutama bagi RS, ambulans, alat-alat berat, serta pengelolaan air bersih dan limbah.
Hanya berjarak sekian kilometer, ribuan truk bantuan kemanusiaan berbaris setiap harinya menunggu izin Israel untuk dapat mencapai orang-orang yang kehausan, kelaparan, serta membutuhkan pengobatan dan perawatan. Namun, sebelum bantuan-bantuan itu dapat didistribusikan, Israel menyerang Rafah di tengah kecaman dunia yang menyatakan bahwa “Rafah adalah garis merah”, sebab wilayah ini merupakan zona kemanusiaan terakhir bagi penduduk Gaza yang berlindung dari agresi brutal Israel.

Pada awal Mei 2024, Hamas menerima kesepakatan gencatan senjata yang diusulkan oleh mediator, sementara kabinet perang Israel menentangnya dengan dalih tidak sesuai dengan tuntutan yang Israel inginkan. Setelah penolakan tersebut, pada 6 Mei 2024, Israel memulai serangan militer di dalam dan sekitar kota Rafah sebagai bagian dari invasinya ke Jalur Gaza.
Selebaran dijatuhkan oleh pesawat Israel di atas Rafah, menampilkan peta yang mengidentifikasi sembilan blok wilayah di tenggara Rafah, termasuk al-Shokat, al-Salam, al-Junaineh, Tabbet Zarei, dan al-Yarmouk, serta lahan terbuka di sekitar Karem Abu Salem yang dikuasai Israel dan perbatasan Rafah yang dikuasai Mesir. Penduduk dan pengungsi di wilayah tersebut diperintahkan untuk mengungsi ke wilayah seluas sekitar 60 km persegi yang membentang ke utara di sepanjang Pantai Mediterania, dari al-Mawasi–sebidang tanah pertanian sempit yang telah lama ditetapkan sebagai “zona kemanusiaan” oleh Israel–hingga Kota Khan Younis dan Deir al-Balah.
Inilah mimpi buruk episode selanjutnya yang dialami penduduk Gaza; Israel menguasai perbatasan Rafah, batas hidup dan mati yang sangat diandalkan sebagai jalur keluar masuk manusia dan barang, yang secara otomatis memutus keterhubungan Jalur Gaza dengan dunia luar.
Agresi genosida Israel dan taktik bumi hangus di Rafah

Perbatasan Rafah di Jalur Gaza dengan Mesir telah menjadi jalur utama bagi warga di daerah kantong Palestina tersebut. Selama tujuh bulan perang, sejak Oktober 2023 hingga Mei 2024, Rafah menjadi satu-satunya jalan masuk dan keluar Gaza bagi para pekerja bantuan dan warga yang mencoba keluar dari Gaza. Melalui perbatasan ini pula sebagian besar makanan, pasokan medis, dan bahan bakar memasuki Gaza.
Pada 30 April 2024, dalam pertemuan dengan keluarga tentara yang tewas selama perang, Netanyahu mengatakan militer Israel “akan memasuki Rafah dan kami akan melenyapkan batalion Hamas di sana — dengan atau tanpa kesepakatan, untuk mencapai kemenangan total.”
Pada 6 Mei 2024, Israel memerintahkan orang-orang di wilayah selatan Rafah untuk mengungsi, dengan mengirimkan pesan telepon dan menyebarkan selebaran di udara. Keluarga-keluarga Palestina yang berada di wilayah tersebut dengan panik mengemasi barang-barang mereka dan melarikan diri, baik dengan kendaraan maupun berjalan kaki. Pada 7 Mei 2024 atau sehari setelah perintah evakuasi, serangan udara Israel kembali menghantam Rafah, membunuh sedikitnya 25 orang, menambah daftar panjang ratusan orang yang terbunuh dalam serangan udara di Rafah selama enam pekan terakhir.

Tank-tank melintasi perbatasan antara Israel dan Palestina menuju Rafah untuk memulai agresi darat. Militer menutup penyeberangan perbatasan Rafah dan mengatakan mereka memiliki kendali operasional atas penyeberangan Gaza ke Mesir yang disebut sebagai Koridor Philadelphia. Dengan dikuasainya Rafah, PBB mengatakan bahwa lebih dari tiga perempat wilayah Jalur Gaza kini berada di bawah perintah evakuasi Israel. Artinya, hanya seperempat dari total luas Jalur Gaza yang kini berfungsi sebagai “zona kemanusiaan”, itu pun bukan berarti bebas sepenuhnya dari serangan udara Israel.
Penyerangan dan pengambilalihan Rafah ini mempertegas tujuan Israel untuk menghancurkan Jalur Gaza seluruhnya. Dimulai dari Beit Hanoun, di bagian utara Jalur Gaza yang telah menjadi sasaran serangan sejak awal agresi, hingga Rafah, garis merah kemanusiaan di selatan yang akhirnya turut menjadi sasaran Israel yang hendak membumihanguskan Gaza melalui “Dahiya Doctrine” yang dianutnya.
Dahiya diambil dari nama daerah pinggiran Beirut yang dihancurkan Israel dalam invasi mereka ke Lebanon pada 2006, sehingga yang dimaksud dengan doktrin Dahiya adalah seruan pengeboman menyeluruh dan tidak proporsional terhadap wilayah sipil yang berada di bawah ‘kendali musuh.’ Doktrin ini mengharuskan penggunaan taktik penghancuran infrastruktur sipil untuk menghilangkan nyawa manusia dengan tujuan akhir kendali utuh atas “wilayah musuh”.
Taktik militer yang digunakan di Gaza merupakan realitas bagaimana doktrin Dahiya diterapkan Israel. Kelangsungan doktrin ini–yang telah bertahan selama hampir 20 tahun–bertumpu pada pelabelan sistematis terhadap warga sipil sebagai “pendukung atau anggota organisasi bersenjata” sehingga boleh dibunuh. Selain itu, Israel juga dengan entengnya terus-menerus melabeli infrastruktur kemanusiaan, seperti rumah sakit, sebagai markas militer Hamas, untuk melegitimasi penyerangan terhadap RS meskipun tuduhan tersebut tidak terbukti sama sekali.

Agresi terhadap Rafah, wilayah yang pada awalnya menjadi zona kemanusiaan yang dipadati pengungsi, kemudian dijadikan target penghancuran dengan dalih “markas batalion Hamas”, merupakan contoh bagaimana Israel menerapkan doktrin Dahiya. Pada Juli 2024, dua bulan setelah agresi darat, Walikota Rafah, Ahmed Al-Sufi, mengatakan bahwa pasukan pendudukan Israel (IOF) mengubah Rafah menjadi daerah bencana dengan menghancurkan lebih dari 70% infrastruktur di wilayah itu, termasuk jalan, jaringan air dan limbah, tangki, sumur air, pasar, dan fasilitas kota.
Al-Sufi juga menyatakan bahwa Israel mengadopsi taktik bumi hangus dengan menghancurkan 80% wilayah Al-Shoka, lingkungan Al-Salam, dan Kamp Yabna dan Rafah bagian barat, serta alun-alun besar di lingkungan Tal Al-Sultan dan Al-Saudi, dan Kamp Barat, selain lebih dari 60% kamp Al-Shaboura.
Doktrin Dahiya digunakan untuk memperluas strategi perang totalnya terhadap warga sipil secara bertahap namun mematikan, baik dengan penghancuran infrastruktur maupun dengan menahan sumber daya yang diperlukan untuk menopang kehidupan manusia. Pengepungan Rafah sekaligus pengusiran terhadap penduduk dan pengungsi dari sana, jelas merupakan upaya untuk menjauhkan Gaza dari gerbang penyelamat bernama Rafah, memutus jalur bantuan kemanusiaan demi menciptakan kelaparan yang meluas, membiarkan Gaza lumpuh total tanpa adanya bahan bakar yang diizinkan, serta menutup pintu keluar bagi mereka yang terluka agar menemui ajal di tengah kelangkaan pasokan medis.
Namun, sejarah Rafah dalam bertahan terlalu panjang bagi penduduk Palestina untuk membiarkan Israel menguasai tanah mereka. Perlawanan masih bergaung dan keteguhan masih bernaung. Tahap pertama dalam gencatan senjata terbaru yang telah dimulai pada 19 Januari 2025 telah memanggil mereka yang terpaksa pergi untuk pulang sekali lagi. Pucuk-pucuk bunga musim semi yang menyembul dari tanah yang diratakan, ataupun dari bangunan yang dihancurkan, seolah menjadi tanda bahwa Rafah akan kembali berseri. (LMS)
Referensi
https://interactive.aljazeera.com/aje/2024/gaza-before-after-satellite-images/
https://www.btselem.org/publications/summaries/200503_gaza_prison
https://www.bbc.com/news/articles/c2le2njgjvlo.amp
https://www.doctorswithoutborders.org/latest/whats-happening-rafah
https://www.hrw.org/report/2004/10/17/razing-rafah/mass-home-demolitions-gaza-strip
https://www.hrw.org/reports/2004/rafah1004/rafah1004full.pdf
https://www.middleeasteye.net/news/rafah-sinai-gaza-city-divided-contentious-border
https://www.adl.org/resources/backgrounder/disengagement
https://www.npr.org/2024/05/08/1249657561/rafah-timeline-gaza-israel-hamas-war
https://www.npr.org/2025/02/05/g-s1-46565/gaza-israel-history-mideast-conflict-trump
https://cscr.pk/explore/themes/politics-governance/making-sense-of-israels-rafah-onslaught/
https://imeu.org/search/6a471d4e6a5bc96d10fa952b43db7f88/
https://www.theindy.org/article/3193
https://english.palinfo.com/news/2024/07/25/322620/
https://www.pbs.org/newshour/world/a-timeline-of-the-gaza-strip-in-modern-history
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini