Ahmadun Yosi Herfanda lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Ia merupakan alumni FPBS IKIP Yogyakarta, S-1 pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Yogyakarta (1986) dan S-2 Jurusan Magister Teknologi Informasi di Universitas Paramadina Mulia, Jakarta (2004). Ia pernah aktif sebagai pengurus Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI, 1993–1995), dan Ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999–2002). Selain itu, ia juga menjadi anggota Dewan Penasihat dan (kini) anggota Majelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Pada 2006 terpilih menjadi anggota DKJ, tetapi kemudian mengundurkan diri. Saat ini ia bekerja sebagai redaktur sastra harian umum Republika Jakarta.
Ahmadun banyak menulis puisi, cerpen, esai, dan kolom. Karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dalam dan luar negeri, seperti Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei). Puisinya juga dapat ditemukan di Secrets Need Words (Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001), Waves of Wonder (Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), Journal Indonesia and The Malay World (London, Ingris, November 1998), dan The Poets’ Chant (The LiterarySection, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995). Beberapa kali sajaknya dibahas dalam “Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman” (Deutsche Welle).
Ahmadun sering diundang untuk menjadi pembicara dalam berbagai diskusi dan seminar sastra nasional dan internasional. Pada 1998 beliau membacakan sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 beliau menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX Padang. Tahun 1999 beliau mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia, dan menjadi pembicara pada Pertemuan Sastrawan Muda Nusantara Pra-PSN di Malaka. Pada 2002 beliau menjadi pembicara dan membacakan sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir. Pada Agustus 2003 beliau diundang untuk membacakan sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. September 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya. Oktober 2006 beliau membacakan sajaknya dalam International Poetry Festival di Taman Budaya Palembang dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Maret 2007 beliau menjadi pembicara utama dan membacakan sajaknya dalam The 1st International Poetry Gathering di Medan.
Ahmadun adalah salah satu sastrawan nasional yang membangkitkan semangat para seniman agar menyuarakan keadilan terhadap rakyat Palestina lewat karya seni. Dalam pidato yang disampaikan Ahmadun Y. Herfanda pada diskusi pekan persahabatan Indonesia-Palestina, yang diselenggarakan oleh BKK-KUA Universitas Islam Indonesia, di Yogyakarta, 13–18 Januari 1992. Beliau mengatakan, “Barangkali saya termasuk orang yang optimis terhadap peranan sastra dalam perjuangan Palestina. Walaupun, barangkali persentase optimisme itu kecil, paling tidak saya termasuk orang yang paling optimis terhadap peranan sastra dalam kehidupan. Namun, dalam optimisme itu – terutama dalam memandang peranan kesenian, peranan sastra dalam perjuangan Palestina – kita menghadapi suatu kenyataan yang barangkali akan kita lihat sebagai sesuatu yang sangat ironis. Yang pertama adalah kenyataan mikro; kenyataan mikro yang berupa kesenjangan – kesenjangan persepsi sastra antara seniman, sastrawan dengan masyarakat, bahkan dengan penguasa.
Jadi kalau kita lihat, di satu sisi, banyak kalangan seniman yang begitu yakin–bahkan sampai ada yang begitu utopis–memandang bahwa kesenian atau kesusastraan bisa menyumbangkan sesuatu yang sangat bermakna dari kehidupan. Namun, di sisi lain, banyak masyarakat, bahkan para penguasa, memandang bahwa kesenian, yang sesungguhnya bisa memberikan fungsi, memberikan makna pada kehidupan, hanya diletakkan di dalam kurungan. Barangkali dianggap sebagai perkutut.”
Ahmadun melanjutkan pidatonya dengan mengatakan bahwa ketika puisi benar-benar dilibatkan dalam kehidupan dan tidak dibiarkan begitu saja, maka puisi bisa menjadi sebuah senjata bagi para penyair Palestina dalam perjuangan melawan Israel. Ia mengatakan, “Saudara sekalian, saya kira kita sudah tahu sedikit beberapa puisi Palestina baik yang dimuat di Horison maupun kumpulan puisi Arab modern. Bagaimana greget sajak-sajak Palestina itu, yang saya kira gregetnya bisa disejajarkan dengan gregetnya Chairil Anwar dalam menyair. Misalnya, kita cuplik karya Harun Hasyim Rasyid:
Aku orang Palestina
Aku orang Palestina walau mereka mengkhianatiku dan meludahi cita-citaku
Orang Palestina aku, walau mereka menjualku di pasar dunia dengan harga beribu juta
Orang Palestina aku, walau ke gantungan dihalau aku
Orang Palestina aku, walau ke dinding diikat aku
Orang Palestina aku, walau ke api dilempar aku
Kita bisa merasakan bagaimana greget nasionalisme dan perjuangan mereka melalui puisi. Dan puisi macam inilah yang cukup ditakuti oleh militer Israel. Dan dengan gelagak dendam yang penuh tenaga pula, Afad Fatukan menulis:
Aku mereka sekap dalam sel yang gelap,
Jerohanku menggelegar dengan panas seribu obor
Kemudian pada sebuah buku kanak-kanak bergambar, seorang penyair yang tidak menyebut namanya mengguratkan kata-kata tegasnya:
Kampung halaman orang Palestina dirampas musuhnya
Siapa musuh orang Palestina?
Musuh orang Palestina adalah orang yang merampas kampung halamannya
Bagaimana orang Palestina mendapatkan lagi rumahnya sendiri?
Hanya dengan senjata, orang Palestina bisa mendapatkan rumah dan kampung halamannya kembali
Orang Palestina akan pulang kampung
Bagi orang Palestina kampung halamannya adalah punya mereka
Saudara sekalian, sebagai karya sastra yang lahir di daerah pendudukan, tak pelak lagi sajak-sajak para penyair Palestina tidak hanya menjadi ekspresi kritik gelegak pemberontakan dendam maupun pengobar semangat tanah air dan perjuangan bangsanya. Tapi juga merupakan guratan kesaksian atas kekerasan, penindasan dan penderitaan panjang yang mereka alami. Sajak-sajak yang juga mencatat upaya-upaya penghancuran dan peniadaan bangsa mereka oleh tetangganya sendiri, Israel.
Jadi, dengan lebih banyak yang kita tahu, kita membaca karya-karya sastra Palestina, sebenarnya kita bisa mendapatkan informasi lebih banyak dan jujur, yang mencatat apa yang sebenarnya telah dilakukan Israel-Yahudi terhadap orang-orang Palestina. Tapi sayang sekali, seperti yang saya katakan tadi, informasi kita sangat terbatas tentang itu.”
Dengan demikian, banyak yang pesimis tentang peranan sastra dalam kehidupan namun dengan karya sastra yang bernama puisi itu tidak perlu lagi menguraikan lebih panjang tentang penderitaan rakyat Palestina, sehingga sangat diperlukannya menyebarluaskan informasi tentang karya-karya sastra Palestina lebih rinci.
Fatmah Ayudhia Amani, S.Ag
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan Diploma in Islamic Early Childhood Education, International Islamic College Malaysia dan S1 Tafsir dan Ulumul Qur’an, STIU Dirosat Islamiyah Al Hikmah, Jakarta.
- https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/tokoh-detail/3389/ahmadun-yosi-herfanda ↑
- Achmad Hadi dan Riza Sihbudi, M. 1992. Palestina: Solidaritas Islam dan Tata Politik Dunia Baru. Jakarta : Pustaka Hidayah. Hal. 88. ↑
- Achmad Hadi dan Riza Sihbudi, M. 1992. Palestina: Solidaritas Islam dan Tata Politik Dunia Baru. Jakarta : Pustaka Hidayah. Hal. 92-93. ↑
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini
#Palestine_is_my_compass
#Palestina_arah_perjuanganku
#Together_in_solidarity
#فلسطين_بوصلتي
#معا_ننصرها