Pekan ASI Sedunia setiap tahunnya diperingati pada 1–7 Agustus. Peringatan ini menjadi momen penting bagi masyarakat global untuk bersama-sama menegaskan komitmen dalam mendukung pemberian ASI eksklusif kepada bayi. Tahun ini, peringatan Hari ASI Sedunia mengusung tema “Closing the gap: Breastfeeding support for all”. Tema ini menggarisbawahi pentingnya menyediakan dukungan yang menyeluruh bagi semua ibu menyusui, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau geografis.
Melalui tema ini, diharapkan semua elemen masyarakat, mulai dari keluarga, komunitas, hingga pemerintah, dapat bergandengan tangan untuk memberikan dukungan yang diperlukan oleh para ibu untuk menyusui. Peringatan ini juga menjadi kesempatan untuk meningkatkan kesadaran akan manfaat ASI bagi kesehatan dan perkembangan bayi, serta memperkuat upaya-upaya dalam mendukung program pemberian ASI eksklusif di seluruh dunia.
Akan tetapi, tema tersebut tampaknya cukup sulit direalisasikan tahun ini, terutama mengingat Gaza yang hingga hari ini masih dibombardir habis-habisan. Serangan beruntun terus-menerus ditargetkan ke penduduk sipil tanpa pandang bulu, tak terkecuali perempuan dan anak-anak. Di Gaza, ASI eksklusif yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar bayi pada tahun-tahun awal kehidupannya, telah berubah menjadi kemewahan yang nyaris tidak bisa diberikan kepada sebagian besar bayi di Gaza, terutama yang lahir pasca terjadinya agresi 7 Oktober.
Tidak peduli betapa inginnya para ibu untuk menyusui bayi mereka dan membangun ikatan emosional dengan mereka, kondisi di lapangan telah membuat mereka tidak bisa melakukannya. Berbagai kondisi telah menghalangi mereka, baik itu dari masalah mental, kesehatan, bahkan terenggutnya nyawa salah satunya, baik sang ibu maupun bayinya. Maka, pada Pekan ASI Sedunia tahun ini, sudah waktunya dunia membuka mata akan kisah nyata para ibu menyusui di Palestina.
Saya Tidak Bisa Menyusui Bayi Saya Sendiri
Rina, seorang perempuan Palestina, merupakan ibu dari bayi bernama Ahmed yang lahir tak lama sebelum agresi 7 Oktober. Rina telah kehilangan suaminya, Omar, karena serangan udara Israel, dan sekarang dia khawatir Ahmed juga bisa saja meninggal karena penyakit atau kedinginan di tenda pengungsian mereka di perbatasan Mesir, yang telah menjadi tempat perlindungan kelima mereka. Pengeboman dan blokade selama berpekan-pekan telah mengubah daerah kantong itu menjadi tempat berkumpulnya pengungsi yang kelaparan, juga dihantui oleh penyakit.
Sejak suaminya meninggal pada awal agresi, ASI Rina telah mengering. Berpekan-pekan setelahnya, satu-satunya hal yang konstan dalam hidupnya adalah berusaha mencari susu formula dan air bersih untuk menjaga agar putra tunggalnya dapat tetap bertahan hidup saat mereka melarikan diri melintasi Gaza.
Awalnya, Rina tinggal di Beit Lahiya, salah satu permukiman paling utara di Gaza. Dia bersama suami dan anaknya meninggalkan rumah mereka pada hari-hari awal agresi, melarikan diri untuk tinggal bersama ibunya di bagian lain Beit Lahiya, yang mereka harapkan akan sedikit lebih aman. Namun, mereka tak lama menetap di sana, dan harus berpindah lagi ke rumah saudara perempuannya, kemudian ke rumah kakeknya.
Rina sangat mengingat bahwa pada 17 Oktober, Omar sedang mencari perbekalan untuk keluarganya ketika sebuah rudal meledak di dekatnya. Pecahan peluru dari ledakan itu merenggut nyawa Omar, juga mencabik-cabik tubuh dan hati Rina yang menyaksikan suaminya tewas mengenaskan. “Saya tidak dapat menerima kehilangan suami saya. Omar adalah hidup saya, dan kehilangan dia terasa seperti kehilangan seluruh hidup saya. Saya berharap saya juga mati bersamanya,” kata Rina. “Setelah kematiannya, kondisi emosional saya memburuk, dan saya tidak bisa lagi menyusui Ahmed,” tambahnya.
Masih di bulan Oktober, Rina dan keluarganya mengabaikan peringatan Israel bahwa warga sipil harus meninggalkan wilayah utara, karena mereka merasa tidak punya tempat untuk dituju. Tempat penampungan di wilayah selatan sudah penuh sesak dan terjadi juga serangan di sana. Tidak ada tempat yang sepenuhnya aman di Gaza dan tidak adanya pilihan yang menjamin perlindungan, membuat pilihan mereka menjadi sangat terbatas.
Namun, ketika pertempuran semakin intensif di wilayah utara, keluarga tersebut menyadari bahwa mereka tidak akan bisa memiliki akses ke perawatan medis dasar sekalipun. Dua saudara ipar Rina juga telah terluka ketika serangan Israel menargetkan rumah di dekat mereka. Ketika gencatan senjata disetujui, mereka memutuskan untuk pergi lagi. Rina berjalan keluar pada hari keempat gencatan senjata, menggendong putranya dan sedikit barang, bergerak menuju Khan Younis. Ia berharap di tempat penampungan yang penuh sesak, setidaknya bisa memberikan perlindungan bagi bayinya.
Akan tetapi, pada 1 Desember, Israel menyebarkan selebaran yang memerintahkan mereka untuk pindah lagi. Mereka kemudian berangkat ke Rafah, hanya untuk menukar kondisi yang lebih buruk dengan pengeboman demi pengeboman selanjutnya, meskipun serangan udara Israel juga sebenarnya telah mendarat dimana-mana.
Rina, yang seharusnya menikmati masa-masa awalnya menjadi seorang ibu, kini harus memaksa alam bawah sadarnya untuk tidak memikirkan apa yang akan terjadi pada Ahmed jika bom yang menewaskan Omar juga merenggut dirinya. “Saya tidak dapat membayangkan bahwa anak saya mungkin tumbuh menjadi yatim piatu,” katanya. “Dia tidak bersalah dan tidak pantas menerima penderitaan dan rasa sakit ini.”
Saya Akan Menggali Gunung untuk Bayi Saya
Pada pagi hari tanggal 7 Oktober, Amal Alabadla sedang hamil tua dan meringkuk di tempat tidur bersama putranya, Noah, yang berusia 18 bulan. Mereka terbangun karena suara keras. Itulah kali pertama mereka mendengar jet tempur Israel melancarkan serangan di awal agresi. Di Khan Younis, Amal yang tidak tahu apa yang sedang terjadi merasa sangat cemas dan takut. Akibat perasaan panik, dia mulai mengalami pendarahan hebat. Dia menyadari harus segera pergi ke rumah sakit, tetapi suaminya bekerja di luar Gaza, dan dia saat itu sendirian.
Setelah menunggu selama tiga jam, pengemudi taksi hanya dapat mengantar Amal hingga setengah jalan. Jalanan penuh dengan orang-orang yang tidak tahu harus berbuat apa atau ke mana harus pergi di tengah kekacauan situasi. Ketika Amal akhirnya bisa mencapai rumah sakit, dia langsung dirujuk untuk menjalani operasi caesar. Tepat saat itulah Mohamed, putra keduanya, lahir di dunia yang telah berubah total. Sejak saat itu, Amal harus berjuang setiap hari untuk menjaga agar kedua anaknya dapat tetap bertahan hidup.
Seperti halnya 90% orang di Gaza, Amal dan keluarganya tidak memiliki pola makan yang sehat dan seimbang selama berbulan-bulan akibat blokade Israel. Masalah ini khususnya menjadi sangat serius di wilayah utara, ketika 90% anak-anak dan 95% wanita hamil dan menyusui menghadapi kekurangan pangan yang parah. Sekitar 24.000 bayi diperkirakan lahir di Gaza selama agresi, namun hanya ada sekitar setengah dari populasi perempuan yang mampu menyusui bayinya lebih dari enam pekan.
“Begitu agresi dimulai, kami tahu ini akan menjadi tantangan,” kata Anu Nayaran, penasihat senior Unicef untuk gizi anak dalam keadaan darurat. “Jika Anda tidak menyusui bayi Anda, Anda berada di tengah konflik. Ketika itu Anda tiba-tiba saja tidak bisa mulai memberi makan (ASI) bayi Anda,” lanjutnya. “Anda sepenuhnya bergantung pada susu formula bayi.”
Amal sendiri sebenarnya berhasil menyusui Mohamed selama sebulan, sebelum kemudian mendapati bahwa ia tidak bisa lagi menghasilkan cukup ASI untuk bayinya. “Saya takut dan gugup sepanjang waktu. Saya tidak fokus pada asupan makanan yang baik untuk diri saya. Jadi, saya tidak memiliki susu untuknya (Mohamed),” katanya. “Tetapi saya terus mencoba.”
Seiring berlanjutnya agresi, keadaan menjadi semakin sulit. Sistem air Gaza hampir tidak berfungsi, membuat sebagian besar ibu baru mengalami dehidrasi, yang menghambat kemampuan mereka untuk menghasilkan ASI. “Orang-orang mendapatkan kurang dari dua liter air sehari dan itu hampir tidak cukup untuk minum, apalagi untuk mandi,” kata Nayaran.
Selain itu, tidak ada cukup susu formula bayi yang masuk ke Gaza. Hanya sedikit sekali yang tersisa di pasaran, dengan harga yang melambung. Meskipun PBB telah menanggapi dengan mengirimkannya sebagai bantuan, jumlah truk yang diizinkan dan benar-benar bisa memasuki Gaza semakin lama semakin sedikit. Karena kurangnya air bersih, Unicef bahkan juga mencoba mengirimkan susu formula bayi yang sudah dilarutkan ke Gaza. Susu formula ini memang lebih aman digunakan, tetapi lebih sulit untuk diangkut dalam jumlah besar.
Konsekuensi agresi memang sangat buruk, terutama bagi anak-anak. Memastikan asupan makanan yang cukup kalori dan kaya nutrisi selama 1.000 hari pertama kehidupan mereka – dari masa kehamilan hingga usia dua tahun – merupakan langkah yang sangat penting bagi kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan kognitif, serta kesejahteraan seumur hidup mereka. Dalam memberikan asupan nutrisi yang cukup bagi anak, sang ibu juga tentunya membutuhkan pola makan yang sehat agar mereka memiliki cadangan nutrisi yang dibutuhkan pada masa kehamilan dan menyusui. Kedua persyaratan tersebut menggarisbawahi pentingnya mencegah kekurangan gizi sejak awal – yang merupakan inti dari program gizi Program Pangan Dunia (WFP).
Amal, seperti banyak ibu lainnya di Gaza, juga sama sekali tidak menginginkan kondisi ini. Bagaimana mentalnya tidak terganggu, ketika tiga hari setelah pemulihan dari operasi caesar, dalam kondisi yang seharusnya masih masa pemulihan, Amal harus mengungsi untuk pertama kalinya. Mereka pergi pada malam hari, dua jam sebelum lokasi mereka dibom. “Saya tidak bisa membawa susu dan popok karena mereka menghancurkan seluruh bangunan hingga rata dengan tanah,” katanya.
Amal awalnya membawa anak-anaknya ke Rafah saat mengungsi, karena mengira wilayah itu akan lebih aman, tetapi keadaan memaksanya untuk kembali ke Khan Younis. Amal sama sekali tidak dapat menemukan barang-barang yang dia butuhkan di Rafah. Mohamed memiliki alergi susu sapi, sehingga susu formula biasa justru membuatnya sakit, alih-alih mengenyangkan. Amal kemudian menemukan satu botol susu formula non-laktosa tetapi harganya $40, sepuluh kali lipat dari harga sebelum agresi.
Pada pertengahan Januari, Amal dan anak-anaknya tinggal di sepetak semak belukar di luar Khan Younis. Saat itu, ia hanya memiliki persediaan susu formula untuk dua hari. Pada usia tiga bulan, Mohamed bahkan tidak bisa makan apa pun lagi. “Saya akan menggali gunung untuk menyediakannya (makanan),” kata Amal, “Bayi saya membutuhkannya.” Dia bahkan meminta tolong pada saudara-saudaranya untuk mencari makanan di reruntuhan bangunan, tetapi mereka selalu kembali dengan tangan hampa.
Seluruh penduduk Gaza dari segala usia, faktanya telah menghadapi krisis kelaparan, tetapi risiko yang sangat tinggi terutama dialami oleh anak-anak yang masih kecil. “Anak-anak dapat jatuh sakit dengan sangat cepat,” kata Anu Nayaran dari Unicef. Mereka memiliki simpanan lemak dan otot yang lebih sedikit dan dapat dengan cepat mengalami malnutrisi akut.” Bahkan ketika mereka dirawat, ada risiko konsekuensi jangka panjang. Malnutrisi dapat menyebabkan tingkat diabetes, penyakit jantung, dan bahkan obesitas yang lebih tinggi di kemudian hari.
Di tengah keputusasaan, seperti banyak warga Gaza lainnya, Amal berusaha menggunakan penggalangan dana daring. Ia mencoba mengusahakan apa pun agar dapat mengumpulkan ribuan dolar yang dibutuhkan keluarganya untuk membayar pialang sehingga mereka bisa masuk dalam daftar orang-orang yang disetujui untuk meninggalkan Gaza ke Mesir dan mendapatkan tempat yang aman. Sebab, di Gaza, bahkan sejengkal pun tak ada lagi tempat yang aman bagi semua yang bernyawa.
Saya Harus Menyelamatkan Anak Saya dari Agresi Mengerikan Ini
Pada suatu malam, Amal melihat foto terakhir yang diambilnya sebelum agresi, tertanggal 6 Oktober. Di foto itu, putra pertamanya, Noah, berbaring di karpet lembut, bersandar di bantal besar, menonton kartun di TV dan meneguk susu dari botolnya. Ia saat itu sedang menendang-nendangkan kakinya ke udara di bawah cahaya lembut lampu hias di dinding ruang tamu. Dia tertidur di dalam selimut bersama ibunya malam itu, di dunia yang jauh dari debu, kotoran, dan kebrutalan yang sekarang mewarnai kehidupan mereka. “Saya mencoba melakukan apa yang mungkin dilakukan,” kata Amal. “Saya hanya perlu menyelamatkan anak-anak saya dari agresi yang mengerikan ini.”
Di Gaza, hak asasi manusia dasar telah dirampas dengan kejam dari semua orang, termasuk sekitar 50.000 perempuan yang saat ini sedang hamil, juga sekitar 180 perempuan yang melahirkan setiap hari dalam kondisi yang sangat buruk, saat semua ibu seharusnya menyusui bayi mereka di waktu-waktu awal kehidupannya. Di Gaza, rata-rata, dua ibu terbunuh setiap jam, dan satu anak terbunuh setiap 10 menit. Kegembiraan dan perayaan atas kelahiran kehidupan baru ke dunia ini digantikan oleh trauma, kesedihan, dan ketakutan karena sebagian besar bayi yang baru lahir di Gaza telah diberi surat keterangan kematian, bahkan sebelum akte kelahiran mereka didaftarkan.
Pekan ASI Sedunia pada tahun ini mengusung tema yang cukup berat untuk diaplikasikan di Jalur Gaza. Bagaimana tidak, ASI yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar yang bisa disediakan oleh para ibu kepada bayi mereka, kini telah menjelma menjadi cairan emas yang sangat mewah hingga tak terjangkau oleh para ibu yang mengungsi terus menerus di bawah ancaman genosida. “Menyusui bukan sekadar pilihan yang bergizi; itu adalah hak dasar dan jalur hidup yang vital bagi ibu dan bayi,” kata Nihal Nassereddin, petugas gizi untuk Kantor WFP di Palestina. “Namun, kami membutuhkan dana dan akses untuk berhasil dalam mendukung semua perempuan di Gaza agar dapat memberikan awal yang terbaik bagi anak-anak mereka.”
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber :
https://www.theguardian.com/world/2023/dec/05/gaza-widow-mother-baby-israel-palestine
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-68542331
https://truthout.org/articles/we-wont-have-true-reproductive-justice-until-palestine-is-free/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini