Hari Anak Sedunia pertama kali dicetuskan pada 1954 sebagai Hari Anak Universal. Setiap tanggal 20 November, Hari Anak diperingati untuk mengampanyekan kesadaran di antara anak-anak di seluruh dunia dan meningkatkan kesejahteraan anak.
Namun, inilah kisah tragis yang dialami oleh anak-anak di Palestina
Anak-anak yang menjadi korban agresi Gaza pada Agustus 2022
Kami datang untuk mengucapkan selamat hari raya kepadamu.
(Namun) mengapa di tempat kami tidak ada dekorasi hari raya?
Wahai semesta, tanah kami telah dihancurkan,
tanah kami telah direnggut kebebasannya
Langit kami sedang bermimpi, bertanya kepada hari:
di mana matahari yang indah dan ke mana kepakan sayap burung merpati?
Wahai semesta, tanah kami telah dihancurkan,
tanah kami telah direnggut kebebasannya
Tanahku kecil, seperti aku yang mungil,
kembalikanlah kedamaian (di tanah kami),
kembalikanlah masa kecil kami.
(A’touna El Toufoule)
Pemilik Boneka yang Tak Pernah Kembali
Pada suatu sore di hari Jumat, seorang gadis kecil keluar dari rumahnya, melangkah riang menuju Masjid Abu Samra di lingkungan Shujaiya di utara Gaza. Tak sabar ia ingin segera sampai di masjid dan berjumpa dengan teman-temannya di sana. Di benaknya sudah terbayang permainan seru apa saja yang akan mereka mainkan hari ini. Akan tetapi, alih-alih disambut oleh teman-temannya, ia justru dijemput oleh malaikat maut di sana.
Kisah ini bukanlah dongeng. Ini adalah kisah nyata Alaa Qaddoum, seorang gadis kecil Palestina yang usianya baru menginjak 5 tahun. Alaa adalah korban pertama dan salah satu anak paling kecil yang terbunuh dalam agresi Gaza pada Agustus lalu. Ia datang ke masjid dengan niat bermain bersama teman-temannya, tetapi justru pasukan Israel yang “bermain” dengan nyawanya. Sebuah bom meledak, menewaskan Alaa seketika akibat luka parah di bagian dahi, dada, dan kaki kanannya.
Begitu mendengar kabar pilu tentang gadis manis tersebut, keluarga Alaa tidak bisa menyembunyikan kesedihan mereka. “Ia adalah cahaya mataku,” kata ibunya dengan mata berkaca-kaca, tak sangggup banyak berbicara akibat sesak di hatinya. Sementara bibinya memegang baju merah muda dan putih yang Alaa kenakan, yang kini juga ditambah warna merah dari darah gadis kecil itu. “Darahnya belum kering,” kata bibinya.
Di rumah duka, Tala, boneka kesayangan milik Alaa, tampak duduk sendirian di kasur, ditinggalkan pemiliknya yang tidak akan pernah kembali lagi. “Sejak dulu dia sangat mencintai Tala,” ujar bibinya. Boneka tersebut kemudian diberikan kepada adik perempuan Alaa, untuk menjaga kenangan-kenangan tentang Alaa.
“Alaa sangat bersemangat mempersiapkan dirinya untuk jenjang prasekolah (PAUD). Kami seharusnya membelikannya tas dan alat tulis baru,” kata nenek Alaa, dengan perasaan yang campur aduk. “Apakah itu kejahatannya? Bermimpi membeli tas baru untuk pergi ke taman kanak-kanak?” tambah beliau.
Alaa Qaddoum, gadis kecil usia 5 tahun yang menjadi korban agresi Gaza (https://www.middleeasteye.net/)
Alaa adalah salah satu dari 16 anak Palestina yang menjadi korban agresi Gaza pada tanggal 5 hingga 7 Agustus lalu. Anak-anak yang terbunuh dalam serangan mengerikan tersebut berusia mulai dari 4 hingga 18 tahun. Mereka semua adalah anak-anak biasa yang ceria dan suka bermain, juga memiliki banyak mimpi yang ingin mereka raih pada masa yang akan datang. Akan tetapi, Israel menghancurkan seluruh mimpi mereka, hanya karena mereka terlahir sebagai anak Palestina.
Sejak awal tahun hingga November 2022, Israel tercatat telah membunuh 30 anak Palestina, membuat tahun 2022 menjadi tahun yang paling mematikan bagi penduduk Palestina. Berdasarkan data dari Defence for Children International-Palestine (DCI-Palestine), sejak tahun 2000 hingga November 2022, Israel telah membunuh 2.228 anak Palestina. Sementara, pada 2022 saja, Israel membunuh 30 anak, dengan jumlah terbanyak berasal dari Jenin yaitu 11 anak[1].
Jumlah pembunuhan anak Palestina yang terlampau banyak seringkali membutakan dunia, menganggapnya sebagai rutinitas biasa atau angin lalu yang akan hilang begitu saja seiring berjalannya waktu. Sibuk dengan ribuan permasalahan pelik lainnya, dunia seolah tidak pernah punya waktu untuk menoleh, menyaksikan anak-anak kecil yang terbujur kaku bersimbah darah, di pelukan orang tuanya yang menjerit penuh nestapa.
Adakah yang bisa menjawab, apa salah dari anak-anak ini? Pernahkah sekali saja kita membayangkan apabila salah satu dari anak tersebut adalah anak-anak kita? Adik kita, kerabat kita, atau seseorang yang kita kenal? Akankah kita memilih untuk menutup mata dan telinga, lantas kemudian memalingkan muka? Sejatinya jawaban kita atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mengungkapkan seberapa besar rasa kemanusiaan yang masih tertinggal di hati kita.
Tidak Ada Tempat yang Aman Bagi Anak Palestina
“Dia adalah anak laki-laki yang sehat seutuhnya dan penuh kebahagian. Hanya dalam hitungan menit, kami kehilangannya.” Demikian Mohammed Sulaiman mendeskripsikan keponakan tersayangnya, Rayyan Yaser Sulaiman, yang usianya baru menginjak 7 tahun saat tentara Israel membunuhnya. Entah apa kesalahannya, tentara Israel “mengejar” nyawa anak kecil tersebut hingga ia mengembuskan napas terakhirnya pada akhir September lalu.
Rayyan adalah seorang anak Palestina dari Betlehem yang baru duduk di kelas dua sekolah dasar. Hari itu, Rayyan berangkat ke sekolahnya, yaitu Sekolah Al-Khansa yang terletak di Distrik Bethlehem dan menjalani hari seperti biasa di sekolahnya. Saat dalam perjalanan pulang ke rumah bersama dua kakaknya, entah dari mana datangnya, tentara militer Israel tiba-tiba datang dan mengejar anak-anak tersebut.
Bersama dua kakaknya yang berusia 8 dan 10 tahun, Rayyan berlari sekencang-kencangnya menuju rumah mereka. Begitu sampai di depan rumah, mereka menggedor pintu dengan kencang dan berteriak penuh dengan kecemasan. Sang Ayah yang mendengar keributan segera membuka pintu, hanya untuk menyaksikan putra bungsunya kehilangan kesadaran dan jatuh ke lantai. Detik itu juga, jantung Rayyan berhenti berdetak, setelah dipaksa berdetak terlalu kencang akibat rasa ketakutan yang memuncak.
Rayyan sempat dibawa ke Rumah Sakit Beit Jala di selatan Al-Quds (Yerusalem), tetapi nyawanya tetap tidak tertolong. Dokter spesialis anak, Mohammed Ismail, mengatakan bahwa kondisi Rayyan tergolong sehat dan tidak mengalami gangguan medis sebelum insiden tersebut. “Skenario yang paling memungkinkan terjadi adalah rasa tertekan atau stress yang kemudian memicu sekresi adrenalin secara berlebihan, mengakibatkan peningkatan tekanan jantung dan menyebabkan terjadinya serangan jantung,” ungkap Ismail.
Baca selengkapnya tentang Rayyan di sini
Rayyan Suleiman, anak usia 7 tahun yang tewas akibat dikejar tentara Israel (https://www.middleeastmonitor.com/)
Di belahan dunia lain, berangkat ke sekolah merupakan suatu rutinitas yang seharusnya menyenangkan bagi anak-anak. Hari baru dimulai dengan sarapan bersama keluarga, kemudian berjalan kaki bersama orang tua ke sekolah sambil menyaksikan pemandangan pagi hari atau berangkat naik bus jemputan bersama teman-teman sambil bercanda dan tertawa. Namun, di Palestina, kondisinya berbeda.
Bagi anak-anak Palestina, tidak ada tempat yang aman bagi mereka, termasuk di sekolah. Seperti Rayyan, anak-anak Palestina bukan takut kepada hantu atau monster fiksi, melainkan pada monster di dunia nyata: tentara Israel. Seringkali, untuk bisa sampai di sekolah, anak-anak harus melewati kawat berduri di samping ladang zaitun untuk menghindari pertemuan dengan tentara Israel. Strategi tersebut tidak selalu berakhir baik, sebab layaknya hantu yang bersembunyi di balik kegelapan, tentara Israel bersembunyi di balik pepohonan untuk menangkap anak-anak secara tiba-tiba saat mereka melintas[2].
Ketakutan anak-anak tidak hanya mereka rasakan saat dalam perjalanan ke sekolah, sebab setelah sampai di sekolah pun mereka sudah sangat akrab dengan suara ledakan bom, tembakan gas air mata, dan menyaksikan guru-guru mereka dipukuli atau teman-teman mereka ditangkap tanpa alasan. Demi memaksakan kurikulum dan menghapus konten Palestina dari sekolah-sekolah, pasukan Israel juga kerap menggeledah tas para siswa, mencari dan menyita buku-buku yang berkaitan tentang Palestina.
Sekolah, layaknya tempat-tempat lainnya, sama menakutkannya bagi anak-anak Palestina. Pergi ke sekolah dikejar oleh tentara Israel, sampai di sekolah ditembaki dengan gas air mata, pulang kerumah kembali harus berlari menghindari kejaran tentara Israel. Rutinitas ini adalah kenyataan yang dialami hampir setiap hari oleh anak-anak Palestina. Maka, di manakah wibawa hukum internasional yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan seperti sekolah adalah tempat yang tidak boleh diserang sama sekali? Bagaimana anak-anak Palestina bisa meraih masa depan apabila tempat mereka menuntut ilmu yang seharusnya dipenuhi keceriaan, justru diliputi dengan jeritan ketakutan?
Kami Ingin Teman Kami Kembali
Di sebuah pusat kebudayaan lokal di Ramallah, seorang seniman dan komposer budaya terkemuka Palestina, Suheil Khoury, tengah mempersiapkan diri untuk pertujukan Orkestra Arabnya yang akan berlangsung pada 17 November 2022. Akan tetapi, alih-alih sibuk membagikan poster pertunjukan orkestranya, Suheil justru harus membagikan poster putranya, Shadi, yang ditangkap secara brutal tanpa alasan apa pun oleh pasukan Israel.
Entah apa alasannya, pasukan Israel merangsek masuk ke rumah Shadi kemudian memukuli remaja tersebut, menodai lantai rumahnya dengan bercak darah. Pasukan Israel kemudian menyeret Shadi dan memaksanya masuk ke dalam mobil polisi, tidak mempedulikan orang tua dan keluarga Shadi yang berusaha sekuat mungkin mencegahnya.
Selama lebih dari dua minggu, Shadi ditahan di Pusat Penahanan Maskobiya atau “kompleks Rusia” di Al-Quds (Yerusalem), yang dikenal sebagai “rumah jagal” di antara para tawanan Palestina, karena kondisi yang keras di sana–terutama di sel no. 4. Pasukan Israel mencegah keluarga maupun pengacara untuk bisa menemui Shadi, mengucilkannya dari dunia luar. Akan tetapi, hal tersebut tidak menghentikan perjuangan keluarga dan teman-teman Shadi untuk membebaskannya.
Baca selengkapnya tentang Pusat Penahanan Maskobiya disiini
Shadi Khoury, remaja usia 16 tahun yang ditangkap dengan brutal oleh Israel (https://mondoweiss.net/)
Shadi Khoury adalah remaja berusia 16 tahun yang memiliki banyak teman dan dicintai oleh orang-orang di sekelilingnya. “Semua orang mencintainya,” kata Ilena, salah satu teman Shadi. “Saya merasa situasi Shadi membuka mata saya, siapa yang tahu giliran siapa selanjutnya? Bisa jadi saya, bisa jadi saudara perempuan saya, saudara laki-laki saya,” lanjutnya.
Untuk menunjukkan dukungan terhadap Shadi, teman-teman Shadi membuat kaos solidaritas berwarna hitam polos dengan foto Shadi dan tagar dalam bahasa Arab yang berbunyi, “Shadi adalah kebanggaan kami.” Mereka juga menggantung poster di sekolah, bertuliskan “Bebaskan Tawanan Shadi Khoury”.
Teman-temannya juga membagikan cerita tentang Shadi melalui media sosial dan membuat tagar untuk membuatnya viral. “Kami tidak membutuhkan lebih banyak tagar, tetapi tagar dan berbagi kisah adalah hal minimal yang bisa dilakukan oleh kami, selaku anak muda. Kami perlu menciptakan tekanan untuk membawa pulang teman kami,” kata teman-teman Shadi.
Shadi adalah satu di antara ratusan anak Palestina yang ditangkap oleh pasukan Israel pada tahun ini. Sejak awal tahun hingga November 2022, Perhimpunan Tawanan Palestina melaporkan bahwa Israel telah menangkap 6.000 warga Palestina, termasuk 739 anak di bawah umur dan 141 perempuan[3]. Seperti Shadi, seringkali pasukan Israel menangkap warga Palestina, termasuk anak-anak, dengan menyerbu rumah mereka pada dini hari dan menyeret paksa mereka secara brutal, tak jarang hingga melukai fisik mereka.
Berdasarkan data dari Addameer, pada 2022, sebanyak 4.700 tawanan masih mendekam di balik dinginnya jeruji penjara Israel, di antaranya terdapat 190 anak-anak, 90 perempuan, dan 800 tawanan administratif[4]. Pasukan Israel seringkali menjatuhkan hukuman bertahun-tahun kepada anak-anak hanya karena alasan sepele, salah satunya melempar batu, yang sebenarnya mereka lakukan karena terdesak untuk melindungi diri. Anak-anak ini diisolasi secara sempurna, sebab Israel tidak mengizinkan orang tua, keluarga, atau pun pengacara untuk menjenguk mereka.
Di dalam sel penjara, anak-anak Palestina juga tidak diperlakukan berbeda dari tawanan dewasa, dalam beberapa kasus, justru lebih parah. Seperti yang dialami Shadi, seringkali anak-anak ditangkap dengan brutal, dibawa ke pusat interogasi tanpa pendampingan wali kemudian disiksa dan diminta mengakui sesuatu yang tidak mereka perbuat, sebelum akhirnya dijebloskan ke penjara yang kotor, dengan sipir yang mengerikan serta kerap menyiksa dan melecehkan mereka. Begitu telah masuk ke dalam penjara, apa yang anak-anak Palestina bisa lakukan hanyalah berdoa dan berharap, itu pun jika mereka masih sanggup untuk melakukannya.
Kembalikan Masa Kecil Kami
I am a child
With something to say
Please listen to me
I am a child
Who wants to play
Why don’t you let me
My doors are waiting
My friends are praying
Small hearts are begging
Give us a chance
Please, please, give us a chance
Jika anak-anak Palestina bisa berteriak kepada dunia, mungkin itulah yang akan mereka katakan.
Kembalikan masa kecil kami. Kembalikan rumah kami yang hangat, tempat kami bisa berkumpul bersama keluarga dan saudara-saudara kami. Biarkan kami tidur dengan nyenyak dan nyaman, jangan ganggu malam kami dengan gebrakan pintu dan penculikan paksa, yang membuat kami berakhir sendirian merenung di balik jeruji penjara.
Kembalikan masa kecil kami. Kembalikan masa-masa di mana kami bisa bercanda, tertawa ceria bersama teman-teman, belajar hal baru dari guru-guru kami di sekolah. Biarkan kami belajar dengan bahagia di sekolah, tanpa tembakan gas air mata, tanpa dentuman bom dan kejaran tentara.
Kembalikan masa kecil kami. Kembalikan nyawa kami yang kalian renggut paksa pada usia kami yang masih sangat belia. Kembalikan kehidupan kami, mimpi-mimpi kami, serta masa depan kami yang masih terbentang panjang, sepanjang cita-cita kami. Biarkan kami hidup lebih lama, sebab kami ingin menyaksikan tanah air kami merdeka. Kami ingin Tanah Suci Palestina, kembali menjadi tanah yang penuh dengan kedamaian, tanah yang aman bagi anak-anak, tanah yang menjadi rahmat bagi seluruh dunia.
Lalu, apa kontribusi yang bisa diberikan?
Setelah mengetahui kisah-kisah tragis anak-anak tak berdosa ini, mari turut andil dalam memperingati Hari Anak Sedunia dengan berbagai upaya yang mendukung seperti ikut berdonasi untuk mengirimkan bahan makanan, obat-obatan atau bantuan lain yang bisa meringankan kehidupan mereka.
Anda juga bisa menyebarkan informasi melalui media sosial dn mengedukasi orang-orang di sekitar dengan membagi informasi terkait isu kemanusiaan di daerah konflik, hak-hak perlindungan anak, data kasus kekerasan anak dan sebagainya
Semakin banyak masyarakat mengetahui masalah ini, makan semakin besar pula dukunhan yang dapat terkumpul. Dengan kekuatan masif, berbagai gerakan kecil dapat memberikan pengaruh baik bagi anak-anak yang menjadi korban di daerah konflik.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
https://www.dci-palestine.org/child_fatalities_by_region
https://www.addameer.org/statistics/2022/10
https://www.dci-palestine.org/summoning_up_a_world_without_fear
https://www.palquest.org/en/node/6587
https://www.unrwa.org/campaign/world-childrens-day-2021-investment-children-investment-future
https://www.middleeasteye.net/news/israel-palestine-gaza-names-faces-children-killed-bombardment
https://www.middleeasteye.net/news/israel-gaza-five-year-old-palestinian-killed-family-mourn
https://www.aljazeera.com/news/2022/8/8/the-names-and-faces-of-the-15-children-killed-in-gaza
https://www.middleeastmonitor.com/20220929-palestinian-boy-7-dies-after-being-chased-by-israel-army/
https://www.middleeastmonitor.com/20220205-israel-and-the-silent-genocide-of-palestinian-children/
https://english.wafa.ps/Pages/Details/126878
https://english.wafa.ps/Pages/Details/131066
https://english.wafa.ps/Pages/Details/131756
- https://www.dci-palestine.org/child_fatalities_by_region ↑
- https://www.middleeastmonitor.com/20221011-strangers-behind-the-trees-on-the-death-of-rayyan-suleiman-and-his-fear-of-monsters/ ↑
- https://english.wafa.ps/Pages/Details/131756 ↑
- https://www.addameer.org/statistics/2022/10 ↑
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini