Agresi Gaza telah berlangsung selama sebelas bulan saat ini. Nyaris satu tahun menderita di bawah agresi dan blokade, Gaza yang tadinya merupakan kota kecil yang menawan di pesisir pantai, yang menjadi rumah bagi dua juta penduduknya, telah berubah menjadi penjara yang membunuh semua yang ada di dalamnya, tanpa.menyisakan satu meter pun tempat yang aman. Selama sebelas bulan, Israel telah membantai Gaza habis-habisan tanpa pandang bulu, tak peduli bayi, anak-anak, perempuan, lansia, dan warga berkebutuhan khusus, semuanya telah ditargetkan oleh Israel.
Sejak 7 Oktober 2023 hingga 29 Agustus 2024, Al-Jazeera melaporkan bahwa Israel telah membunuh 41.226 warga Palestina, termasuk 16.500 anak-anak dan 125 jurnalis, melukai lebih dari 93.855 orang, sedangkan lebih dari 10.000 lainnya dinyatakan hilang, kemungkinan terkubur di bawah reruntuhan bangunan. Israel juga telah merusak dan menghancurkan lebih dari separuh rumah penduduk di Gaza, 80 persen fasilitas komersial, 85 persen gedung sekolah, 65 persen akses jalanan, 65 persen lahan pertanian, juga fasilitas layanan kesehatan, membuat hanya 16 dari 36 rumah sakit yang masih berfungsi sebagian. Al-Jazeera menambahkan bahwa setiap jam di Gaza, Israel diperkirakan membunuh 15 orang, 6 anak-anak, menjatuhkan 42 bom, dan menghancurkan 12 bangunan.
Selama sebelas bulan lamanya, Israel telah melakukan enam pembantaian besar di Jalur Gaza, membunuh ratusan orang dan mengakibatkan kehancuran besar-besaran dalam setiap pembantaian. Enam pembantaian besar ini adalah alarm yang seharusnya menjadi peringatan darurat bagi seluruh dunia, bahwa Gaza telah mencapai titik batasnya, dan membiarkan genosida terus berlangsung berarti membiarkan Israel melakukan pembantaian-pembantaian selanjutnya di Jalur Gaza.
1. Pembantaian Rumah Sakit Arab Al-Ahli
Fasilitas medis bukanlah tempat sebagian besar kisah cinta dimulai. Namun, itulah yang menjadi alasan Rumah Sakit Arab Al-Ahli di Gaza menjadi lebih dari sekadar rumah sakit bagi Hammam Farah. Lebih dari 80 tahun yang lalu, kakek dan neneknya bertemu di Rumah Sakit tersebut. Kakeknya, Elias Farah, mulai bekerja di rumah sakit tersebut saat ia baru berusia 17 tahun sebagai manajer pengadaan barang, yang bertanggung jawab untuk membeli makanan, obat-obatan, dan perlengkapan, sedangkan neneknya, yang dikenal dengan panggilan Lady Sura, adalah kepala sekolah di Sekolah Dasar Beach B di dekat Kamp Pengungsi Al Shati yang dikelola UNRWA. Sang nenek sering mengunjungi rumah sakit tersebut, dan dari sanalah kisah cinta mereka bermula.
Sekitar 40 tahun setelah kakek-neneknya bertemu di koridor Rumah Sakit Arab Al-Ahli, tepatnya pada 1983, Farah lahir di rumah sakit itu, begitu pula saudara perempuannya. Meskipun ia tidak dapat mengunjungi Gaza selama 23 tahun, psikoterapis yang kini bekerja di Toronto, Kanada itu menyimpan kenangan masa kecil di sana. Ia masih mengingat kenangan akan kakeknya yang sering membawanya ke RS itu selama ia bertugas. Fasilitas medis tersebut, yang diberi nama dengan makna “Rumah Sakit Rakyat Arab” dalam bahasa Arab, adalah tempat asal garis keturunan Farah. Dan kini, Farah dipaksa untuk menyaksikan RS tersebut dihancurkan oleh pasukan Israel dengan brutal.
Video: https://youtu.be/HGG8R8t7cCo?si=Enlk5aznNCMMd8nU
Pada 17 Oktober 2023, sekitar pukul 18.59 (03.59 GMT), Al-Jazeera melaporkan bahwa Rumah Sakit Arab Al-Ahli telah diledakkan. Pada jam-jam pertama setelah ledakan, Kepala Pertahanan Sipil Gaza mengatakan 300 orang terbunuh, sementara sumber Kementerian Kesehatan Palestina menyebutkan angka korban yang terbunuh mencapai 471 orang dan 28 lainnya dalam kondisi kritis, belum termasuk ratusan korban lainnya yang masih terkubur di bawah reruntuhan.
Jumlah tersebut disebut oleh Al-Jazeera sebagai jumlah korban tewas tertinggi dari serangan tunggal Israel sejak dimulainya agresi di Jalur Gaza. Sejumlah besar korban yang terluka segera dilarikan ke Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza. Lapangan tenis dan halaman RS yang luas, dengan cepat dipenuhi mayat-mayat yang tergeletak di antara tumpukan puing-puing Rumah Sakit yang rusak.
Rumah Sakit Arab Al-Ahli merupakan rumah sakit Kristen tertua dan satu-satunya di Gaza, menurut situs web keuskupan Al-Quds (Yerusalem). Didirikan pada tahun 1882, Rumah Sakit tersebut terletak di Kota Tua Gaza, antara lingkungan Shujaiya dan Zeitoun di Kota Gaza. Terletak kurang dari 3 km dari Rumah Sakit al-Shifa, RS Arab Al-Ahli menjadi RSUD terbesar di wilayah kantong berpenduduk 2,3 juta orang tersebut.
Lokasi fasilitas kesehatan tersebut berdekatan dengan beberapa situs bersejarah di Gaza, termasuk Masjid Agung Omari, yang dikenal sebagai Masjid Agung Gaza dan dua gereja di Gaza: Kapel St Philip dan Gereja St Porphyrius. Fasilitas medis tersebut juga dekat dengan Pasar Zawiya yang bersejarah di Gaza, dan kini RS tersebut dijadikan sebagai tempat berlindung oleh ribuan warga Gaza dari serangan brutal Israel di sebagian besar wilayah di Jalur Gaza.
Sejak didirikan, Rumah Sakit Arab Al-Ahli telah melayani lebih dari 45.000 pasien setiap tahunnya. Selain menjalankan program deteksi kanker payudara, rumah sakit tersebut juga menyediakan klinik komunitas gratis dengan layanan transportasi dari lingkungan sekitar, klinik untuk anak-anak yang kekurangan berat badan dan kurang gizi, juga terapi fisik dan okupasi.
Menurut laporan The Wall Street Journal, sebelum diserang, RS tersebut baru saja mendirikan bangsal kanker baru dengan dana yang sebagian besar berasal dari American Friends of the Episcopal Diocese of Jerusalem di Texas. Melihat rekam jejak Rumah Sakit Arab Al-Ahli, sangat diragukan bahwa Israel meledakkan Rumah Sakit ini “tanpa sengaja”, sebab kehancurannya sangat berpengaruh signifikan terhadap layanan medis bagi penduduk Gaza.
Dengan diserangnya Rumah Sakit Arab Al-Ahli, tercatat ada lebih dari 115 serangan terhadap layanan kesehatan di Palestina sejak dimulainya agresi pada tanggal 7 Oktober, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Setidaknya 20 rumah sakit di Kota Gaza dan Gaza Utara dan satu rumah sakit di Rafah telah menerima perintah evakuasi berulang kali dari militer Israel.
Hammam Farah, yang memiliki keluarga dan kerabat yang berlindung di gereja dekat Rumah Sakit Arab Al-Ahli, mengatakan “Mereka dapat mencium bau mayat yang terbakar,” mengacu pada pernyataan dari keluarganya yang menyaksikan pembantaian mengerikan tersebut. Menyadari dirinya hanya bisa menerima kabar meninggalnya keluarganya satu per satu dari kejauhan, Farah berkata, Akan lebih mudah untuk berjumpa dengan mereka di akhirat daripada di Gaza.”
2. Pembantaian Jabalia
Kamp Jabalia adalah kamp pengungsian yang terbesar dari delapan kamp pengungsi di Jalur Gaza yang diblokade. Kamp ini menampung lebih dari 116.000 orang yang terdaftar secara resmi di UNRWA, namun jumlah orang yang sebenarnya tinggal di kamp tersebut kemungkinan jauh lebih tinggi. Kamp Jabalia didirikan pada 1948 setelah Nakba, ketika 750.000 warga Palestina dipaksa meninggalkan rumah mereka untuk memberi jalan bagi pembentukan “negara Israel”. Kamp tersebut memiliki luas 1,4 kilometer persegi dan memiliki 32 Instalasi UNRWA, 26 sekolah, dan dua pusat kesehatan. Kamp Jabalia merupakan daerah padat penduduk dengan rumah-rumah, toko-toko, dan gedung apartemen yang saling berdesakan, bahkan jalan di sana hampir tidak cukup lebar untuk dilalui mobil.
Sepanjang agresi Gaza, Jabalia yang seharusnya menjadi tempat bagi para pengungsi untuk berlindung justru berubah menjadi mimpi buruk yang tidak pernah dibayangkan. Pada 31 Oktober 2023, Israel membantai Kamp Jabalia habis-habisan, membunuh tidak kurang dari 100 warga sipil dan melukai ratusan lainnya. Serangan tersebut adalah rangkaian dari serangan berulang yang diluncurkan oleh Israel ke kamp pengungsian tersebut, yaitu pada 12, 19 dan 22 Oktober.
Sebelum Israel memblokade total Kamp Jabalia dan melakukan pengeboman tanpa henti, kondisi kamp Jabalia sudah sangat buruk, mengingat penghuninya selalu dipaksa untuk bertahan melawan pemadaman listrik terus-menerus dan hidup dengan pasokan air yang terkontaminasi akibat blokade selama 16 tahun di Jalur Gaza.
Saksi mata saat pembantaian, Mohammad Al Aswad, menggambarkan Jabalia menjelma “pemandangan yang mengerikan”. Ia mengatakan kepada CNN bahwa setelah mendengar ada rudal yang mendarat di kamp tersebut, ia segera berlari ke sana untuk memeriksa keluarganya. Ketika itu ia menyaksikan “Anak-anak menggendong anak-anak lain yang terluka sambil berlari, dengan debu abu-abu memenuhi udara. Mayat-mayat bergelantungan di reruntuhan, banyak dari mereka tidak lagi bisa dikenali. Ada yang berdarah dan yang lainnya terbakar,” kata Al Aswad kepada CNN. “Semuanya histeris. Saya melihat para perempuan berteriak dan bingung. Mereka tidak tahu apakah harus menangis karena kehilangan anak-anak mereka, atau berlari untuk mencari mereka, terutama karena banyak anak-anak yang bermain di lingkungan itu.”
Di Rumah Sakit Indonesia, fasilitas medis besar terdekat dengan Jabalia, rekaman video yang beredar menunjukkan barisan panjang mayat tergeletak di lantai rumah sakit serta sejumlah besar orang yang terluka, termasuk banyak anak-anak, saat dokter bergegas mengobati luka-luka mereka. Banyak korban luka terpaksa menerima perawatan di lantai karena kondisi rumah sakit yang penuh sesak.
Kepala RS Indonesia, Dokter Atef al-Kalhout, mengatakan “Apa yang Anda lihat adalah pemandangan yang tidak dapat dibayangkan siapa pun: para korban yang terluka, juga ratusan tubuh yang hangus”. Dokter lainnya, Mohammad al Rann, juga memberikan kesaksiannya, “Yang dapat kami lakukan adalah terus menerima mereka. Sebagian besar cedera disebabkan oleh bahan peledak, seperti cedera kepala, dan juga bagian tubuh yang terpotong.”
Mohammed Hawajreh, seorang perawat dari Doctors Without Borders (MSF) di RS Al Shifa di Gaza, mengatakan bahwa beberapa korban luka juga dilarikan ke rumah sakit itu setelah Israel membombardir Kamp Pengungsi Jabalia. “Anak-anak kecil tiba di rumah sakit dengan luka organ dalam dan luka bakar parah. Mereka datang tanpa keluarga mereka. Banyak yang berteriak dan mencari orang tua mereka. Saya menemani mereka sampai kami dapat menemukan tempat kosong, karena rumah sakit itu penuh dengan pasien,” kata Hawajreh dalam sebuah pernyataan.
3. Pembantaian Tepung
Berapa harga sekantong tepung di tempatmu? Di Gaza, harganya adalah ratusan nyawa penduduknya. Mohammed al-Simry (34), seorang ayah dari empat anak, adalah salah satu saksinya. Pada 29 Februari 2024, ia merasakan keraguan untuk memutuskan apakah akan pergi dan menunggu konvoi truk bantuan atau tidak. Di satu sisi, ia sudah memiliki firasat bahwa kerumunan besar itu akan menjadi target yang sangat “menggoda” bagi penembak jitu Israel, tetapi di sisi lain, ia dan keluarganya bisa mati kelaparan kapan saja jika tidak mengambil kesempatan tersebut. Akhirnya ia memutuskan pergi bersama sepupunya, Amer, untuk pergi ke Bundaran Nabulsi sebelum konvoi tiba.
Kemudian segalanya terjadi dengan sangat cepat. Pembantaian terjadi sekitar pukul 04.30 waktu setempat (02.30 GMT), ketika orang-orang berkumpul di Jalan Harun al-Rashid, tempat truk bantuan yang membawa tepung berdatangan. Menurut para saksi, pasukan Israel menembaki kerumunan warga sipil yang kelaparan. Hani Mahmoud dari Al Jazeera melaporkan bahwa mereka ditembaki dengan semua jenis peralatan militer. Setelah putaran pertama penembakan berhenti, orang-orang kembali lagi ke truk, hanya untuk menyaksikan tentara melepaskan tembakan lagi kepada mereka.
“Darah berceceran di mana-mana,” kata Mohammed seraya menggambarkan bagaimana ribuan orang mencoba menyelamatkan diri dari tempat kejadian. Ia mendeskripsikan bahwa wajah dan pakaian semua orang berlumuran darah, banyak juga yang berlari dengan membawa mayat orang-orang tercinta mereka. Beberapa orang membawa korban luka ke Rumah Sakit menggunakan kereta keledai karena ambulans tidak dapat menjangkau daerah tersebut. Ismail al-Ghoul dari Al Jazeera, bahkan mengatakan bahwa “Setelah melepaskan tembakan, tank-tank Israel maju dan melindas banyak mayat dan korban luka.” Dalam kebingungan itu, Mohammed kemudian menemukan mayat Amer, setelah mereka sempat terpisah akibat keributan itu.
Amer adalah salah satu di antara 118 warga Palestina yang syahid dibantai ketika sedang berusaha mengambil bahan bantuan untuk keluarganya. Namun, pembantaian tersebut tidak selesai sampai di sana, sebab Israel masih terus melakukan serangkaian “Pembantaian Tepung” lainnya setiap kali warga Gaza yang kelaparan berusaha untuk mendapatkan bantuan dari truk yang membawa tepung dan bahan makanan.
Sejak “Pembantaian Tepung” pertama terjadi pada akhir Februari, The Palestinian Information Centre (Palinfo) melaporkan bahwa hingga akhir Maret Israel telah membunuh tidak kurang dari 400 warga Palestina dan melukai 1.300 lainnya. Ini berarti hanya dalam waktu dua pekan, Israel telah membantai ratusan warga Palestina yang kelaparan di Bundaran Kuwait, juga di Jalan Al-Rasheed, ketika mereka sedang berusaha untuk mencapai truk yang membawa bahan bantuan.
Video: https://youtu.be/WcWcS0eQ0UI?si=90vhTTTQd6WpdXzS
https://youtu.be/MnSqwQIj1Uc?si=n2hsSK6G-HJgcckh
Kelaparan adalah masalah yang sangat serius di Gaza. Istilah “Pembantaian Tepung” yang muncul ketika agresi merupakan sesuatu yang sangat memilukan, mengingat istilah itu disematkan pada pembantaian besar-besaran terhadap warga Gaza yang kelaparan, saat berusaha mencari tepung dan bahan makanan lainnya di daerah yang telah sepenuhnya terputus dari bantuan akibat blokade pasukan Israel.
Pada “Pembantaian Tepung” yang terjadi pada pertengahan Maret, Middle East Eye telah menyatakan bahwa 100 persen penduduk Gaza menderita kelaparan, dan situasinya diyakini semakin parah dengan meninggalnya 25 warga Palestina akibat kurang gizi, termasuk seorang anak berusia 10 tahun yang menderita cerebral palsy. Carl Skau, wakil direktur eksekutif Program Pangan Dunia (WFP), mengatakan bahwa lebih dari 500.000, atau satu dari empat orang, berisiko kelaparan, dengan satu dari setiap enam anak di bawah usia dua tahun menderita kekurangan gizi akut.
Mohammed kemudian melanjutkan kisah pilunya, “Kami (ia dan sepupunya) telah berdiskusi mengenai apa saja yang kami butuhkan, bagaimana kami akan menghadirkan makanan untuk anak-anak kami yang kelaparan sehingga mereka tidak lagi merasa lapar. Sayangnya, harapan kami tidak pernah terjadi. Saya tidak hanya kembali dalam keadaan lapar, tetapi lebih buruk lagi, karena saya juga kehilangan sepupu saya yang hanya menginginkan sepotong roti.” Mohammed terdiam. Ia tidak dapat memahami mengapa Israel selalu menunda pengiriman bantuan, bernafsu buas untuk terus melaparkan orang-orang, bahkan membunuh orang-orang yang kelaparan hingga “tubuh mereka hancur berkeping-keping”.
Baca juga https://adararelief.com/kelaparan-akut-mempertajam-segitiga-kematian-di-gaza/
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
https://www.aljazeera.com/news/longform/2023/10/9/israel-hamas-war-in-maps-and-charts-live-tracker
https://forensic-architecture.org/investigation/israeli-disinformation-al-ahli-hospital
https://www.aljazeera.com/news/2023/10/18/what-do-we-know-about-the-strike-on-the-hospital-in-gaza
https://www.aljazeera.com/news/2023/10/18/what-is-israels-narrative-on-the-gaza-hospital-explosion
https://www.middleeasteye.net/news/israel-palestine-war-jabaliya-camp-scores-killed-air-strikes
https://edition.cnn.com/2023/10/31/middleeast/jabalya-blast-gaza-intl/index.html
https://www.middleeasteye.net/news/war-gaza-aid-seekers-killed-fire-israel
https://english.palinfo.com/news/2024/03/12/315793/
https://wearenotnumbers.org/survivor-of-the-flour-massacre/